Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Heri Heryana

Paradoks Pinjol dan Perspektif Keuangan Syariah

Lomba | Friday, 26 Nov 2021, 10:57 WIB

Ibarat nasib para tokoh di tv series terkenal Korea Selatan berjudul Squid Game orang-orang yang terjerat hutang besar seringkali menjadi putus asa dan tidak berdaya. Dalam serial tersebut diceritakan sebanyak 456 orang dari berbagai macam latar belakang nekad mempertaruhkan nyawa agar bisa melunasi hutang dengan mengikuti permainan hidup dan mati demi hadiah sebesar 45,6 miliar won. Kesamaan mereka hanya 1 yaitu memiliki banyak hutang.

Rasa frustasi dan putus asa para tokoh Squid Game sepertinya tidak jauh berbeda dengan nasib yang dirasakan para korban utang pinjol. Tidak heran akhir-akhir ini kita banyak mendengar berita nasional tentang orang-orang yang menyerah kepada hidup akibat hutang yang menumpuk. Di Depok misalnya, seorang ibu gantung diri diduga terlilit pinjol (republika.co.id). Kemudian karena jeratan pinjol yang hampir mencapai Rp90 juta seorang pria di Jakarta Barat nyaris kehilangan nyawa (detik.com, 2021).

Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, selama tiga tahun terakhir LBH setidaknya menerima 6-7 laporan bunuh diri akibat pinjol. LBH juga menerima hampir 7.200 pengaduan terkait masalah pinjol (kompas.com, 2021). Tentunya ada beragam alasan kenapa seseorang lebih memilih hutang melalui pinjol daripada melalui prosedur konvensional ke bank. Dari mulai memenuhi kebutuhan hidup, keperluan modal, hingga keperluan konsumtif dan gaya hidup. Kemudahan prosedur pinjol membuatnya menjadi daya tarik masyarakat dalam memilih fasilitas kredit/hutang. Proses mudah bermodalkan aplikasi di handphone, foto selfie, KTP, dan tidak perlu bertemu, dana yang dibutuhkan bisa cair dengan cepat. Namun, mereka yang berhutang melalui pinjol seringkali tidak menyadari, dibalik proses yang mudah dan cepat terdapat resiko bunga tinggi dan jangka waktu jatuh tempo pendek yang mengintai. Ibarat bom waktu, hutang yang tidak mampu dibayar kemudian dibayar dengan hutang pinjol baru dan menjadi lingkaran setan yang tidak berujung.

Sumber: Karikatur Republika||Daan Yahya||republika.co.id

Mulai muncul sekitar tahun 2016 pinjol awalnya banyak memfasilitasi pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal. Tapi seiring waktu pinjol kemudian melayani juga fasilitas pinjaman perorangan. Menurut Direktur Asosiasi Fintech Indonesia, Aji Satria Sulaeman, pinjol sebagai fintech Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMBTI) berawal dari rendahnya penetrasi kartu kredit di Indonesia. Tingginya minat masyarakat Indonesia terhadap pinjol membuatnya berhasil mengisi kesenjangan kebutuhan pembiayaan bagi mereka yang unbanked (orang yang tidak memiliki/menggunakan layanan rekening perbankan) tapi layak kredit (detik.com, 2021). Hingga tahun 2021 tercatat setidaknya 68 juta masyarakat Indonesia menggunakan fasilitas pinjol. Omzet perputaran uang dari transaksi pinjol saat ini sudah mencapai Rp260 triliun. Seolah paradoks potensi ekonomi omzet pinjol sama tinggi dan besarnya dengan berbagai permasalahan yang mengiringinya.

Dengan masih banyaknya permasalahan dan potensi penyalahgunaan data serta masih maraknya penagihan dengan intimidasi dalam transaksi pinjol ini termasuk masih marak pinjol ilegal Presiden Jokowi sampai memberikan arahan tegas. Diantaranya, 1) OJK harus melakukan moratorium penerbitan izin fintech pinjol baru; 2) Kementerian Kominfo akan melakukan moratorium penyelenggara sistem online untuk penyelenggara sistem elektronik untuk pinjaman online yang baru; 3) Meningkatkan peran 107 pinjol yang telah terdaftar resmi dalam website di bawah tata kelola OJK; 4) Kementerian Kominfo sejak tahun 2018 sampai dengan 15 Oktober 2021 telah menutup 4.874 akun pinjol.

Fintech Syariah sebagai Solusi Alternatif

Menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Abdul Muiz Ali (mui.or.id, 2021), dalam kajian fikih muamalah kontemporer pinjam meminjam uang secara online hukumnya boleh. Serah terima secara hukmiy (legal formal/nonfisik) dianggap telah terjadi baik secara i’tibaran (adat) maupun secara hukman (syariah maupun hukum positif) dengan cara takhliyah (pelepasan hak kepemilikan di satu pihak) dan kewenangan untuk tasharruf (mengelola/memperjualbelikan/menggunakan di pihak lain) meskipun serah terima secara hissan (fisik barang) belum terjadi.

Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi (LPBTI) Berdasarkan Prinsip Syariah, layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah yang mempertemukan atau menghubungkan pemberi pembiayaan dengan penerima pembiayaan dalam rangka melakukan akad pembiayaan melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Ketentuan hukum LPBTI dibolehkan dengan syarat sesuai prinsip syariah.

Pandemi covid 19 memberikan dampak sangat besar terhadap perekonomian dunia tidak terkecuali Indonesia. Banyak sektor usaha terguncang termasuk PHK besar-besaran. Ekonomi menjadi begitu sulit bagi sebagian besar masyarakat terdampak sedangkan kebutuhan hidup sehari-sehari harus terus berjalan. Disinilah fintech menemukan momentumnya, dimana kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan dana/modal cepat bertemu dengan kemudahan teknologi sehingga transformasi digital transaksi keuangan pinjol berlangsung lebih cepat dan lebih pesat.

Sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia, pinjol syariah di Indonesia ataupun lembaga keuangan mikro syariah lainnya seharusnya bisa menjadi alternatif pilihan masyarakat dalam mengakses kebutuhan kredit baik UMKM maupun kredit perorangan. Sayang sekali, jumlah pinjol syariah masih sedikit/minoritas dan kalah jauh dari pinjol konvensional.

Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), Ronald Yusuf Wijaya mengatakan AFSI saat ini telah memiliki lebih dari 100 anggota fintech syariah. Khusus anggota AFSI di sektor jasa keuangan atau di bawah regulasi OJK, ada 8 fintech P2P lending, 6 platform inovasi keuangan digital (IKD), dan 5 platform securities crowdfunding (SCF) yang masih berproses (tempo.co.id, 2021).

Melihat potensinya yang besar, fintech syariah bisa menjadi alternatif pilihan pinjol bagi masyarakat sekaligus solusi permasalahan keuangan dan permasalahan sosial dalam transaksi pinjol yang cukup masif di masyarakat. Perbedaan mendasar pinjol syariah dengan pinjol konvensional diantaranya adalah pinjol syariah tidak mengandung unsur zulm (ketidakadilan), masysir (judi), riba (bunga), gharar (ketidakjelasan), tadlis (penipuan), dharar (bahaya), dan haram.

Pinjol syariah juga melakukan persetujuan kerja sama dalam proses pinjam meminjam yang disebut dengan akad. Mengutip republika.co.id ada beberapa jenis akad yang bisa dilakukan pada saat transaksi pinjol syariah. Diantaranya, 1) Akad Al ba’i (jual beli), 2) Akad Ijarah (pemindahan hak guna atas barang atau jasa dengan waktu tertentu dan upah tertentu), 3) Akad Mudharabah (untuk pengelolaan modal dan keuntungan usaha berdasarkan nisbah), 4) Akad Musyarakah (berbagi keuntungan sesuai nisbah yang disepakati), 5). Akad Wakalah (pelimpahan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan imbalan upah), 6) Akad Qard (kesepakatan pinjaman dimana peminjam harus mengembalikan dengan cara dan waktu yang disepakati).

Seperti halnya pinjol konvensional, pinjol syariah juga mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Pinjol syariah yang terdaftar resmi di OJK juga wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang direkomendaikan oleh regulator Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Kehadiran pinjol syariah diharapkan bisa menjadi solusi bagi masyarakat dalam memilih fasilitas pinjol baik untuk kebutuhan konsumtif jangka pendek maupun dalam memenuhi kebutuhan modal UMKM.

Untuk meminimalisir permasalahan dalam menyikapi fenomena pinjol di masyarakat penting sekali pemerintah hadir melalui OJK dan stakeholder lainnya (MUI, Dewan Syariah Nasional, AFI, AFSI, dan lembaga keuangan lainnya) dalam meningkatkan literasi digital di masyarakat terkait pinjol. Harus diakui masih banyaknya carut marut kasus pinjol di masyarakat baik legal maupun ilegal adalah karena masih lemahnya literasi digital di masyarakat.

Bagaimanapun, fenomena pinjol merupakan bagian dari proses transformasi digital keuangan yang tidak bisa dicegah. Lembaga keuangan syariah harus melihat fenomena ini dari sisi potensi ekonomi berkelanjutan dan ruang tumbuhnya ekonomi nasional dalam lingkup ekonomi dan keuangan syariah.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image