Rabu 01 Dec 2021 17:00 WIB

Hukum Bunga Bank dan Surat Tegas Mbah Misbah kepada Gus Dur

Mbah Misbah bersikap tegas menyikapi hukum bunga bank

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Mbah Misbah bersikap tegas menyikapi hukum bunga bank. Bunga Bank (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron
Mbah Misbah bersikap tegas menyikapi hukum bunga bank. Bunga Bank (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – KH Misbah Ibn Zainul Mustofa dikenal sebagai sebagai penulis dan penerjemah kitab yang paling produktif di Tuban, Jawa Timur. 

Dia adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren al-Balagh, Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Selama hidupnya, Mbah Misbah banyak menulis teks-teks keagamaan. Di samping itu, paman tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Mustofa Bisri atau Gus Mus tersebut juga gemar mengalihbahasakan buku-buku penting karya sejumlah ulama besar. 

Baca Juga

Kiai Misbah lahir pada 5 Mei 1919 di Kampung Sawahan, Palen, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sumber lain menyebutkan, sosok tersebut lahir pada tahun 1916. Ia merupakan putra dari Haji Zainul Mustofa, seorang penyokong dakwah yang juga pengusaha kain batik. Adapun ibundanya bernama Hajjah Khadijah.  

Sikap dan pemikiran KH Misbah Ibn Zainul Mustofa dapat dilihat melalui karya-karya orisinilnya dan juga dalam aktivitasnya di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). 

Ulama yang biasa dipanggi Mbah Bah ini merupakan sosok kiai yang tegas, lugas, dan istiqamah dalam memegang prinsip.

Dalam penelitiannya yang berjudul KH Misbah Ibn Zainul Musthafa (1916-1994 M): Pemikir dan Penulis Teks Keagamaan dari Pesantren, Islah Gusmian menjelaskan, ketegasan sikap Kiai Misbah tampak ketika dia berpolemik dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkait masalah Bank di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU).

Pada 1992, Kiai Misbah mengirim surat kepada Gus Dur yang saat itu menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam surat itu, Kiai Misbah menyatakan sikap ketidaksetujuannya dan sekaligus mengkritik dengan tajam atas rencana pendirian Bank Perkreditan Rakyat Nahdlatul Ulama (BPR NU) oleh PBNU.

Pada masa itu, hasil Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta memang telah mengamanatkan kepada PBNU untuk meningkatkan pembangunan ekonomi warga NU. Karena, disadari bahwa warga Nahdliyin termasuk kelompok yang paling lemah di bidang ekonomi.

Seperti dikutip Martin Van Bruinessen, program yang paling penting dan relevan pada waktu itu adalah pendirian BPR NU yang menyediakan kredit kecil kepada para pengusaha kecil dan petani yang berlatar belang NU, meskipun BPR-BPR tersebut tidak bebas dari bunga.

Padahal, menurut Islah Gusmian, harus diakui bahwa soal bunga bank di kalangan ulama NU merupakan isu yang sensitif, meskipun Muktamar NU pernah memperbolehkan bunga bank milik pemerintah.

Terkait isu bunga bank ini, menurut Islah, Kiai Misbah termasuk pihak yang tidak setuju. Dalam suratnya yang dikirim ke PBNU saat itu, Kiai Misbah menyatakan sikapnya tentang pelarangan mendirikan bank dan menngkritik para pemimpin NU yang dianggap telah berubah dari tujuan awal pendirian NU.

“Kalau orang yang dipucuk pimpinan sudah demikian cara hidupnya, berbuat dan berucap sekehendak hatinya, apa yang terjadi pada orang-orang bawahannya? Kalau tongkat itu lurus, sudah tentu bayangannya juga lurus, tetapi kalau tongkat itu bengkok, sudah tentu bayangan tongkat itu juga bengkok,” kata Kiai Misbah dalam surat itu, tertanggal 19 Februari 1992. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement