Jumat 10 Dec 2021 02:50 WIB

Ketika Belanda Soroti Kesehatan Jamaah Haji Indonesia

Penyelenggaraan ibadah haji Indonesia sempat digelar Belanda pada 1859 dan 1922.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Esthi Maharani
Jemaah umroh mengelilingi Ka
Foto: AP Photo/Amr Nabil
Jemaah umroh mengelilingi Ka

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Belanda menjajah Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji sempat digelar pada kisaran 1859 dan 1922. Kala itu, Belanda pun menyoroti perihal kesehatan jamaah dan mekanismenya hingga sampai ke tanah suci.

Dalam buku 'Ibadah Haji di Tengah Pandemi Covid-19 Penyelenggaraan Berbasis Resiko' karya M Imran S Hamdani disebutkan Belanda memberikan maklumat kepada bupati untuk menginformasikan situasi di tanah suci. Termasuk persoalan-persoalan kesehatan kepada seluruh orang yang akan berangkat haji.

Informasi tersebut di antaranya mengenai pemberlakuan pengawasan sanitasi yang ketat bagi kapal dan jamaah haji yang melintas Laut Merah. Selain itu, juga diinformasikan bahwa adanya kemungkinan pelarangan untuk memasuki wilayah hijaz apabila ditemukan jamaah haji yang memiliki penyakit menular.

Ketika wabah kolera merebak di tengah jamaah haji, Inggris dan Belanda yang mendominasi transportasi haji di masa itu melakukan pengawasan kesehatan yang sangat ketat. Monopoli kapal, pengawasan kesehatan yang ketat, dan penerapan prinsip sanitasi dalam berhaji telah menciptakan kekuatan baru bagi Inggris dan Belanda untuk mengawasi perjalanan haji.

 

Tindakan ini juga untuk mencegah penyebaran wabah kolera di Timur Tengah masuk ke Eropa. Pemahaman yang minim tentang bagaimana kolera menjangkit jamaah haji selama dalam perjalanan haji membuat penanganan menjadi tidak optimal.

Siti Rahmawai dalam karya ilmiahnya dengan judul "Kebijakan Hindia Belanda terhadap haji di Batavia pada tahun 1859 dan 1922" menuliskan, terlihat pada tahun 1859 ini banyak kebijakan Belanda yang terkesan menyulitkan.

"Yang diterapkan oleh Belanda untuk para calon jamaah haji di Batavia, mulai dari harus mempunyai materi yang cukup, memiliki surat izin untuk melakukan ibadah haji dari penguasa setempat," katanya.

Siti mengatakan, selain itu adanya keterangan yang jelas mengenai kepulangan jamaah haji, serta adanya pelatihan khusus bagi para jamaah setelah melakukan ibadah haji agar  memperoleh sertifikat dan diperbolehkannya memakai pakaian haji. Akan tetapi,  jika tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Kolonial Belanda, jamaah akan dikenakan denda.

Lahirnya kebijakan haji sendiri diharapkan dapat mempermudah para  kcalon jamaah untuk melaksanakan ibadah haji. Namun pada kenyataannya kebijakan yang tertera dalam Ordonansi yang dibuat tahun 1859 tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.

Hal ini terlihat dimana Ordonansi tahun 1859 menjelaskan bahwa akan adanya perbaikan baik dari segi fasilitas kapal yang akan mengangkut para calon jamaah haji maupun fasilitas kesehatan serta kebutuhan pokok.

"Namun, kenyataannya banyak para calon jamaah haji yang tidak mendapatkan fasilitas yang layak," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement