Ahad 12 Dec 2021 23:16 WIB

PBB: Pelanggaran HAM di Myanmar Kian Mengkhawatirkan

Situasi HAM di Myanmar kain menurun dan dalam kondisi belum pernah terjadi sebelumnya

 FILE - Polisi berjaga di balik kawat berduri ketika mereka berusaha untuk menghentikan pengunjuk rasa di luar kantor Komisi Pemilihan Umum di Naypyitaw, Myanmar pada 11 November 2020. Pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan negara itu, Jenderal Aung San , yang dibunuh pada tahun 1947, kurang dari enam bulan sebelum negara itu, yang saat itu bernama Burma, merdeka dari Inggris. Suu Kyi pindah ke New Delhi pada tahun 1960 ketika ibunya ditunjuk sebagai duta besar untuk India dan kemudian menghabiskan sebagian besar masa dewasa mudanya di Amerika Serikat dan Inggris. Karirnya di dunia politik dimulai pada tahun 1988.
Foto: AP/Aung Shine Oo
FILE - Polisi berjaga di balik kawat berduri ketika mereka berusaha untuk menghentikan pengunjuk rasa di luar kantor Komisi Pemilihan Umum di Naypyitaw, Myanmar pada 11 November 2020. Pemimpin Myanmar yang digulingkan Aung San Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan negara itu, Jenderal Aung San , yang dibunuh pada tahun 1947, kurang dari enam bulan sebelum negara itu, yang saat itu bernama Burma, merdeka dari Inggris. Suu Kyi pindah ke New Delhi pada tahun 1960 ketika ibunya ditunjuk sebagai duta besar untuk India dan kemudian menghabiskan sebagian besar masa dewasa mudanya di Amerika Serikat dan Inggris. Karirnya di dunia politik dimulai pada tahun 1988.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA  -- Pelanggaran berat HAM baru-baru ini di Myanmar merupakan eskalasi kekerasan yang mengkhawatirkan. Demikian disampaikan kata Kantor HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merujuk pada laporan bahwa pasukan keamanan membunuh dan membakar hidup-hidup sebelas orang, termasuk lima warga di bawah umur.

"Kami terkejut dengan eskalasi pelanggaran HAM yang mengkhawatirkan di Myanmar," kata juru bicara Komisaris Tinggi HAM PBB Rupert Colville dalam konferensi pers pada Jumat (10/12).

Baca Juga

Dalam sepekan terakhir, jelasnya, pasukan keamanan telah membunuh dan membakar sampai mati 11 orang --di antaranya lima orang di bawah umur-- dan menabrakkan kendaraan ke pengunjuk rasa yang menggunakan hak mendasar mereka untuk berkumpul secara damai.

Colville mengatakan bahwa lebih dari 10 bulan sejak militer Myanmar menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis, situasi HAM negara itu semakin menurun dan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kantor HAM PBB memuji orang-orang yang berani dan tangguh di Myanmar dengan memperingati Hari Hak Asasi Manusia pada Jumat. Mereka melakukan protes diam universal untuk menentang kudeta yang dilakukan militer.

"Pada dasarnya ada kelompok-kelompok penentang pemerintah yang tampaknya merasa tidak punya pilihan selain mengangkat senjata karena tidak ada dialog, tidak ada resolusi politik terhadap situasi tersebut," kata Colville, ketika ditanya apakah konflik di Myanmar telah berubah menjadi perang saudara.

"Dan militer telah meningkatkan keberadaannya di berbagai bagian negeri dalam beberapa bulan terakhir, yang telah kami tandai."

Pada Selasa (7/12), pasukan milisi diduga menyergap unit tentara Myanmar dengan alat peledak yang dikendalikan dari jarak jauh di Kotapraja Salingyi di wilayah Sagaing. Personel keamanan dilaporkan membalas tindakan itu dengan menyerbu desa Done Taw dan menangkap enam pria dan lima warga di bawah umur --yang termuda berusia 14 tahun.

Penduduk desa yang mengatakan mereka melihat api datang dari daerah itu kemudian menemukan sisa-sisa jasad terbakar dari 11 laki-laki."Penduduk desa menunjukkan bahwa jenazah-jenazah manusia yang ada menunjukkan seolah-olah mereka mencoba untuk melindungi satu sama lain dan melarikan diri dari gubuk yang terbakar," ujar Colville.

Dalam insiden terpisah pada Ahad (5/12), pasukan keamanan di Kotapraja Kyimyindaing, Yangon, menabrakkan kendaraan ke arah pengunjuk rasa yang tidak bersenjata dan kemudian menembaki mereka dengan peluru tajam hingga menyebabkan beberapa korban.

"Serangan-serangan ini keji, sama sekali tidak dapat diterima, dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan umum," kata Colville.

Dalam beberapa pekan terakhir, Kantor HAM PBB telah menerima banyak laporan tentang desa-desa yang dibakar, termasuk bangunan yang dilindungi seperti tempat ibadah dan bangunan tempat tinggal."Sejak kudeta, pasukan Jenderal Min Aung Hlaing telah berulang kali gagal menghormati kewajiban mereka di bawah hukum internasional untuk melindungi rakyat negara itu," kata Colville.

Akibatnya, lebih dari 1.300 orang kehilangan nyawa dan lebih dari 10.600 orang lainnya ditahan."Pelanggaran berat terbaru ini menuntut masyarakat internasional untuk bertindak tegas, terpadu, yang melipatgandakan upaya untuk membuat militer Myanmar mempertanggungjawabkan tindakannya serta untuk memulihkan demokrasi di Myanmar," tutur Colville.

Militer Myanmar, yang dikenal secara lokal sebagai Tatmadaw, melancarkan kudeta militer pada Februari dan memenjarakan anggota-anggota pemerintah sipil.Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin rezim militer, telah mengangkat dirinya sendiri sebagai perdana menteri. Ia menjanjikan penyelenggaraan pemilihan multipartai dan mencabut keadaan darurat pada Agustus 2023.Lebih dari 1.000 orang tewas sementara lebih dari 5.400 orang lainnya ditangkap oleh pasukan junta, banyak dari mereka telah dibebaskan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement