Kamis 16 Dec 2021 17:41 WIB

Kemenkes: Sunat Perempuan Merugikan Perempuan

Kemenkes tidak merekomendasikan sunat perempuan.

Bayi baru lahir (ilustrasi). Kementerian Kesehatan tidak merekomendasikan sunat pada perempuan karena dinilai merugikan perempuan.
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Bayi baru lahir (ilustrasi). Kementerian Kesehatan tidak merekomendasikan sunat pada perempuan karena dinilai merugikan perempuan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr Erna Mulati mengatakan bahwa pelaksanaan female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan tidak bermanfaat. Ia menyebut, tindakan itu merugikan bagi kaum perempuan.

"(FGM, red.) itu enggak ada manfaatnya ya, bahkan sangat merugikan," kata Erna dalam webinar series Pencegahan Pelukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP) dengan tema "P2GP dari Perspektif Kesehatan" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Baca Juga

Kementerian Kesehatan tidak merekomendasikan sunat pada perempuan. Erna mengatakan, perempuan bahkan dilarang untuk disunat.

"Karena kalau di bidang kesehatan, itu harus berbasis pada indikasi medis," katanya.

Erna menuturkan, FGM dapat dilakukan bila ada indikasi medis tertentu. Dengan begitu, pelaksanaan FGM dapat memberikan manfaat kesehatan.

Pihaknya memaparkan ada dampak jangka pendek dan jangka panjang setelah dilakukan FGM. Dampak jangka pendek di antaranya terjadi perdarahan.

"Kalau (perdarahan, red.) tidak ditangani segera, bukan tidak mungkin nanti bisa terjadi perdarahan yang hebat," katanya.

Selain itu, ada rasa nyeri berlebihan yang memungkinkan perempuan pingsan serta bisa terjadi syok karena perdarahan yang dialami. Dampak lainnya terjadinya infeksi saluran kencing.

"Bisa terjadi infeksi saluran kencing. Saluran kencing ini kalau tidak ditangani dengan baik, nanti sifatnya bisa kronis. Kalau sifatnya kronis tentu memberikan dampak yang cukup signifikan," tuturnya.

Kemungkinan selanjutnya ialah tidak bisa merasakan kebahagiaan saat berhubungan suami istri. Tak hanya itu, menurut Erna, perempuan yang disunat dapat mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan.

Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) Kementerian Kesehatan pada 2013 menunjukkan bahwa secara nasional, 51,2 persen anak perempuan berusia 0-11 tahun mengalami praktik sunat perempuan. Anak-anak paling banyak (72,4 persen) mengalaminya saat berusia 1-5 bulan.

"Gorontalo menjadi provinsi tertinggi kasus praktik sunat perempuan, yaitu sebesar 83,7 persen," ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, dalam siaran pers beberapa waktu lalu.

Menurut Bintang, sunat perempuan menjadi masalah yang sangat kompleks di Indonesia. Sebab, itu dilakukan berdasarkan nilai-nilai sosial secara turun-temurun.

"Padahal, dengan berbagai dampak yang merugikan perempuan dan manfaat yang belum terbukti secara ilmiah, sunat perempuan merupakan salah satu ancaman terhadap kesehatan reproduksi serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, bahkan pelanggaran terhadap HAM," kata Bintang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement