Selasa 21 Dec 2021 04:10 WIB

Taliban Minta OKI Desak AS Lepaskan Aset di Afghanistan

AS bekukan hampir 9,5 miliar dolar AS yang jadi aset milik bank sentral Afghanistan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Bilal Ramadhan
Warga Afghanistan berkumpul di luar kantor paspor saat Taliban melanjutkan penerbitan paspor, di Kabul, Afghanistan, 13 November 2021.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Warga Afghanistan berkumpul di luar kantor paspor saat Taliban melanjutkan penerbitan paspor, di Kabul, Afghanistan, 13 November 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pemerintah Taliban mendesak negara-negara Islam agar mendorong AS membatalkan sanksi yang dijatuhkan di Afghanistan. Mereka mengatakan tindakan itu memperburuk krisis pengungsi dan melukai rakyatnya.

Pembekuan aset Afghanistan yang dilakukan oleh AS merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Sementara, Menteri Luar Negeri Amir Khan Muttaq menyebut penangguhan bantuan pembangunan oleh Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia, telah mempengaruhi layanan kesehatan, pendidikan dan sosial.

Baca Juga

Hal ini ia sampaikan dalam sesi khusus Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang berlangsung di Pakistan. "Kami mendesak para peserta pertemuan besar ini untuk mengingatkan para pejabat AS, penganiayaan terhadap warga Afghanistan dan melemahnya pemerintah Afghanistan bukanlah kepentingan siapa pun," kata Muttaqi dikutip di The News Tribune, Senin (20/12).

Diketahui, Agustus lalu AS membekukan hampir 9,5 miliar dolar AS yang merupakan aset milik bank sentral Afghanistan. Mereka juga menghentikan pengiriman uang tunai ke negara itu.

Seorang pejabat AS saat itu mengatakan, aset bank sentral yang dimiliki pemerintah Afghanistan di AS tidak akan tersedia untuk Taliban, yang tetap berada dalam daftar sanksi Departemen Keuangan.

Di sisi lain, Taliban yang menguasai Afghanistan pada bulan Agustus, belum secara substansial mengatasi keprihatinan internasional atas perlakuan terhadap perempuan dan minoritas.

Para pemimpinnya telah berupaya mencari bantuan untuk mengatasi dampak dari krisis kemanusiaan yang mendalam di Afghanistan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari setengah dari hampir 40 juta orang di negara itu menghadapi kelaparan akut. Satu juta anak-anak bisa meninggal dunia saat musim dingin yang keras dimulai.

PBB juga mengatakan sebanyak 97 persen orang Afghanistan bisa hidup dalam kemiskinan pada pertengahan tahun 2022, yang mengalami kenaikan dari sekitar 72 persen pada 2020.

Program Pembangunan milik Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan lalu telah memperingatkan, sektor perbankan negara itu berisiko runtuh karena memburuknya masalah likuiditas dan peningkatan pinjaman bermasalah, yang berpotensi menambah krisis kemanusiaan yang berkembang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement