Senin 27 Dec 2021 23:56 WIB

Mengapa Ijma dan Qiyas Penting Menurut Imam Syafii?

Ijma dan qiyas mempunyai kedudukan penting menurut Imam Syafii

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Ijma dan qiyas mempunyai kedudukan penting menurut Imam Syafii. Ilustrasi ijma
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ijma dan qiyas mempunyai kedudukan penting menurut Imam Syafii. Ilustrasi ijma

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Selain dalil yang berasal dari Alquran dan hadits, umat Islam ada kalanya tidak cukup menjadikan keduanya sebagai rujukan. Untuk itu dibutuhkan ijma dan juga qiyas, lantas apa kedudukan keduanya ini dalam fikih?

Konsensus ulama (ijma) menempati posisi penting dalam hukum Islam. Dalam perkembangan dinamika pengambilan hukum, ijma dijadikan sebagai satu dari referensi utama. Demikian juga qiyas atau analogi. Keberadaan dua dalil pengambilan hukum ini, diletakkan dalam empat dalil utama dalam kajian hukum Islam. 

Baca Juga

Menurut Ibnu Al-Mundzir (318 H), tokoh yang pertama kali melakukan inventarisasi ijma dalam kitabnya yang bertajuk Al-Ijma, terdapat sekitar 765 konsensus atas permasalahan ibadah dan muamalah.

Kendati konsensus yang berhasil dideteksi Ibnu Mundzir itu tidak seratus persen merepresentasikan secara bulat kesepakatan ulama, hanya mayoritas dari mereka saja.

Abu Ishaq Al-Isfarayini mendata kurang lebih terdapat sekitar 20 ribu konsensus ulama yang pernah ada. Dalam kitab Ma’usu’ah Al-Ijma’ fi Al-Fiqh Al-Islami tercatat sekitar 9.588 konsensus.

Imam Syafii dalam kitab Ar-Risalah menjelaskan bahwa apabila dia menetapkan hukum dengan ijma dan qiyas, sebagaimana menetapkan hukum Alquran dan sunnah, maka itu berarti latar belakang perkara yang beliau tetapkan hukumnya berbeda.

Imam Syafii menjelaskan bahwa dibolehkan atas dasar-dasar hukum yang berbeda yang sebabnya digunakan untuk menetapkan hukum yang sama. Beliau menekankan bahwa menetapkan hukum dengan Alquran dan sunnah untuk hal yang disepakati dan tidak ada perselisihan di dalamnya maka diyakini hukumnya benar secara lahir dan batin.

Beliau menetapkan hukum dengan sunnah diriwayatkan secara perorangan dan tidak disepakati oleh para ulama. Sehingga beliau mengganggap benar secara lahir, karena mungkin terjadi kekeliruan pada orang yang meriwayatkan hadis.

Imam Syafii menyebutkan bahwa pihaknya juga menetapkan hukum dengan ijma, lalu dengan qiyas. Memang, hukum ini lebih lemah daripada hukum sebelumnya, namun tetap memiliki kedudukan yang sangat penting. Sebab tidak boleh melakukan qiyas saat ada khabar, sebagaimana tayamum menghasilkan kesucian dalam perjalanan saat sulit memperoleh air, tetapi tidak menghasilkan kesucian saat ada air.

Begitu juga dengan sumber hukum yang berada di bawah tingkatan sunnah, bisa menjadi argumen saat tidak ditemukan sunnah.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement