Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dedy Setyo Afrianto

Inspirasi dari Buya Hamka

Sejarah | Tuesday, 04 Jan 2022, 20:06 WIB

Jika Anda termasuk penggemar film-film tanah air, besar kemungkinan Anda pasti pernah kenal dengan judul “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” (dirilis pada tahun 2013 disutradarai oleh Sunil Soraya) dan “Dibawah naungan Ka’bah” (dirilis pada tahun 2011 disutradarai oleh Hanny Saputra). Dua film itu adalah buah contoh film yang terinspirasi dari karya fenomenal seorang Buya Hamka, novel yang beliau tulis pada tahun 1930-an. Benar bahwa karya besar sering berumur panjang, bahkan melintas generasi. Manfaatnya tidak hanya dinikmati ketika karya itu dibuat, namun juga pada masa-masa sesudahnya, bahkan ketika yang membuatnya telah tiada.

Poster film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, disutradarai Sunil Soraya
Poster film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, disutradarai Sunil Soraya

Karya ini memang bukan karya biasa, namun karena sentuhan apik seorang da’i, guru, wartawan dan politisi sekaligus inilah yang membuatnya jadi masterpiece. Ya dialah Buya Hamka. Saya sendiri termasuk pengagum beliau. Sangat jarang ada berbagai keahlian yang bisa dimiliki oleh satu orang, namun beliau adalah sedikit diantaranya.

Rasa penasaran saya kemudian bertemu dengan karya mas Ahmad Fuadi, belum lama ini beliau menulis Novel Biografi tentang Buya Hamka, penerbit Falcon Publishing. Dalam tiga hari saya selesaikan novel biografi ini setebal 364 halaman ini.

  Novel Biografi Buya Hamka karya Ahmad Fuadi
Novel Biografi Buya Hamka karya Ahmad Fuadi

Agar kemanfaatannya bisa juga mengilhami teman-teman sekalian, saya coba ektraksi dalam tiga point singkat dibawah sebagai berikut.

Pertama, Hamka sedari kecil merupakan sosok pembelajar yang gila membaca dan menulis.

Kecintaanya terhadap dunia baca tidak hanya terbatas pada topik tertentu, namun banyak sekali disiplin yang digeluti, mulai dari keislaman, filsafat, politik, sastra dan lain sebagainya. Ayahnya yang bernama Haji Rasul merupakan sosok ulama besar yang disegani. Kecintaan Ayahnya terhadap ilmu, menular kepada anaknya ini. Perpustakaan di rumahnya, yang menampung buku-buku koleksi Ayahandanya, mempengaruhi kecintaan Hamka kecil tehadap benda yang bernama buku. Walaupun hubungan mereka kadang-kadang berjarak, sama seperti sebagian orang tua kepada anak lelakinya yang sedang tumbuh dewasa. Ada suatu fragmen cerita, dimana Hamka kecil sering sekali singgah di perpustakaan berbiaya murah di sekitar rumahnya dari pagi sampe sore. Saking sudah habis semua buku-buku “dilahapnya”, akhirnya, rasa penasaran Hamka kecil pindah kepada percetakan yang menyuplai buku-buku ke perpustakaan tersebut, hingga mendesak pemilik percetakan agar mengijinkan dirinya untuk bekerja paruh waktu dengan balasan boleh membaca buku dan dibawa pulang dengan gratis.

Tak dinyana, pengalaman Hamka kecil saat bekerja paruh waktu di percetakan inilah yang akhirnya menambah pengalamannya dan bermanfaat sekali ketika dirinya saat umur 19 tahun ke Mekah dan sedang butuh biaya sehari-hari. Seorang pengusaha percetakan melibatkan dirinya untuk bekerja disana, dan berhasil menyambung rejekinya dari bisnis percetakan ini.

Dimasa dewasanya, Hamka diberikan amanah untuk mengurusi penerbitan majalah “Pedoman Masyarakat” di Medan, dari awal rintisan hingga mendatangkan oplah yang berlipat-lipat. Hal ini juga dipengaruhi oleh tangan dingin Hamka yang menjadi kontributor penulisan beberapa cerbung yang berhasil menghipnotis pembacanya, hingga bertambah-tambah seiring berjalannya waktu.

Tulisan Hamka bertebaran di banyak media, tidak hanya bertemakan sastra belaka, saat beliau diamanahkan di Masyumi, tulisannya yang ber-genre politik juga ikut menambah keragaman kebisaannya beliau dalam menulis. Yang paling prestisius, adalah saat Beliau menuntaskan tulisannya tentang tafsir Al-Qur’an saat di penjara pada masa orla, dalam waktu sekira dua tahun empat bulan, tafsir 30 Juz itu berhasil Beliau selesaikan.

Kedua, Hamka memiliki komitmen dan keteguhan pendirian.

Jika Anda pernah membaca Buku Angela Duckworth yang berjudul GRIT, yang berisikan tentang ketahanan malangan sebagai sebuah syarat kesuksesan, persitensi terhadap keadaan yang dihadapi hingga pada akhirnya menghantarkan pemilik kegigihan itu sampai ke titik paling optimum, maka Buya Hamka ini adalah contoh salah satu sosok nya.

  Buku GRIT, karya Angela Duckworth.
Buku GRIT, karya Angela Duckworth.

Hamka kecil adalah tipikal profil anak remaja yang tumbuh dengan keadaan yang tidak selalu mudah. Walaupun beliau merupakan anak ulama tersohor di kampungnya, tidak lantas semua fasilitas tersedia untuk memenuhi kebutuhannya. Beberapa part dalam paragraf sebelumnya, saat Hamka kecil berkeinginan bekerja menjadi karyawan percetakan demi untuk bisa membaca adalah salah satunya.

Pada peristiwa lainnya, saat Hamka berusia 19 tahun dan ingin naik haji ke Mekah seraya menuntut ilmu sesuai amanah ayahnya. Dimana perjalanan ini tentunya bukan perjalanan pendek yang setidaknya butuh dua minggu (saat itu) terapung-apung diatas kapal laut bersama para jamaah haji yang lainnya dari berbagai daerah. Hamka hanya mengandalkan beberapa golden yang berhasil disisihkan dari uang sakunya, sisanya yang lain adalah bantuan dari teman dan saudaranya.

Keteguhan pendirian beliau teruji saat menjadi ketua MUI, dimana saat itu tekanan politik pada suatu fatwa MUI sebelumnya menyebabkan dirinya menyerahkan jabatannya (mengundurkan diri) karena menyakini kebenaran yang lebih luhur.

Ketiga, Hamka mudah memaafkan.

Soekarno adalah sosok yang pernah sangat dekat dengan Hamka, tidak hanya dengan Hamka saja malah, Soekarno dekat dengan ayah Hamka juga. Kedekatan mereka mirip layaknya ayah dan anak, sehingga saat Haji Rasul tinggal di Jakarta dalam beberapa waktu tak segan-segan memberikan nasihat-nasehat kepada Soekarno, khas seperti seorang ayah kepada anaknya yang memberikan wejangan dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Kedekatan Hamka dengan Presiden pertama RI itu tak memberikan keterbatasan sebagai seorang sahabat yang ingin ikut mengarahkan jika sahabatnya dinilai salah langkah. Ada suatu momen ketika Hamka berbeda pandangannya melihat kebijakan politik Soekarno yang menjadi-jadi ketika terlihat makin otoritarian ditambah lebih mesranya dengan PKI. Akhirnya dengan karya-karya tulisannya yang tetap santun, memilih jalannya untuk mengkritik Soekarno.

Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan 5 tahun kemerdekaan RI di halaman Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950. Sumber : Kompas.com
Presiden Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan 5 tahun kemerdekaan RI di halaman Istana Merdeka pada 17 Agustus 1950. Sumber : Kompas.com

Tak seberapa lama, tidak hanya penerbitan Hamka yang dibredeli dimasa itu, namun Hamka tiba-tiba dijemput tanpa ada pengadilan yang jelas lalu dijebloskan kedalam tahanan. Hamka mulai menghiasi hari-harinya didalam tahanan, dengan berbagai macam keterbatasan yang menghimpit aktivitasnya. Bahkan surat-suratnya yang dialamatkan kepada kolega dan sahabatnya, tidak pernah sampai karena berhenti ditangan sipir penjara. Tidak cukup disana, buku-buku tulisan Hamka dilarang untuk terbit dimasa itu, karna dianggap sebagai barang haram. Perlahan namun pasti, tidak hanya Hamka yang merasakan efeknya, namun juga keluarganya, karena sebagian besar penghasilan dan nafkah Hamka untuk keluarganya berasal dari royalti buku-bukunya.

Lalu setelah masa orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto, tahanan politik orla dibebaskan satu persatu oleh negara, termasuk Hamka juga dapat kembali ke rumah.

Suatu hari, ada utusan penting Soekarno yang bernama Mayjen Soeryo mampir ke rumah, tepatnya pada tanggal 16 Juni 1970. Sembari memberikan surat yang berpesan berbunyi “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku”. Sambil terkaget juga saat itu, diberitahukan bahwa Soekarno telah tiada.

Namun respon Hamka yang membuat semua orang takjub, yakni Beliau tetap bersedia menjadi imam sholat jenazah Soekarno, walaupun dimasa sebelumnya banyak bertubi-tubi menerima kesulitan saat rezim Soekarno berkuasa.

Hal ini juga senada dengan kesaksian Irfan Hamka, putra beliau yang menuliskan buku memoar tentang Hamka berjudul “Ayah Kisah Buya Hamka” (2013).

Demikian sedikit diantara banyak hal kekaguman Saya terhadap Beliau Buya Hamka, tentu saja masih banyak sekali insight penting yang nantinya bisa disuguhkan kepada teman-teman sekalian dalam kesempatan berikutnya.

Semoga dapat menginspirasi pembaca sekalian.

Salam hangat,

Dedy Setyo Afrianto

*diambil dari blog pribadi penulis, bisa diakses melalui https://dedysetyo.net/2022/01/02/inspirasi-dari-buya-hamka/

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image