Kamis 06 Jan 2022 17:29 WIB

Alun-Alun Hingga Gedung Agung Dijual di Next Earth, Ini Kata Pakar UGM

Konsep NFT di Next Earth mungkinkan aset virtual dipindahtangankan

Rep: Silvy Dian Setiawan / Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) melakukan latihan pengibaran bendera di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Dunia maya dihebohkan setelah Alun-alun Utara, Kantor Gubernur DIY (Kepatihan) hingga Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta dijual secara virtual di Metaverse menggunakan cryptocurrency di situs Next Earth. Pakar Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Ridi Ferdiana pun menjelaskan terkait konsep jual beli aset virtual ini.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) melakukan latihan pengibaran bendera di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Dunia maya dihebohkan setelah Alun-alun Utara, Kantor Gubernur DIY (Kepatihan) hingga Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta dijual secara virtual di Metaverse menggunakan cryptocurrency di situs Next Earth. Pakar Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Ridi Ferdiana pun menjelaskan terkait konsep jual beli aset virtual ini.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dunia maya dihebohkan setelah Alun-alun Utara, Kantor Gubernur DIY (Kepatihan) hingga Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta dijual secara virtual di Metaverse menggunakan cryptocurrency di situs Next Earth. Pakar Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Ridi Ferdiana pun menjelaskan terkait konsep jual beli aset virtual ini.

Ridi mengatakan, konsep Metaverse merupakan dunia virtual berbasis 3D yang kerap kali dikaitkan dengan sebuah permainan (game). Metaverse sendiri, katanya, evolusi dari sebuah video game yang menghubungkan aktivitas dunia nyata ke dunia virtual.

Kemajuan teknologi menggeser sebuah video game menjadi dunia virtual ini, mereplikasi kondisi dunia nyata. Hal ini menjadikan aktivitas manusia di kehidupan sehari-hari dapat dilakukan di dunia virtual.

"Dunia virtual yang makin membesar berkat teknologi komputasi awan, membuat para pengembang teknologi informasi dapat mereplikasi seisi bumi dalam bentuk virtual, dan dari situlah Metaverse hadir," kata Ridi kepada wartawan, Kamis (6/1).

Ridi menjelaskan, lokasi atau lahan yang ada di Metaverse tidak diberi nama (unnamed territory). Namun, pemilik aset virtual yang ada di Metaverse berkemungkinan besar menamakannya dengan lokasi yang sama di dunia nyata.

"Pada saat itu terjadi, tentu pemilik aset real dapat memilikinya atau membiarkannya karena di dunia virtual yang berbeda," ujar Ridi.

Sedangkan, Next Earth sendiri merupakan situs yang mengkombinasikan berbagai teknologi peta digital, blockchain dan konsep Metaverse. Next Earth ini, katanya, merupakan jual beli cryptocurrency dengan menggunakan tanah virtual sebagai asetnya.

"Next Earth juga cerdas dengan mengizinkan kita memberi nama sendiri lokasi yang ada. Secara default, nama yang kita beli adalah unnamed territory walaupun kursornya kita arahkan ke lokasi yang sangat ternama," katanya.

Terkait keamanan aset virtual di Next Earth, didasarkan pada konsep blockchain. Crypto pada Next Earth yakni Non-Fungible Token (NFT) yang tidak dapat dipertukarkan, tetapi dapat diperjual belikan.

"NFT adalah objek digital yang unik dan melekat pada objek digital tersebut. Layaknya membeli kendaraan dengan kepemilikan BPKB yang tercatat, maka membeli tanah virtual akan memiliki kepemilikan berupa NFT yang mencegah aset disalin dan diperbanyak," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement