Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dr. Abu Fayadh Muhammad Faisal, M.Pd

Materi Kajian: Syariah ISLAM

Agama | Saturday, 08 Jan 2022, 12:03 WIB
Sertifikat Pemateri Kajian Syariah ISLAM

Materi Kajian: *Syariah Islamiah*

Disampaikan Oleh: Ustadzah Ummu Ali Yusron Ar Rosyid* -Al Hafidzhah- (Aktivis Muslimah dari Surakarta/Solo)

Pada Kajian Online yang diselenggarakan Komunitas YOUNGSPIRITMONVEMENT pada Jum'at, 07 Januari 2022

Muroja'ah/Di Koreksi Oleh: Ustadz Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani, S.Pd, M.Pd, I, M.MPd* -Hafidzhahulloh Ta'ala-

(Aktivis Pendidikan dan Kemanusiaan, Alumni dan Aktivis 212, Praktisi dan Pengamat PAUDNI/Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal, Aktivis Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat, Domisili Saat ini di Bekasi Raya Kota dan Kabupaten Bekasi/Babelan City)

*Pengertian Syariah*

Pengertian Syariah -

Istilah syariah meledak penggunaannya di berbagai media, khususnya media sosial dan media elektronik lainnya beberapa tahun belakangan. Sehingga, masyarakat Indonesia tidak lagi merasa asing atau terkesan terlalu religius saat mendengar atau membicarakan kata ini. Tidak berhenti di situ, istilah syariah pun menjadi hal biasa bagi sahabat dari komunitas agama selain Islam.

Hal ini dikarenakan meningkatnya tren gaya hidup halal di Indonesia. Bahkan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, Sandiaga Uno, menyarankan agar semua harus halal. Di sisi lain, syariah kerap lekat dengan produk-produk halal. lantas, apa itu pengertian syariah?.

Pengertian Syariah

Pengertian syariah secara sederhana ialah jalan yang jelas yang ditunjukkan Allah kepada umat manusia. Jalan ini berupa hukum dan ketentuan dalam agama Islam, yang bersumber dari al-Quran, hadis Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam, ijma, dan qiyas. Tujuan dari syariah tidak lain dan tidak bukan adalah agar umat manusia tidak tersesat dalam hidup, baik di dunia atau di akhirat. Karena Allah telah memberitahukan jalan mana yang harus dilalui itu tadi.

Tidak banyak yang tahu bahkan dari umat Islam sendiri, bahwa istilah syariah sudah digunakan sejak dulu, yakni pada zaman Nabi Muhammad. Akan tetapi, istilah yang dipakai bukan yang dalam bentuk tunggal, namun bentuk jamak yakni syara’i. sedangkan, syariah sendiri adalah kata berbentuk tunggal dalam bahasa Arab. Bahkan penggunaannya tidak hanya di Arab Saudi tempat kelahiran Nabi Muhammad, akan tetapi menyebar ke seluruh daratan Arab.

Meski dapat dimaknai sebagai jalan yang berbentuk hukum dan ketentuan dalam agama Islam, arti harfiah syariah sendiri bukan seperti itu. Syariah dalam bahasa Arab adalah sumber air. Banyak juga orang Arab yang menggunakan istilah syariah untuk menyebut jalan setapak menuju sumber air.

Sementara menurut para ulama, definisi syariah mencakup hukum dasar yang ditetapkan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan sesama manusia, dan juga kepada alam. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nisa ayat tiga belas.

Karena syariah adalah hukum dasar, maknanya menjadi masih bersifat terlalu umum. Hal ini dapat tergambar pada poin-poin hukum yang terdapat dalam al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam

Namun, hukum dasar yang masih sangat umum tersebut tentu perlu dikaji lebih dalam agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan disesuaikan dengan perkembangan zaman kehidupan manusia. Oleh karena itu, dibentuklah satu bidang ilmu pengetahuan yang khusus untuk mempelajari hukum dasar dan menyesuaikannya dengan hukum-hukum spesifik yang dibutuhkan oleh manusia. Bidang ilmu tersebut bernama ilmi fiqih dan orang yang memiliki keilmuan dalam bidang itu disebut faqih.

Oleh sebab itu, banyak salah paham yang menyamakan pengertian syariah dengan pengertian fiqih. Padahal, ada dua hal dasar yang sangat membedakan fiqih dengan syariah. Bahasan dalam syariah bersifat umum, mencakup akidah dan akhlak manusia. Oleh karena itu, syariah bersifat pasti atau niscaya. Sementara dalam fiqih, lingkup yang dibahas kepada cara atau amaliah tingkah laku manusia dan tidak ada satu kepastian dalam fiqih karena sifatnya yang merupakan hasil buah pemikiran para ulama mujtahid.

Fungsi Syariah

Seperti yang sudah sedikit dibahas di atas, syariah ditujukan kepada manusia agar dapat menjalankan kehidupan di dunia ini dengan baik sebagaimana mestinya, untuk kehidupan di akhirat.

Sutisna dalam bukunya Syariah Islamiyah menambahkan bahwa fungsi syariah memiliki dua garis besar, yakni manusia sebagai hamba yang otomatis harus menghambakan dirinya kepada penciptanya dan manusia sebagai jenis makhluk hidup yang diciptakan sebagai makhluk hidup terbaik, yang mengurus dan mengatur tatanan kehidupan di dunia.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa fungsi syariah adalah membantu manusia memiliki hablum minAllah atau hubungan kepada Pencipta dan hablum minannas atau hubungan kepada sesamanya, dengan sebaik mungkin.

Sekian artikel mengenai pengertian syariah dan sedikit kegunaannya. Semoga kita semua bisa memahami syariat sebagai hukum dasar yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi Muhammad ya, sehingga tidak lagi menyamakannya dengan fiqih yang pada dasarnya hasil pemikiran ulama mujtahid dan sangat mungkin memiliki versi yang berbeda.

*Pengertian Syariah Menurut Para Pakar*

Kata syariah sering kali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semakin populernya istilah syariah, sebenarnya apa definisi dari kata tersebut? Pada dasarnya, pengertian syariah merupakan aturan, ketetapan, dan hukum yang sudah diciptakan oleh Allah bagi seluruh makhluk-Nya. Jika kita selidiki asal-usul kata syariah serta proses perubahannya dalam bentuk dan makna, secara etimologi kata syariah berasal dari bahasa Arab yaitu kata syara’a yang artinya jalan. Sehingga jika disimpulkan, kata syariah juga berarti peraturan. Sedangkan secara terminologi atau istilah, syariah merupakan sebuah sistem aturan Tuhan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama manusia, maupun hubungan manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan di alam semesta ini. Di bawah ini kami paparkan pengertian lebih lanjut dari syariah yang disampaikan oleh para pakar.

Inilah Pengertian Syariah Menurut Para Pakar

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Fyzee (1965), ia mengemukakan bahwa pengertian syariah sama dengan yang diambil dalam istilah bahasa Inggris yang disebut sebagai Canon of Law. Canon of Law sendiri memiliki makna keseluruhan perintah Tuhan sehingga setiap perintah-perintah tersebut dinamakan dengan hukum. Perlu diketahui bahwa hukum Allah tidaklah mudah untuk dimengerti, sedangkan syariah sendiri sudah meliputi segala tingkah laku pada manusia. Selain itu, menurut Agnides, sesuatu yang tidak akan diketahui keberadaanya jika seandainya tidak ada wahyu Tuhan itulah yang disebut sebagai syariah. Sedangkan Rosyada mendefinisikan syariah dengan arti menetapkan norma hukum dengan tujuan untuk menata kehidupan manusia dengan Tuhannya, maupun dengan manusia lainnya.

Selain beberapa pengertian syariah yang telah disebutkan sebelumnya, Hanafi (1984) juga memberikan penjelasan mengenai syariah. Berdasarkan apa yang telah dikemukakannya, syariah adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk para hamba-Nya melalui salah seorang Nabi-Nya, baik hukum tersebut berkaitan dengan cara mengadakan perbuatan yang disebut sebagai hukum cabang dan amalan. Kemudian Zuhdi (1987) pun mengemukakan definisi syariah pula, yaitu hukum-hukum yang ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya bagi para hamba-Nya dengan tujuan agar mereka mentaati hukum-hukum tersebut.

Yang terakhir, menurut apa yang yang disampaikan oleh salah satu ahli lain bernama Ashshiddieqy, syariah merupakan nama untuk hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah. Hukum-hukum tersebut disampaikan melalui perantara Rasul Allah yang diperuntukkan bagi para hamba-Nya. Adanya syariah dimaksudkan agar setiap hamba Allah melaksanakan hukum-hukum tersebut dengan dasar iman dan takwa, baik hukum tersebut tentang amaliyah lahiriah maupun hukum yang berkenaan dengan akidah dan akhlak, kepercayaan yang memiliki sifat bathiniah. Selain ruang lingkup syariah dalam hal ibadah, syariah juga memiliki ruang lingkup mu’amalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan dengan benda. Seperti itulah beberapa pengertian syariah yang dikemukakan oeh para pakar serta beberapa penjelasannya.

*Mengenal Pengertian Syariat Islam*

Istilah syariat bukan lagi istilah yang baru atau aneh bagi banyak orang. Kata syariat ini sering ditemukan di berbagai tempat dan kesempatan. Mulai dari buku yang dibaca, ceramah ustadz, pengajian, kultum, dan lain sebagainya. Namun, apakah yang dimaksud dengan syariat?

Makna Syariat Secara Bahasa

Kata syariat sendiri sebenarnya merupakan kata dalam bahasa Arab yang kemudian diserap menjadi kata bahasa Indonesia. Bahkan kata ini juga bisa Anda temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online. Dalam KBBI, kata syariat berarti hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala., hubungan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Kata syariat juga memiliki bentuk tidak baku yaitu sarengat, sariat, sereat, dan syariah yang memiliki arti sama.

Namun, untuk mengetahui makna asli syariat, tentu saja Anda harus merujuk kepada kamus literatur bahasa Arab yang menjadi asal kata syariat tersebut.

Kata syariat berasal dari sya-ra-‘a yang artinya memulai, mengawali, memasuki, memahami. Dalam definisi lain, kata ini juga bisa berarti membuat peraturan, undang – undang, syariat. Sedangkan secara etimologi, kata syariat memiliki arti mazhab atau metode yang lurus.

Makna Syariat dalam Islam

Pemaknaan syariat atau definisi syariat antar ulama memiliki redaksi yang cukup berbeda. Imam al-Qurthubi misalnya, beliau mendefinisikan syariat islam sebagai agama yang Allah syariatkan kepada hamba – hambaNya. Definisi ini dituliskan dalam kitab Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an.

Sedangkan Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa mendefinisikan syariat Islam sebagai menaati Allah, menaati Rasul-Nya, dan para pemimpin dari kalangan orang beriman. Dan Imam Ibnu Atsir Al-Jazari menyebutkan bahwa definisi syara’ dan syariat lebih menitikberatkan kepada agama yang Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya. Yaitu agama yang Allah tetapkan bagi mereka dan wajibkan atas mereka. Definisi Imam Ibnu Atsir al-Jazari ini disampaikan dalam kitab an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar.

Terminologi syariat terbagi dalam dua definisi. Yaitu definisi umum dan definisi khusus.

Syariat dalam Makna Umum

Dalam makna umum, syariat mencakup seluruh hukum yang menjadi ketetapan Allah dan diwajibkan kepada hamba-hamba-Nya. Hukum ini disampaikan melalui wahyu yang turun atau melalui lisan rasul-Nya. Definisi syariat dalam makna umum ini mencakup hampir semua aktivitas yang dilakukan manusia. Mulai dari segi akidah, moral, ibadah, pekerjaan, politik, hukum, kekuasaan, warisan, pemberian, dan lain sebagainya.

Luasnya cakupan syariat secara umum ini mengisyaratkan bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh dan sempurna. Sehingga, segala hal telah memiliki koridor dan aturan yang jelas. Baik dari segi perintah hingga tata laksananya.

Syariat dalam Makna Khusus

Sedangkan syariat dalam makna khusus hanya mencakup sebagian dari hukum – hukum syar’i karena adanya sebab dan kebutuhan tertentu. Misalnya, pada saat kata syariat digunakan bersama dengan kata akidah, maka definisi syariat menjadi hal – hal yang berkaitan dengan hukum – hukum fisik. Seperti hubungan antara manusia dengan Rabbnya, dengan sesama manusia, dengan alam, dan juga dengan kehidupan. Sedangkan pada definisi ini, akidah merujuk pada hal – hal yang berkaitan dengan keyakinan dan iman.

Di waktu lain, kata syariat juga bisa disandingkan dengan kata fiqh. Maka dalam kontes tersebut, syariat merujuk kepada hukum yang berasal dari wahyu atau Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan fiqh merujuk kepada hukum yang merupakan hasil dari ijtihad para mujtahid.

*Tujuan Syariat Islam*

Diturunkannya Syariat Islam kepada manusia tentu memiliki “tujuan” yang sangat mulia. Paling tida, ada “delapan” tujuan. Pertama, memelihara atau melindungi agama dan sekaligus memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak, karena, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256). Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih, “ Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29).

Pada hakikatnya, Islam sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia, bahkan kepada kita sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam. Berdakwah untuk menyampaikan kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun demikian jika memaksa maka akan terkesan seolah-olah kita butuh dengan keislaman mereka, padahal bagaimana mungkin kita butuh keislaman orang lain, sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala saja tidak butuh dengan keislaman seseorang. Tetapi bila seseorang dengan kesadarannya sendiri akhirnya masuk Islam, maka wajib dipaksa oleh Ulul Amri untuk melaksanakan Syariat Islam.

Dengan memilih muslim, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Seandainya ada seorang muslim tidak shalat, hal ini “bukan hanya” urusan pribadi tapi menjadi urusan semua muslim terutama Ulul Amri. Jika ada seorang muslim tidak melaksanakan kewajiban shalat karena dia tidak yakin akan kewajiban shalat, maka Empat Mahzab dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat menyatakan yang bersangkutan kafir. Yang karenanya harus dihukumkan kafir, artinya bila dalam tiga hari dia tidak segera sadar, maka dihukumkan sebagai murtad yang halal darahnya sehingga Ulul Amri bisa menjatuhkan hukuman mati. Tapi, seandainya tidak shalatnya yang bersangkutan bukan karena tidak yakin, tapi karena alasan malas misalnya, maka dalam hal ini “tiga” mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki) menyatakan yang bersangkutan berdosa besar, sementra Mazhab Hambali tetap mengkafirkannya.

Lalu bagaimana Ulul Amri menerapkan hukum bagi muslim yang tidak shalat karena malas? Pertama, Ulul Amri tentu saja berkewajiban mengingatkannya. Andaikata yang bersangkutan tetap tidak mau shalat padahal sudah diingatkan oleh Ulul Amri, menurut Mahzab Syafei dan Maliki, yang bersangkutan wajib dihukum mati. Imam Hanafi, sependapat dengan Mahzab Syafei dan Maliki, bahwasanya yang bersangkutan tidak bisa dihukumkan kafir, karena memang alasannya malas bukan mengingkari hukum Allah. Tetapi Imam Hanafi tidak sependapat dengan hukuman mati, karena selama tidak kafir berarti haram darahnya. Pandangan beliau, Ulul Amri harus memberikan hukuman kepada yang bersangkutan dengan dipenjara sampai yang bersangkutan sadar dan mau shalat. Sedangkan Mahzab Hambali, berpendapat dan berkeyakinan, bahwa seorang yang mengaku muslim lalu tidak shalat apa pun alasannya apakah karena tidak yakin atau malas, maka yang bersangkutan harus dihukumkan kafir. Beliau berpegang teguh kepada hadits Rasulullah Saw yang menyatakan, “Perbedaan antara muslim dan kafir adalah meninggalkan shalat”.

Yang kedua, “melindungi jiwa”. Syariat Islam sangat melindungi keselamatan jiwa seseorang dengan menetapkan sanksi hukum yang sangat berat, contohnya hukum “qishash”. Di dalam Islam dikenal ada “tiga” macam pembunuhan, yakni pembunuhan yang “disengaja”, pembunuhan yang “tidak disengaja”, dan pembunuhan “seperti disengaja”. Hal ini tentunya dilihat dari sisi kasusnya, masing-masing tuntutan hukumnya berbeda. Jika terbukti suatu pembunuhan tergolong yang “disengaja”, maka pihak keluarga yang terbunuh berhak menuntut kepada hakim untuk ditetapkan hukum qishash/mati atau membayar “Diyat” (denda). Dan, hakim tidak punya pilihan lain kecuali menetapkan apa yang dituntut oleh pihak keluarga yang terbunuh. Berbeda dengan kasus pembunuhan yang “tidak disengaja” atau yang “seperti disengaja”, di mana Hakim harus mendahulukan tuntutan hukum membayar “Diyat” (denda) sebelum qishash.

Bahwasanya dalam hukum qishash tersebut terkandung jaminan perlindungan jiwa, kiranya dapat kita simak dari firman Allah SWT: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah, 2:179). Bagaimana mungkin di balik hukum qishash dapat disebut, “ada jaminan kelangsungan hidup”, padahal pada pelaksanaan hukum qishash bagi yang membunuh maka hukumannya dibunuh lagi ? Memang betul, bila hukum qishash dilaksanakan maka ada “dua” orang yang mati (yang dibunuh dan yang membunuh), tapi dampak bila hukum ini dilaksanakan, maka banyaklah jiwa yang terselamatkan. Karena seseorang akan berfikir beribu kali bila mau membunuh orang lain, sebab risikonya dia akan diancam dibunuh lagi.

Kalau seorang pencuri terbukti benar bahwa dia mencuri, maka hukuman yang dijatuhkannya adalah potong tangan, maka seumur hidup orang akan mengetahui kalau dia mantan pencuri. Demikian pula, kalau seorang perampok dijatuhi hukuman potong tangan kanan dan kaki kiri secara bersilang, maka dia seumur hidupnya tidak akan dapat membersihkan dirinya bahwa dia mantan perampok. Dampak dari hukuman ini akan dapat membawa ketenangan dan kenyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara.

Yang ketiga, “perlindungan terhadap keturunan”. Islam sangat melindungi keturunan di antaranya dengan menetapkan hukum “Dera” seratus kali bagi pezina ghoiru muhshon (perjaka atau gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon (suami/istri, duda/jand) (Al Hadits). Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An Nuur, 24:2). Ditetapkannya hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk melindungi keturunan. Bayangkan bila dalam 1 tahun saja semua manusia dibebaskan berzina dengan siapa saja termasuk dengan orangtua, saudara kandung dan seterusnya, betapa akan semrawutnya kehidupan ini.

Yang keempat, “melindungi akal”. Permasalahan perlindungan akal ini sangat menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal), maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan benar mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa menggunakan akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas dari segala macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi lupa, sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah hanya berlaku bagi bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akalnya.

Betapa sangat luar biasa fungsi akal bagi manusia, oleh karena itu kehadiran risalah Islam di antaranya untuk menjaga dan memelihara agar akal tersebut tetap berfungsi, sehingga manusia bisa menjalankan syariat Allah dengan baik dan benar dalam kehidupan ini. Demikian pula, agar manusia dapat mempertahankan eksistensi kemanusiaannya, karena memang akallah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah yang lain.

Untuk memelihara dan menjaga agar akal tetap berfungsi, maka Islam mengharamkan segala macam bentuk konsumsi baik makanan, minuman atau apa pun yang dihisap misalnya, yang dapat merusak atau mengganggu fungsi akal. Yang diharamkan oleh Islam adalah khamar. Yang disebut khamar bukanlah hanya sebatas minuman air anggur yang dibasikan seperti di zaman dahulu, tapi yang dimaksud khamar adalah, “setiap segala sesuatu yang membawa akibat memabukkan” (Al Hadits).

Keharaman Khamar sudah sangat jelas, di dalam QS. Al Maidah ayat 90 Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maa-idah,5:90) Ayat ini mengisyaratkan, bahwa seseorang yang dalam kondisi mabuk, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib maka tergolong syaitan, karena sifat syaitani sedang mengusai diri yang bersangkutan.

Kalau khamar sudah dinyatakan haram, maka keberadaannya baik sedikit maupun banyak tetap haram. Suatu saat salah seorang sahabat mau mencoba mencampur khamar dengan obat, namun karena kehati-hatiannya maka ditanyakanlah tentang hal ini kepada Nabi Saw sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam bersabda: “Thariq bin Suwaid Radhiyallahu Anhu bertanya kepada Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam tentang khamar dan beliau melarangnya. Lalu Thariq berkata, “Aku hanya menjadkannya campuran untuk obat”. Lalu Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam berkata lagi, “Itu bukan obat tetapi penyakit”. Bahkan lebih tegas lagi Nabi Saw menyatakan, “Allah tidak menjadikan penyembuhanmu dengan apa yang diharamkan” (HR Al Baihaqi).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Daud, Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam menyatakan, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit sekaligus dengan obatnya, oleh karena itu carilah obatnya, kecuali satu penyakit yaitu penyakit ketuaan”. Sedangkan, dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam menyatakan, “Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya, diketahui oleh yang mengetahui dan tidak akan diketahui oleh orang yang tidak mengetahui”.

Betapa kerasnya peringatan ini yang dinyatakan, bahwa berjudi dan minum khamar adalah perbuatan syaitan, karena dia lambat laun dapat menghilangkan fungsi akal sehingga tidak mungkin yang bersangkutan bisa melaksanakan kewajibannya sebagai hamba-Nya. Sebaliknya, Allah Subhanahu Wa sangat menghargai orang-orang yang berhasil mengembangkan fungsi akalnya dengan benar sesuai dengan syariat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS.Az Zumar,39:9). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ‘Ulama” (QS. Faathir, 35:9).

Yang kelima, “melindungi harta”. Yakni dengan membuat aturan yang jelas untuk bisa menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. “Laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-idah, 5:38). Juga peringatan keras sekaligus ancaman dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala bagi mereka yang memakan harta milik orang lain dengan zalim, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam) (QS. An Nisaa, 4:10).

Yang keenam, “melindungi kehormatan seseorang”. Termasuk melindungi nama baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi kehormatannya di mata orang lain dari upaya pihak-pihak lain melemparkan fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan. Karena itu betapa luar biasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk cambuk atau “Dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”(QS. An Nuur, 24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat. Dan bagi mereka azab yang besar” (QS. An Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk kita berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama mu’min (QS. Al Hujurat, 49:12).

Yang ketujuh, “melindungi rasa aman seseorang”. Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).

Yang kedelapan, “melindugi kehidupan bermasyarakat dan bernegara”. Islam menetapkan hukuman yang keras bagi mereka yang mencoba melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan yang sah yang dipilih oleh ummat Islam “dengan cara yang Islami”. Bagi mereka yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, disalib atau dipotong secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.

Wallahu a’lam bish-shawab.

*Syariat Islam dalam Kehidupan Sehari-hari*

Dalam Islam segala sesatu telah diatur, mulai dari lahir hingga meninggal dunia, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali tidak ada yang tidak diatur dalam Islam. Sehingga kesempurnaan islam merupakan keniscayaan yang luar biasa bagi pemeluknya. Syariat artinya hukum atau jalan yang sesuai dengan peraturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah telah menurunkan agama Islam secara lengkap dan sempurna kepada nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam. Ajaran Islam juga merupakan ajaran yang jelas dan mudah dimengerti, prkatis untuk diamalkan, dan sejalan dengan kepentingan manusia dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam al-Quran.

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

Terjemahan: Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Maidah: 03)

Jumhurul ulama menafsirkan ayat ini khususnya pada kata "terpaksa" yang dimaksud adalah dalam keadaan darurat, sama sekali tidak menemukan makanan yang halal, maka kita boleh memakan makanan yang diharamkan sekedar untuk mengisi perut yang kosong agar tidak mati.

Bagi Islam, syariat hanya berlaku bagi bagi orang yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat. Anak kecil belum dikenai syariat islam hingga dia dewasa dan orang gila tidak dikenai syariat Islam hingga dia waras dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tanda baligh bagi pria adalah ketika dia mimpi basah (mimpi bersetubuh) dengan lawan jenis (perempuan). Sedangkan untuk perempuan ditandai dengan telah mengalami menstruasi (datang bulan).

Bagi setiap muslim dan muslimah keharusan mematuhi syariat dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala. sebagai berikut.

ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ

Terjemahan: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (Q.S. Al-Jatsiyah: 18)

Syariat Islam dalam pembahasannya secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut:

Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah Subhanahu Wa Ta'ala. dan alam gaib yang tak terjangkau oleh indera manusia (Ahkam Syariyyah I'tiqadiyyah) yang menjadi pokok bahasan ilmu Tauhid.

Petunjuk untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya (Ahkam Syariyyah Khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (akhlak).

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara ibadah kepada Allah swt. atau hubungan manusia dengan Allah (vertikal), serta ketentuan yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya.

Akhir-akhir ini umat islam biasanya mengidentikkan syariat dengan fiqih, oleh karena sedemikian erat hubungan keduanya.Akan tetapi pada dasarnya keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Syariat islam merupakan ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang sangat mendasar dan global sehingga tidak dapat dirubah oleh siapapun dan kapanpun, syariat bersifat kekal. Sedangkan fiqih merupakan penjabar dari syariat yang berasal dari ijtihad para mujtahid, sehingga dalam perkara perkara tertentu fiqih bersifat lokal dan temporal. Itulah sebabnya ada sebutan fiqih kebangsaan, fiqih irak, dan lain sebagainya. Selain itu fiqih merupakan hasil dari pemikiran mujtahid sehingga ada yang namanya fiqih Syafi'i, Fiqih Maliki, Fiqih Hambali, dan Fiqih Hanafi.

Sifat Syariat Islam

Syariat Islam merupakan ketentuan Allah yang tetap sehingga memiliki sifat-sifat yaitu sebagai berikut:

1. Umum

Maksudnya syariat Islam berlaku bagi semua umat Islam di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. Berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia, yang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu dalam hal ini sangatlah terbatas. Hal ini didasarkan pada faktor kondisi dan keberpihakan hukum pada kepentingan penciptanya.

2. Universal

Maksudnya adalah syariat islam mencakup segala aspek kehidupan manusia. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam al-Quran.

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا طَٰٓئِرٖ يَطِيرُ بِجَنَاحَيۡهِ إِلَّآ أُمَمٌ أَمۡثَالُكُمۚ مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ يُحۡشَرُونَ

Terjemahan: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (Q.S. Al-An'am: 38)

Ayat di atas menjelaskan bahwa, tidak ada satupun ketentuan Allah yang terlupakan dalam Al-Quran. Secara garis besar Allah telah menggambarkan segalanya baik itu pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah, dan tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.

Bukti bahwa hukum Islam mencakup semua urusan umat manusia di berbagai bidang, dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Quran diantara bidang-bidang tersebut adalah sebagai berikut:

Bidang Ekonomi dan Keuangan

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ

Terjemahan: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar... (Q.S. Al-Baqarah: 282)

Bidang Usaha dan Kerja

وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Terjemahan: dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (Q.S. An-Najam: 39)

Bidang Kejujuran dan Peradilan

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا

Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S. An-Nisa: 58)

Bidang Militer

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡۚ

Terjemahan: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya... (Q.S. Al-Anfal: 60)

Bidang Masalah Perdata

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ

Terjemahan: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (janji-janji) itu ... (Q.S. Al-Maidah: 1)

Maksud ayat ini adalah janji-janji kepada Allah, kepada sesama manusia, dan kepada diri sendiri.

3. Original dan Abadi

Maksudnya bahwa syariat islam benar-benar diturunkan oleh Allah swt. dan tidak tercampur atau tercemar oleh usaha-usaha pemalsuan hingga akhir zaman. Allah swt berfirman di dalam Al-Quran.

إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

Terjemahannya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (Q.S. Al-Hijr: 9)

Ayat di atas memberikan jaminan akan keaslian dan kesucian al-Quran tanpa ada batas waktu (selama-lamanya). Firman Allah ini telah terbukti kebenarannya, seperti pernah beberapa kali ada usaha pemalsuan Al-Quran oleh orang yang tidak bertanggung jawab namun selalu gagal, karena Allah telah menjaga dengan memberi pengetahuan lebih kepada sebagian umat Islam yang menghafal dengan baik seluruh al-Quran, baik itu dari segi bacaan maupun segi makna.

4. Mudah dan Tidak Memberatkan

Syariat Islam bukanlah aturan yang turun untuk memberatkan umat Islam dalam menjalankannya. Kalau mau kita renungkan secara jujur dan arif, bahwa memang Islam bukanlah agama yang menyulitkan pemeluknya, aturan yang telah ditentukan bahkan untuk kemaslahatan umat manusia. Firman Allah swt dalam al-Quran.

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Terjemahannya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya... (Q.S. Al-Baqarah: 286)

Bukti-bukti bahwa syariat Islam mudah dan tidak memberatkan bisa kita lihat pada contoh-contoh penerapan ajaran agama Islam sebagai berikut:

Pertama, orang yang bepergia (musafir), diperbolehkan untuk mengqashar yaitu memendekkan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, dan jika dalam bulan ramadhan maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dengan syarat bahwa akan menggantikannya pada hari-hari di bulan selain bulan ramdhan.

Kedua, orang yang sakit atau orang yang berada di tempat yang tidak ada air, jika ingin shalat maka tidak diharuskan untuk bersuci dengan wudhu, melaikan dengan tayammun yaitu menggunakan debu. Dalam menunaikan shalatpun jika orang tidak dapat berdiri, maka dia diperbolehkan untuk duduk, atau jika tidak dapat duduk maka, ia diperbolehkan untuk tidur, dan seterusnya.

Ketiga, dalam keadaan tidak ada makanan untuk dimakan, maka diperbolehkan untuk memakan makanan yang haram, seperti bangkai, daging babi, dengan syarat tidak boleh berlebihan, hanya untuk bertahan hidup saja.

Keempat, percikan najis dari genangan air di jalanan, apabila mengenai pakaian dengan tidak sengaja, maka dimaafkan karena hal itu sulit untuk dihindari.

5. Seimbang antara Dunia dan Akhirat

Islam tidak memerintahkan kepada umatnya untuk mencari kesenangan dunia semata, dan juga tidak memerintahkan umatnya untuk mencari kebahagiaan akhirat belaka. Akan tetapi Islam mengajarkan agar pemeluknya mencari kebahagiaan kedua-duanya, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Ayat al-Quran yang menjelaskan tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat adalah sebagai berikut:

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

Terjemahan: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. Al-Qashash: 77)

Allah dengan jelas dalam ayat ini membuka menjelaskan bahwa antara dunia dan akhirat itu haruslah seimbang. Karena kebahagiaan di dunia juga menentukan kualitas ibadah manusia, sedangkan persoalan nilai kebahagiaan ini masih relatif nanti ditentukan oleh setiap manusia. Wallahu a'lam.

*SYARIAH ADALAH MASLAHAH*

Tujuan tertinggi ditegakkannya syariah adalah kebaikan (maslahah). Kebaikan tersebut tidak hanya bagi kaum muslimin, tapi bagi semua manusia secara simultan. Alasannya, karena syariah itu, secara etimologis, berarti “jalan”, “aturan”, “hukum”. Ketiganya berkonotasi positif , yakni “jalan” yang baik, “aturan” yang menenteramkan, dan “hukum” yang melindungi.

Dari pengertian secara etimologis ini, muncul pengertian secara terminologis bahwa syariah adalah jalan, aturan, dan hukum yang diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang harus ditegakkan oleh manusia. Alasannya, karena syariah itu common law of Islam. Artinya, segala titah Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam al-Qur’an dan Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam dalam al-Sunnah wajib dijalani.

Dengan kata lain, syariah sebagai common law of Islam itu tidak hanya mengatur hukum-hukum ibadah manusia secara vertikal kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, namun lebih jauh mengatur juga hubungan manusia dengan sesamanya secara horisontal, seperti soal perdata, pidana, dan siyasah (politik). Semuanya harus ditegakkan dengan syariah.

Namun karakter syariat itu tidak rumit, berat, dan melanggar hak-hak manusia yang asasi. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, “Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (QS. al-A’raf/7: 157).

Meminjam pendangan pengarang Tafsir Jalalain, berdasar ayat ini, syariah membuat manusia hidup sehat, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang memakan bangkai. Begitu juga segala beban dan belenggu dibuang seperti bertobat dengan cara membunuh diri sendiri dan memotong segala benda yang terkena najis. Jadi syariah itu meringankan yang berat.

Jadi, sekali lagi syariah itu adalah maslahah. Argumentasi lainnya, misalnya, seperti diungkap oleh Ali al-Sayis dalam Tarikh al-Fiqh al-Islam, bahwa karakter syariah itu tidak menyusahkan, merawat kebaikan manusia, dan memanggul semangat keadilan dalam pelaksanaannya. Jadi kalau syariah Islam dilaksanakan akan muncul keadilan.

Kesimpulan:

*Syariat Islam*

Hukum dan Aturan Agama Islam

Syariat Islam (bahasa Arab:

شريعة إسلامية )

yakni berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik muslim maupun non- muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan integral/ menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.

Sebagaimana tersebut dalam Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36, bahwa sekiranya Allah dan Rasul- Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul- Nya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.

Asas Syara'

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Furu' Syara'

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.

Definisi

Secara etimologi bahasa, kata syari'ah berarti jalan yang berbekas menuju air, karena sudah sering dilalui.[1] Kemudian maknanya berkembang menjadi sumber air yang selalu diambil orang untuk keperluan hidup. Secara istilah, syari'ah adalah apa yang digariskan dan ditentukan oleh Allah dalam agama sebagai aturan kehidupan para hamba-Nya. Syariah diartikan sebagai segala peraturan yang datang dari Allah, baik berupa hukum-hukum Akidah, hukum yang bersifat praktik, maupun hukum akhlak.

Jinayah

Jinayah adalah sebuah kajian ilmu hukum Islam yang berbicara tentang kejahatan.[2] Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan hukum pidana Islam.[2] Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidana kisas, hudud, dan takzir.[2]

Qishas

Qishas adalah penjatuhan coba sanksi yang sama dengan yang telah pelaku lakukan terhadap korbannya, misalnya pelaku menghilangkan nyawa korbannya, maka ia wajib dibunuh.[2] Kecuali, keluarga korban memaafkan si pelaku, maka pelaku hanya akan dikenakan denda yang dinamakan dengan diat atau denda sebagai pengganti dari hukuman.[3]

Hudud

Hudud adalah penjatuhan sanksi yang berat atas sesorang yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an dan Hadis, seperti zina, mabuk dan keluar dari agama Islam atau murtad.[2]

Takzir

Takzir adalah hukum yang selain hukum hudud, yang berfungsi mencegah pelaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan maksiat.[2]

Sumber Hukum Islam

Al- Quran

Al- Quran sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.[5] Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al- Quran disebut juga sebagai sumber pertama atau asas pertama syara'.

Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al- Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Quran namun tidak ada yang saling bertentangan.

Hadits

Hadits terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, di antaranya adalah:

Sahih

Hasan

Daif (lemah)

Maudu' (palsu)

Hadis yang dijadikan acuan hukum hanya hadis dengan derajat sahih dan hasan, kemudian hadis daif menurut kesepakatan Ulama salaf (generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu gairah beramal (fadilah amal) masih diperbolehkan untuk digunakan oleh umat Islam. Adapun hadis dengan derajat maudu dan derajat hadis yang di bawahnya wajib ditinggalkan, tetapi tetap perlu dipelajari dalam ranah ilmu pengetahuan.

Perbedaan Al- Quran dan Hadis adalah Al- Quran, merupakan kitab suci yang berisikan kebenaran, hukum- hukum dan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, yang kemudian dibukukan menjadi satu, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan Hadis merupakan kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah Quran berisikan aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli fikih dan ahli hadis dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tetapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat , tetapi hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.

Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam, berdasarkan Al- Quran dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalam wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal- hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :

Ijma', kesepakatan para ulama

Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya

Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat

'Urf, kebiasaan

Terkait dengan susunan tertib syariat, Quran dalam Surah Al-Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan Rasul- Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat Quran dalam Surah Al-Mai'dah[6] yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas syara' (ibadah Mahdah) dan perkara yang masuk dalam kategori Furuk syara (Gairu Mahdah).

Asas syara' (Mahdah)

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al- Quran atau Hadis. Kedudukannya sebagai Pokok Syariat Islam di mana Al- Quran itu asas pertama Syara` dan Hadis itu asas kedua syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di mana pun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad ﷺ hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.

Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh)

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al- Quran dan Hadis. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan/perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum islam :

bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (ilahi)

adil, artinya salam hukum islam keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah salam syariah di tetapkan.

individualistik dan kemasyarakatan yang di ikat dengan nilai-nilai transendental yaitu wahyu Allah Subḥānahu wa Ta’āla yang disampaikan kepada Nabi Muhammad ﷺ.

Hukum islam mempunyai 2 sifat.

1. Al-tsabah (stabil)

2. Al-tathawwur

Rujukan

*1. Nafis, Ph.D., M. Cholil (2011). Teori Hukum Ekonomi Syariah. Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 17. ISBN 9789794564561.

*2. Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag. (2013). fIqh Jinayah. AMZAH. ISBN 978-602-8689-76-2.

*3. Drs.H.Imron Abu Umar (1983). Terj. Fat-hul Qarib Jilid 2. Menara Kudus.

*4. Indonesia, Unknown, published by Majelis Ulama (2019-05-30), Bahasa Indonesia: Konferensi pers Pantauan Ramadhan tahun 2019, diakses tanggal 2020-06-02

*5. "...dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (Saba' 34:28)

*6. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan pada waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Māidah 5:101).

Ingat jangan Terlalu Phobia terhadap Syariah ISLAM karena Syariah ISLAM adalah tuntunan dari ALLOH Tabarokta Wa Ta'ala, Barokallohu fiiki, Semoga Bermanfaat.

Surakarta-Jawa Tengah, 07 Januari 2022

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image