Senin 10 Jan 2022 11:32 WIB

Mantan Kepala Polisi Xinjiang Ditunjuk Jadi Komandan Tentara Pembebasan Rakyat Hong Kong

Tentara pembebasan rakyat mempertahankan sekelompok pasukan pengamanan di Hong Kong

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Tentara Pembebasan Rakyat bekerja membersihkan jalanan Hong Kong dari puing di lokasi protes di Hong Kong Baptist University, Sabtu (16/11).
Foto: Television Broadcasts Limited Hong Kong via A
Tentara Pembebasan Rakyat bekerja membersihkan jalanan Hong Kong dari puing di lokasi protes di Hong Kong Baptist University, Sabtu (16/11).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China telah menunjuk seorang mantan kepala paramiliter, Peng Jingtang, sebagai komandan baru Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di Hong Kong. China Central Television (CCTV) melaporkan, Peng sebelumnya adalah wakil kepala staf kepolisian paramiliter China, atau Polisi Bersenjata Rakyat.  

Pengangkatan Peng ditandatangani oleh Presiden China, Xi Jinping. Menurut tabloid Global Times, Peng sebelumnya menjabat sebagai kepala staf Angkatan Bersenjata Polisi di Xinjiang.

Baca Juga

PLA mempertahankan sebuah garnisun atau pasukan pengamanan di Hong Kong, tetapi kegiatannya sebagian besar bersifat low profile. Di bawah konstitusi Hong Kong, Hukum Dasar, pertahanan dan urusan luar negeri dikelola oleh para pemimpin Partai Komunis di Beijing.

CCTV juga melaporkan, Peng akan bekerja dengan semua anggota garnisun untuk mengikuti perintah Partai Komunis yang berkuasa dan Presiden Xi. Peng akan membela kedaulatan nasional dan kepentingan keamanan.

Hong Kong kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997, dengan janji akan melindungi hak-hak individu secara luas. Tetapi aktivis pro-demokrasi dan kelompok hak asasi mengatakan, kebebasan Hong Kong telah terkikis, sejak China memberlakukan undang-undang keamanan nasional baru. Undang-undang tersebut diterapkan setelah aksi protes pro-demokrasi yang diwarnai kekerasan pada 2019.

Baca: Bayang-Bayang Kuasa Mantan Presiden di Balik Kekacauan Kazakhstan

Otoritas Hong Kong dan China menyangkal bahwa, undang-undang itu bertujuan untuk membatasi kebebasan. China mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk memulihkan ketertiban setelah kerusuhan pada 2019. 

Baca: Swiss Larang Tentara Pakai Aplikasi Pesan Asal AS dari Whatsapp Hingga Telegram

Baca: Awalnya Berdalih Mengawasi, Kini AS Malah Bangun Kilang Minyak di Suriah

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement