Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Sudah Saatnya Umat Islam Meningkatkan Keterampilan Menulis

Agama | Monday, 10 Jan 2022, 19:57 WIB

SEJAK dahulu sampai sekarang karya sastra memiliki pengaruh kuat dalam merubah karakter para pembacanya. Karya sastra telah melahirkan pula berbagai fanatisme dari para pembacanya. Tak sedikit para pembaca yang menjadikan karya sastra, baik puisi, novel, cerita pendek, dan karya sastra lainnya sebagai “pedoman kehidupannya”.

Tak sedikit pula para pembaca karya sastra yang menjadikan para penulis karya sastra menjadi idolanya. Karya-karya dari penulis idolanya sangat mereka nantikan. Melihat potensi besar dari karya sastra dan dunia tulis menulis sudah saatnya apabila kita menjadikan dunia tulis menulis sebagai sarana dakwah.

Melihat kehandalannya dalam mempengaruhi khalayak, tak mengherankan jika ada sebagian sastrawan yang awam terhadap ajaran Islam menggunakan keterampilan menulisnya untuk menyerang ajaran Islam. Salah satu sastrawan yang melahirkan karya sastra yang melecehkan ajaran Islam adalah Durante Degli Alighieri yang terkenal dengan sebutan Dante (1265 – 1321), salah seorang penyair berkebangsaan Italia.

Pada awal kariernya ia banyak menulis puisi dalam bahasa Italia. Karyanya hanya bisa dinikmati mereka yang berpendidikan tinggi. Karenanya hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memahami karya-karya Dante.

Dari sekian banyak karyanya, ia pernah tergelincir dan membuat sebuah karya nyeleneh yang melecehkan keyakinan agama. Dalam sebuah karya naskah dramanya ia membuat sebuah lakon yang berjudul Commedia Divina artinya kurang lebih Komedi Ketuhanan.

Dalam karyanya tersebut, sang penyair ini bercerita tentang Maometto plesetan dari nama Nabi Muhammad saw yang dikisahkan akan menjadi penghuni neraka paling bawah setelah para pembunuh dan penghina Tuhan. Para filosof muslim seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rushd akan menjadi penghuni neraka dengan derajat siksaan yang paling ringan. Sementara para sahabat dan para ulama akan mendapatkan siksaan neraka yang berat karena ia telah mengajarkan Islam yang dianggap ajaran sesat oleh sang penyair.

Karya Dante ditiru para penulis pengidap islamophobia berikutnya seperti Salman Rushdi, penulis keturunan India berkebangsaan Inggris. Ia menorehkan karyanya dalam judul Satanic Verses atau Ayat-Ayat Setan. Isinya hampir tidak berbeda dengan karya Dante, memplesetkan ketuhanan Islam dan menghina kenabian Nabi Muhammad saw.

Pada era beriktnya, Charlie Hebdo sebuah tabloid satir yang berpusat di Paris-Perancis mengikuti jejak orang-orang pengidap islamophobia sebelumnya. Dalam salah satu terbitannya, tabloid ini memuat kartun Nabi Muhammad saw.

Kartun yang menyakiti perasaan muslim dunia ini terbit pertama kali pada tahun 2015. Dalam kartun tersebut, Nabi Muhammad saw digambarkan sebagai orang Arab yang berserban bom. Kartun tersebut menimbulkan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang. Mereka menyerang kantor redaksi tabloid Charlie Hebdo. Insiden penyerangan itu menelan korban sebanyak 17 orang selama tiga hari, 12 orang diantaranya tewas.

Sekitar September 2020, tabloid Charlie Hebdo menerbitkan kembali kartun Nabi Muhammad saw seperti pada tahun 2015. Mereka mengaku tak gentar dengan kecaman siapapun. “Kami tidak akan pernah mundur. Kami tidak akan menyerah,” tulis Direktur Charlie Hebdo, Laurent 'Riss' Sourisseau.

Awak Charlie Hebdo lainnya mengatakan, “Penerbitan ulang karikatur perlu dilakukan . Satu-satunya alasan untuk tidak melakukannya, berasal dari kepengecutan politik atau jurnalistik.” Mereka pun berpandangan karya jurnalistik sebagai kekuatan untuk menyuarakan pendapat dan mempengaruhi penduduk dunia.

Mari kita merenung sejenak. Sampai kapanpun, akan tetap ada orang yang mengidap islamophobia. Mereka akan tetap berupaya melecehkan Islam, simbol-simbol Islam, dan umatnya. Kekuatan yang mereka gunakan adalah “ketajaman pena”. Mereka menggunakan kekuatan jurnalistik dan karya tulis.

Diakui sampai hari ini, karya jurnalistik dan karya tulis lainnya baik fiksi maupun nonfiksi masih terbilang ampuh dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat di belahan dunia manapun. Tidaklah mengherankan jika para pengidap Islamophobia benar-benar menggunakan internet, media sosial, dan media massa lainnya untuk menuangkan segala gagasan, pola pikir, dan pola pandang mereka terhadap Islam dan umatnya.

Strategi yang mereka lakukan ternyata banyak berhasil, dan kita umat Islam menjadi penentangnya. Kita sengaja dihadapkan oleh mereka dengan orang-orang yang pro terhadap karya dan kegiatan mereka.

Sekarang kita kembali kepada kita sebagai umat Islam. Harus diakui, pada saat ini kita memiliki kelemahan dalam bidang jurnalistik; dunia tulis menulis; dan membaca. Pada saat ini, hampir tidak ada media milik umat Islam yang dapat mempengaruhi pola pandang, pola pikir, dan mampu menggiring opini masyarakat dunia terhadap Islam, ajaran, dan umatnya.

Dalam menggunakan media sosial yang diakui kehandalan pengaruhnya, kita lebih sering menggunakannya untuk hal-hal yang remeh temeh. Media sosial jarang digunakan untuk menuangkan gagasan, pola pikir yang dapat membantu menyebarkan kemuliaan Islam dan ajarannya.

Dalam dunia dakwah pun tak jauh beda. Kita lebih senang melakukan dakwah dengan gaya bertutur yang dihiasi guyonan. Dakwah yang dilaksanakan pun lebih banyak menitikberatkan kepada popularitas pemateri daripada bobot materinya sendiri. Padahal, jika melihat tradisi dakwah yang dibawakan para ulama jaman dulu, mereka berdakwah bukan dengan berceramah, namun mereka berdakwah melalui tulisan; melalui ketajaman pena dan pola pikir yang kemudian mereka tuangkan dalam sebuah karya tulis.

Sampai hari ini, beribu-ribu karya tulis para ulama jaman dahulu masih menjadi rujukan dalam mempelajari Islam. Mereka menuangkan karya tulisnya dalam bentuk buku atau kitab selain untuk mengabadikan pemikiran dan kegiatan dakwahnya, juga sebagai strategi “perang” melawan pola pikir para islamophobia yang akan selalu ada pada setiap masa.

Lalu bagaimana dengan kita? Peperangan kita pada saat ini adalah perang strategi, perang opini, dan perang otak. Sangatlah tidak adil, jika mereka menyerang kita dengan opini, pola pikir, dan karya tulis, sementara kita menyerang mereka dengan otot dan kekerasan fisik. Oleh karena itu, menulis, menuangkan pola pikir baik melalui karya fiksi maupun nonfiksi yang isinya membela kemuliaan Islam merupakan bagian dari kekuatan Islam dalam menghadapi pola pikir kaum islamophobia.

Pola pikir para pengidap islamophobia harus kita lawan dengan pola pikir dan pandangan lurus kita terhadap Islam. Opini mereka yang nyeleneh terhadap Islam , kita lawan dengan opini yang meluruskan Islam dan ajarannya.

Semua kekuatan itu akan dapat kita lakukan apabila kita memiliki wawasan dan pandangan yang kita tuangkan dalam karya tulis. Setelah itu, karya tulis kita angkat ke “medan perang” dalam hal ini berbagai media, baik media massa; media elektronik; internet, maupun media sosial.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q. S. Al-Anfal: 60).

Ilustrasi : Menulis (Sumber gambar : republika. co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image