Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jendricho singarimbun

Bahasa Melayu: Ibu Bahasa Indonesia

Sastra | Wednesday, 12 Jan 2022, 10:41 WIB
Ilustrasi Peta Indonesia (Sumber: pixabay.com)

Sebelum berganti nama menjadi Indonesia, negara ini terdiri dari ribuan pulau yang berjajar dari Sabang sampai Merauke. Nusantara, berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata ‘nusa’ yang berarti pulau sedangkan ‘antara’ berarti luar jika digabungkan menjadi ‘pulau luar’. Pertama kali kata nusantara digunakan oleh Patih Gajah Mada pada sumpah Palapa. Pada tahun 1920-an, oleh Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau yang biasa dikenal dengan nama Dr. Setiabudi nama nusantara dikenalkan kembali ke masyarakat luas. Sampai saat ini pun, mata pelajaran sejarah di bangku sekolah dasar (SD) masih mengangkat bagaimana terbentuknya negara ini sampai dengan bahasa apa yang digunakan pada saat bangsa kolonial menduduki Indonesia.

Seketika saya bingung, ternyata pada zaman dahulu bahasa Indonesia itu belum lahir. Lalu, apa bahasa yang nenek moyang kita gunakan untuk berkomunikasi di kehidupan sehari-hari? Pada zaman kolonialisme di abad 19-an, dengan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang tergolong rendah tidak memungkinan mereka dapat menguasai bahasa para penjajahnya. Saya yang memiliki ketertarikan sejarah, mengulik sedikit demi sedikit bahasa apa yang sebenarnya digunakan pada abad tersebut. Nyatanya, dahulu pada dasarnya masyarakat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu Riau. Namun, seiring berkembangnya zaman, bahasa ini mengalami berbagai proses pembakuan karena digunakan untuk bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial.

Sebagai pemuda pemudi Indonesia yang masih memperjuangkan kemerdekaan negara ini, salah satu aspek yang mereka tekankan adalah bahasa. Maka dari itu, pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai “bahasa persatuan bangsa” pada Kongres Pemuda II. Tetapi menurut Muhammad Yamin, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional mengacu pada masa depan karena nantinya bahasa Melayu lah yang akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.

Benar betul yang dikatakan oleh tokoh nasional kita semua, Muhammad Yamin. Bahasa Melayu meluas penggunaanya di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya digunakan oleh suku Betawi. Saya sering mendengar pengucapan, “kaga”, “ape”, “pegimane”, “gue”, “ngape” dan bahasa dengan akhiran e lainnya. Awalnya saya pikir bahwa kata-kata tersebut semacam bahasa gaul anak muda untuk bergaul. Tidak disangka-sangka, bahasa gaul yang saya gunakan sehari-hari ini merupakan bagian dari bahasa Melayu! Dan saya pun sampai sekarang masih menggunakan kosakata tersebut dalam berkomunikasi dengan teman-teman sebaya saya.

Yang menjadi istimewa dari bahasa ibu ini adalah dapat menyatukan banyak suku bangsa. Bagaimana jika sampai saat ini tidak ada bahasa Indonesia? Apa yang akan terjadi jika saya mempunyai teman yang berasal dari suku Jawa, Batak, bahkan sampai Ambon, bahasa apa yang saya gunakan jika bukan bahasa Indonesia? Saya merasa beruntung hidup di Indonesia karena bisa menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dipelajari. Walaupun, terkadang memang banyak yang perlu diperhatikan seperti kebakuan bahasa tersebut.

Saya sendiri lebih senang melakukan komunikasi secara lisan dibandingkan dengan tulisan. Karena hal itu akan melatih kemampuan saya berbicara di depan umum dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Rasa percaya diri pun akan semakin tumbuh jika saya terus berlatih berbicara di depan umum. Hal itu sangat berdampak untuk bagi kelangsungan kehidupan sosial saya sendiri. Menyelami dunia komunikasi yang sangat membutuhkan kemampuan berbicara, memicu saya dalam menggali lagi kosakata bahasa Indonesia yang sebelumnya belum pernah saya dengar. Lebihnya lagi, jika kemampuan berbicara Anda sudah bagus maka kemampuan menulis Anda akan terlatih.

Sejatinya memang bahasa Melayu merupakan ibu dari bahasa Indonesia, namun hal ini jarang disampaikan oleh institusi pendidikan sejak saya duduk di bangku sekolah dasar (SD). Walaupun memang dijelaskan secara singkat bagaimana terlahirnya bahasa Indonesia ini, tetapi di zaman yang sudah sangat canggih ini seharusnya institusi pendidikan memperbaharui sistem kurikulum dan lebih mengenalkan si bahasa Melayu ini. Bagaimana pun, kita sebagai bangsa Indonesia harus menghidupkan masa lalu yang sudah mulai padam ini. Tidak hanya dari pihak institusi pendidikan saya, keluarga adalah tempat belajar pertama seorang anak. Jadi dibutuhkan pula peran orang tua di sini untuk terus memberikan ilmu-ilmu yang tidak dipelajari di sekolah.

Perkembangan zaman tidak luput dari hilangnya kultur-kultur di Indonesia yang sudah diwariskan sejak zaman kolonial. Sebagai pemuda dan pemudi, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar merupakan salah satu bentuk menghargai perjuangan para pahlawan yang sudah dengan sekeras tenaga berjuang demi mendapatkan pengakuan bahasa Indonesia untuk negara ini. Mirisnya, di dunia ketiga yang juga mengikuti arus globalisasi terkena dampaknya terhadap para pemuda dan pemudi. Seringkali mereka lupa akan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, justru malah berlomba-lomba dalam menggunakan bahasa asing, seperti Inggris dan Korea. Mereka menganggap bahwa menggunakan bahasa asing jauh lebih hebat dan keren sementara bahasa ibu dilupakan.

Tantangannya, bangsa ini harus terus memperjuangkan bahasa Indonesia yang sudah diperjuangkan ratusan tahun yang lalu. Menggunakan bahasa daerah atau asing memang bukan menjadi sebuah masalah, namun bahasa persatuan bangsa Indonesia, tetap bahasa Indonesia. Kalau kata Bung Karno dalam pidato terakhirnya, dengan tegas mengatakan “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah” atau biasa disingkat JAS MERAH.

Hidup Indonesia!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image