Jumat 14 Jan 2022 08:27 WIB

Kasus Cyber Crime Paling Banyak Terjadi di Perbankan

Nasabah bank lebih menggunakan fitur layanan daring dalam bertransaksi.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Cyber crime (ilustrasi)
Foto: theinquirer.net
Cyber crime (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Kasus terkait cyber crime disebut paling banyak terjadi di dunia perbankan. Hal ini diungkapkan Executive Vice President Sentra Layanan Digital BCA, Wani Sabu, pada acara kuliah tamu Cyber Crime Awareness di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), beberapa waktu lalu.

Dominasi kasus cyber crime yang terjadi di perbankan tidak lepas dari aktivitas nasabah selama pandemi Covid-19. Menurut dia, 99.5 persen nasabah bank lebih menggunakan fitur layanan daring dalam bertransaksi.

Kasus yang sering terjadi adalah penipuan nasabah saat proses jual beli barang melalui platform digital. "Salah satu model penipuannya adalah dengan membuat akun toko palsu," kata Wani.

Wani mencontohkan salah satu kasus yang sering terjadi dalam transaksi jual-beli online (daring). Toko daring biasanya menggunakan nama toko lain yang lebih kredibel. Mereka membeli followers (pengikut) di media sosial dan juga memberikan diskon secara besar-besaran.

Kondisi tersebut akan memancing masyarakat untuk membeli dan mentransfer sejumlah uang. Kemudian sang penjual akan kabur tanpa mengirimkan barang kepada pembeli.

Jika nasabah telah mengalami penipuan seperti itu, Wani menyarankan agar segera melaporkan ke bank dan melakukan penundaan transaksi. Jika uang belum ditarik dari bank, kemungkinan besar bank masih bisa mengembalikan dana yang telah di transfer.

Dalam kasus seperti ini, semakin cepat nasabah sadar akan penipuan, maka semakin besar kemungkinan uang yang telah ditransfer dapat ditarik kembali. Kasus lain yang sering terjadi adalah pencurian data pribadi.

Anak pertama dari empat bersaudara tersebut menyampaikan, banyak penipu yang menggunakan data orang lain untuk membuat rekening bank. Hal tersebut menyulitkan pihak bank dan kepolisian untuk menangkap pelaku penipuan.

Menurut Wani, saat ini masyarakat Indonesia masih belum mengerti tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Oleh karena itu, dia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memberikan data pribadi atau membuatkan akun bank untuk orang lain.

"Masyarakat juga diharapkan untuk tidak memberikan pin ATM maupun kode One Time-Password (OTP) pada sembarang orang,” jelas Wani.

Di lain sisi, Wakil Rektor II UMM, Nazaruddin Malik mengatakan, pandemi telah mengubah kebiasaan masyarakat dalam beraktivitas. Semua hal yang dahulu dilakukan secara luring harus berpindah menjadi daring. Begitupun dengan pembayaran dan jasa keuangan.

Dengan adanya acara kuliah tamu ini, dia berharap para mahasiswa dapat memahami ancaman-ancaman yang akan terjadi di balik transaksi daring. Kemudian juga dapat menghadapi proses digitalisasi ini dengan dengan lebih baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement