Sabtu 15 Jan 2022 07:16 WIB

Ketua PBA: Merek Kolektif Jadi Solusi Masalah Pelaku UMKM 

Azoo menilai peran merek kolektif sangat dibutuhkan.

Ketua Umum Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) Ary Zulfikar saat berbicara dalam Seminar bertajuk
Foto: dokpri
Ketua Umum Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) Ary Zulfikar saat berbicara dalam Seminar bertajuk

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) Ary Zulfikar alias Azoo menyampaikan, merek kolektif dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah para pelaku UMKM. Masalah itu mulai dari modal hingga pemasaran. Azoo mengakui mengetahui masalah itu dari survei yang dilakukan terhadap para pelaku UMKM yang tergabung sebagai anggota PBA, UMKM Alumni Unpad, dan Koperasi UMKM Alumni Indonesia (Kuali). 

"Masalah pertama, jualan kalau ada waktu. Kedua, juala kalau ada modal yang modalnya itu dari uang sendiri. Masalah ketiga, membuat merek produk hanya yang terlintas dipikiran saja, tidak dicek lagi. Ini jadi risiko. Kalau misalkan sudah dijual dan laku, tapi tahu-tahu digugat kan repot. Masalah lainnya itu jualannya hanya kepada kolega, kerabat, tetangga, dan sebagainya,”  ujar Azoo dalam Seminar bertajuk 'Merek Kolektif Sebagai Solusi Bagi Koperasi dan UMKM untuk Meningkatkan Pertumbuhan Perekonomian Melalui Ekonomi Kreatif Pada Era Disrupsi' di Lagoon Gorden Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (14/1). Seminar ini diadakan oleh Kelompok notaris pendengar, pembaca, dan pemikir (Kelompencapir) untuk memperingati HUT yang ke-2.

Di samping masalah itu, pelaku UMKM yang ingin mendaftarkan merek dari produknya secara individual, perlu mengeluarkan biaya tambahan seperti membayar biaya konsultan HAKI. 

"Untuk mendaftar merek individu saja mesti pakai konsultan HAKI, begitu daftar lalu konsultan ngasih biaya, mundur semua. Apalagi harus melalui pemeriksaan tahap demi tahap yang notabenenya bisa hampir dua tahun baru bisa keluar sertifikat mereknya," ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (15/1).

"Jadi banyak biaya yang menjadi tanggungan pelaku UMKM kalau mau buat produk, belum biaya bahan baku, biaya gaji karyawan, biaya kemasan, biaya perizinan, urus hallal, PIRT, BOM, itu semua biaya," lanjut Azoo. 

Dalam situasi itu, Azoo menilai peran merek kolektif sangat dibutuhkan. Pelaku UMKM yang bergabung ke merek kolektif akan mendapatkan banyak kemudahan dan tidak perlu memikirkan biaya untuk mendaftarkan merek. Sebab, pengurus inti dari merek kolektif sudah menyelesaikan masalah hal itu. 

Salah satu merek kolektif yang ada di Indonesia yakni Lupba. Adapun Lupba merupakan merek kolektif yang dibuat oleh PBA. Hingga saat ini, Lupba sudah memiliki 26 produk yang menjual teridiri dari jenis kripik, bawang, susu, dan sebagainya. Keuntungan mendaftar merek kolektif Lupba akan memperoleh joint marketing sebab Lupba memiliki gerai offline dan online. 

"Kita punya tiga kafe Lupba, dan 1 cuPBA café. Dan selanjutnya kita juga punya namanya marketplace mandiri. Tapi kita juga ada di marketplace seperti Tokopedia, Blibi, Shopee, bahkan Sarinah online juga ada," ujarnya.

Di samping itu, Azoo menjelaskan, sejak 1992 hingga Desember 2021, total hanya ada 67 merek kolektif yang terdaftar dan sedang diajukan dalam 71 kelas barang dan jasa.

Dari 67 pemohon, merek kolektif yang terdaftar pada kelas jasa ada 38 merek kolektif. Dari 38 jasa ini ada tiga kategori terbesar. Ketiga paling akhir yakni kelas 43 yang ada 8 merek. Mereka fokus kepada layanan f&b, akomodasi, kedai kopi dan restoran. Kategori kedua terbesar adalah kelas 41. Kelas 41 itu ada 9 merek di mana itu bergerak untuk perkumpulan pendidikan, hiburan, dan turunannya.

"Yang paling besar adalah untuk kelas 35. Kelas 35 untuk jasa penjualan toko, jasa manajemen, grosir, dan retail," ujarnya.

Sedangkan, untuk merek kolektif kelas barang ada 33 kelas barang. Sampai dengan Desember 2021 ada tiga kelompok besar. Terbesar ketiga yakni kopi, teh, dan turunannya yang masuk kelas 30 dengan empat merek. Kemudian, yang kedua terbesar kelas 9 untuk website, aplikasi dan software sebanyak lima merek. 

Selanjutnya yang terbanyak 29 untuk kelas produk makanan (kripik, bawang, susu dll) ada 8 merek. “Nah Lupba ada di posisi kelas 29-30. Nah Lupba ini merupakan produk yang saat ini diproduksi dan didaftarkan kelas 29-30 untuk produk makanan (keripik, bawang, susu, dll),” kata Azoo.

Adapun Direktur Utama PT Sarinah (Persero) Fetty Kwartati menyampaikan, Sarinah berkomitmen menjadi wadah para pelaku UMKM untuk memperkenalkan produknya. Hal ini sejalan dengan khitah Sarinah untuk mengembangkan keunggulan UMKM nasional.

"Dan ini sejalan dengan tujuan Bung Karno mendirikan Sarinah yang sudah tentu untuk ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan itu saat ini direpresentasikan melalui UMKM," kata Fetty.

Terlebih berdasarkan survei, sebanyak 85 persen anak muda menyukai brand lokal dibanding brand luar negeri. Ini menjadi peluang bagi Sarinah untuk terus meningkatkan brand lokal yang direpresentasikan melalui UMKM. 

Fetty menambahkan, Sarinah juga berkeinginan menjadi nation brand sehingga masyarakat bisa bangga dan terus mengunjungi Sarinah. “Dan memunculkan gerakan lokal brand,” kata Fetty.

Fetty menyampaikan, Sarinah saat ini fokus kepada empat bisnis yaitu retail, trading, digital, dan property. Dalam hal ini, Sarinah menyediakan saluran distribusi untuk memamerkan dan menjual produk-produk brand lokal maupun merek kolektif melalui gerai-gerainya yang ada di Indonesia.

Adapun seminar ini dihadiri oleh Insiator Kelompencapir Dewi Tenty. Seminar ini juga mengundang narasumber yang ahli berbicara soal merek kolektif dan UMKM. Mereka yakni Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop dan UKM RI Ahmad Zabadi, Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Kemenkop dan UKM RI Henra Saragih, Direktur Hubungan Kelembagaan PT Mandiri Rohan H, Direktur Perdata Kemenkumham RI Santun M, Staf Khusus Menkominfo Ahmad Ramli, dan Staf Ahli Kemenparekraf Ari Juliano Gema.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement