Sabtu 15 Jan 2022 09:12 WIB

'Ujaran Kebencian Bukan Kebebasan Demokrasi'

Peraturan perundang-undangan yang ada seringkali dinafikan.

Ilustrasi Hate Speech / Ujaran kebencian
Foto: Foto : MgRol_94
Ilustrasi Hate Speech / Ujaran kebencian

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kebebasan berbicara dan berpendapat sejatinya adalah sebuah kebebasan yang mengacu pada hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya pembatasan, namun tidak kebebasan menyebarkan kebencian. Publik mungkin salah kaprah atas apa yang disebut kebebasan berpendapat yang sejatinya bukanlah kebebasan mutlak sehingga dengan mudahnya dapat menghina dan melukai hak orang lain.

Ketua Bidang Agama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Jawa Barat (FKPT Jabar) KH Utawijaya Kusumah, menyayangkan fenomena yang terjadi terkait persoalan ujaran kebencian dan provokasi yang berlindung dibawah tameng kebebasan. Menurutnya hal ini sebagai akibat dari degradasi rasa syukur sebagai anak bangsa.

“Akibat hilangnya rasa syukur ini mereka memanfaatkan kebebasan sebagai negara demokrasi tetapi cenderung sebagai kebebasan yang liar, bukan kebebasan yang bertanggung jawab,” ujarnya dalam siaran pers, Sabtu (15/1).

Kyai Utawijaya menuturkan, peraturan perundang-undangan yang ada seringkali dinafikan hingga mudah dijumpai fenomena saling lapor, saling tuduh dan saling gugat. Karena itu perlu ada  kesadaran agar mampu menahan diri serta tidak terpengaruh ujaran kebencian. Menurutnya ada dua syarat untuk melakukan itu.

“Pertama adalah bagaimana melakukan satu upaya jangan menjadi 'sumbu pendek', sedikit-sedikit marah,” jelasnya.

Dalam Alquran Surat Ali Imran ayat 134 dikatakan ‘Allażīna yunfiqụna fis-sarrā`i waḍ-ḍarrā`i wal-kāẓimīnal-gaiẓa wal-'āfīna 'anin-nās, wallāhu yuḥibbul-muḥsinīn’ yang artinya’dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

“Yang kedua, negara ini dipimpin oleh pemerintahan yang perlu diikuti, Sami’na Wa Atho’na, adapun kalau ada yang kurang ya diskusikan, kita bicarakan,  kita musyawarahkan sesuai dengan dasar daripada negara kita yaitu Pancasila yaitu musyawarah. Nah itu kan kita jadi pemaaf,” ungkap Pengasuh dan Dewan Kyai Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tasikmalaya ini.

Ia menegaskan, sebagaimana bangsa ini sudah terakomodir oleh Pancasila dan perbedaan yang ada adalah karena rahmat Allah SWT. Maka apa yang kita lakukan di bumi semata-mata adalah ibadah kepada Tuhan.

“Dengan cara seperti itu maka tidak ada lagi yang saling benci, saling hujat, apalagi dengan berbungkus agama,” kata Kyai Utawijaya.

Menurut pendiri Forum Pondok Pesantren (FPP) ini, maraknya ujaran kebencian, juga tak luput dari faktor kepentingan-kepentingan terselubung. Untuk menyelesaikan maslaah ini, negara juga harus mampu belajar dari pengalaman masa lalu.

Ia menilai, dengan melihat sejarah masa lalu dari Majapahit, dimana bangsa Indonesia bisa berjaya di dunia dengan tri tantu. Yaitu tata salira, tata negara dan tata buana, yang ketiganya saling berkaitan. Intinya jangan lupa bahwa hidup ini adalah belajar.

Ia menjelaskan, Tata Salira berkaitan dengan bagaimana penataan kesejahteraan lahir batin warga negara. Tata Negara yang berkaitan dengan ratusan suku  bangsa yang bersatu dalam NKRI harus menjadi kekuatan yang patut disyukuri. Kemudian Tata Buana, tentang bagaimana menjaga hubungan baik dengan Tuhan, manusia dan alam yang perlu untuk saling mehormati.

“Pembelajaran dari masa lalu inilah yang berguna untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 nantinya,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement