Ahad 30 Jan 2022 09:33 WIB

Tamak tak Selamanya Negatif, Ini Perbedaan Tamak Terpuji dan Tercela

Tamak terhadap dunia merupakan tamak yang tercela

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi belajar ilmu. Tamak terhadap ilmu merupakan salah satu contoh tamak terpuji.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi belajar ilmu. Tamak terhadap ilmu merupakan salah satu contoh tamak terpuji.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tamak tidak selamanya berkonotasi negatif. Adakah perbedaan antara tamak yang baik dan tamak yang tercela? 

Anggota Fatwa di Darul Ifta Mesir Syekh Uwaida Usman menjabarkan mengenai perbedaan antara keduanya. 

Baca Juga

Dilansir di Masrawy, Jumat (28/1), Syekh Uwaida menjelaskan bahwa apabila sesorang diberikan lembah emas maka dia tidak akan berpuas hati. Justru, orang itu akan bercita-cita untuk memiliki sesuatu lain yang seperti itu. 

Hal tersebut sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi: 

لو أن لابن آدم وادياً من ذهب أحب أن يكون له واديان، ولن يملأ فاه إلا التراب، ويتوب الله على من تاب

“Law anna li-bni Aadama waadiyan min dzahabin ahabba an yakuna lahu waadiyaani, wa lan yamla faa-hu illa at-turaabu, wa yatubullahu ala man taaba.” 

Yang artinya, “Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu dia mengingkan dua lembah (emas) lainnya. Dan sama sekali (lembah-lembah emas itu) tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yakni setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.”  

Syekh Uwaida menjelaskan bahwa ketika Nabi menyampaikan hadits tersebut sesungguhnya beliau hendak menelanjangi (menjabarkan lebih detail) jiwa dari sifat paling jelek yang dimiliki seorang manusia, yakni keserakahan. Beliau menekankan bahwa sifat serakah membawa permusuhan di antara orang-orang. 

Sedangkan Rasulullah SAW sendiri tidak pernah merasa tamak terhadap apapun yang dimiliki orang lain, namun beliau justru menjadi pribadi yang paling dicintai oleh umatnya. Syekh Uwaida menekankan, keserakahan sejatinya dapat terlihat dalam kata-kata dan tindakan seseorang. 

“Sifat serakah adalah ciri seseorang terlalu berat (mempedulikan berlebihan) terhadap perkara dunia, tidak berat terhadap perkara akhirat,” kata Syekh Uwaida. 

Namun demikian beliau juga menyebut bahwa selain ketamakan yang bersifat tercela, terdapat pula ketamakan yang bersifat terpuji. Ketamakan yang bersifat baik adalah ketamakan manusia apabila dia senantiasa ingin berada di sisi Allah SWT, memohon ampunan, memohon kasih sayang Allah SWT, dan hidup dalam ketentuan-ketentuan Allah SWT. 

Inilah, kata beliau yang merupakan bagian dari sikap ketamakan yang terpuji. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat Asy Syuara ayat 51:  

“Inna nathma’u an yaghfira lana Rabbuna khathayaanaa ana kunna awwalal-mukminin.” 

إِنَّا نَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَن كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ

Yang artinya, “Sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama beriman,”.

Sementara tamak yang tercela adalah tamak terhadap kehidupan dunia, kemewahan duniawi, pangkat, jabatan yang hanya berorientasi pada hawa nafsu belaka. 

Dalam hadits riwayat Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah SAW bersabda: 

منهومان لا يشبع طالبهما: طالب علم، وطالب الدنيا

“Ada dua golongan yang tidak akan pernah merasa kenyang, yaitu ; (1) Penuntut Ilmu (agama), dan (2) Pencari dunia”.

Sementaara itu, Utsman bin Affan pernah meninggatkan dampak dan bahaya tamak yang memicu empat keburukan yaitu dengki, kikir, kebencian di antara manusia, dan permusuhan.  

Sumber: masrawy 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement