Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizky Ramadhan Fuldya

Stasiun Kereta Api

Curhat | Tuesday, 01 Feb 2022, 02:27 WIB

“Esok hari kita ketemu di taman kotak itu,” katanya

Sudah berjam-jam aku menunggu di taman kotak yang bersemayam ikan bercorak indah hari ini. Di selatan Jakarta aku menunggumu yang menjanjikan kita untuk melepas rindu di akhir bulan Januari ini. Selepas hari yang kita nantikan, saat kau menyatakan kita akan bertemu lepas dengan rindu yang telah kita tempuh selama berbulan-bulan.

Nyatanya kau tak tampak, bahkan batang hidungmu sekalipun tak terlihat di penghujung pagar taman ini.

Engkau pergi entah kemana. sejak itu, aku tak pernah melihatmu lagi. Hari, bulan, dan tahun demi tahun berganti. Aku masih tetap menjaga tubuhku di taman kotak ini. Tak tahu lagi berapa lama menunggu di sini. Mungkin aku hanyalah manusia yang angkuh menanti kedatangan seorang yang kuharapkan sampai saat ini.

Aku hanya mengerti apa arti menunggu yang kau maksud di taman kotak. Debu-debu kota yang hanya menemaniku selama aku terduduk diam. Suara klakson kereta api saat aku menuju taman itu tak pernah terlupa, hingga petugas keamanan hafal raut wajaku yang selalu termenung merindukanmu di sudut pejalan kaki menuju taman kotak.

“Mba, pasti mau ke taman itu lagi ya,” sahut petugas kemanan itu.

Aku tak begitu menghiraukannya. Namun, dalam waktu yang lama aku membalas kalimat itu.

“Iya pak, entah tujuanku hanya ke taman itu,” sahutku.

“Masih menunggu yang harus kamu temui ya mba? Jangan sampai mba sakit karena rindu yang tak pasti,” sambungnya.

Aku mematung mendengar apa yang dikatakannya.

Aku hanya membalasnya dengan senyum yang terpahat seolah senang menunggu.

Mengharap lebih apa yang telah cakrawala berikan padaku saat ini. Begitu cerah mendalami seisi gang selatan kota yang penuh riuh manusia bergelut paksa menitih kehidupan mereka. Tetapi, aku begitu benci dengan kisahku ini yang hanya mematung diam di saat manusia lain sedang bahagia. Menerka-nerka kapan kau akan datang dan mengapa kau menghilang dari kalimat terakhirmu.

Aku hanya mengingat wajahmu dengan gambar yang kulukis sendiri, sembari memandangi sekeliling untuk mencarimu. Tetiba waktu yang terus berputar menjelang sore hari memberi angan-angan yang telah terjawab.

“Selamat sore,” sahutnya.

Aku diam, memandangi wajahnya. Seperti orang yang kukenal dulu, tapi entahlah aku harus menjawab salamnya dahulu.

“Sore,” jawabku ketus.

Lama dia tegak mematung di depanku, angin di sore hari begitu nikmat untuk diresapi. Dengan baju khas berwarna hitam ia terdiam. Matanya terbelalak menoleh ke arahku, tanpa ada halangan memandangiku. Aku hanya mengira itu kau.

“Kamu mengapa selalu disini?” tanyanya.

“Aku hanya menunggu orang yang menjanjikan rindunya kepadaku,” jawabku.

Tanganku dipaut olehnya, tanpa sebab ia mengajakku lari entah kemana tujuannya. Dengan lugu aku hanya mengikuti langkah kaki itu. Menyusuri sudut-sudut gang kota yang penuhi pedagang kaki lima yang bersiap untuk berperang mencari pembeli pada malam hari.

“kau tau? Kota ini sangat beragam, kau hanya terdiam menunggu di taman kotak itu selama berapa lama waktu yang telah kau lewati,” ucapnya.

Aku terdiam mendengarnya, kalimat terucap bernada datar.

Ia tersenyum dengan langkah yang begitu cepat menarikku. Bersiul-siul seperti seorang yang sedang bahagia dalam hidupnya.

Langit sudah menggelapkan kota. Matahari menutup diri menuju ufuk barat. Angin malam berdatangan menyergap badanku yang telah letih menunggu seharian. Perlahan langkahnya menjadi lambat setelah berlari jauh. Aku dibawa ke penghujung stasiun kota yang begitu ramai dengan para pekerja yang sedang lelah, menghapus rasa letih menuju rumah untuk bertemu keluarga ataupun menyendiri di dalam kamar kos yang begitu kecil. Sekiranya hanya 5x5 meter persegi.

Ia melihat sekeliling, sepertinya langkahnya terhenti disini. Aku tak mengerti mengapa aku terbawa olehnya.

Bingung dibuatnya, suara kereta apa melolong buana ke setiap sudut. Hentakan kaki pejalan kaki menuju tangga penyeberangan terdengar begitu lembut. Tanpa sadar rasa yang khas datang kepadaku.

Wangi tubuhnya yang seolah aku tau sejak lama, tertiup angin malam yang menusuk kulit. Bintang-bintang berangkat menyinari keindahan malam. Apakah arti perkiraan babilonia yang mengharapkan arti dari rasi bintang yang saat itu dipimpin oleh raja namrud mempunyai arti dari pertemuan? Kurasa aku terlalu jatuh hingga membayangkan kaum babilonia yang berhala dengan caranya.

“Kau masih tetap saja sama,” sahutnya.

Aku tak dapat berkata-kata mendengarnya. Apa maksud yang telah dilontarkannya.

“Aku ini yang kau tunggu selama ini dan kau yang menunggu dengan kisah yang sama,” sambungnya

“Aku tetaplah aku,” jawabku dengan menahan rintih air mata dan suaraku yang sudah mulai serak dalam berbicara.

Kita berbicara sambil melanjutkan langkah. Menuju simpang jalan yang ramai karena adanya lampu lalu lintas yang membuat kendaraan terhenti selama beberapa menit. Ia memandangi langit malam yang bercengkrama dengan bintang-bintang. Entah berapa lama ia memandangi langit, hingga sampai di penghujung jalan yang menuju stasiun kereta.

“Kau masih saja tetap sama seperti dahulu, tanpa adanya pesan, kau datang sendirinya,” ucapku.

Matanya terkejut dengan lontaran kalimatku.

“Tapi kau hanya dirimu yang dulu,” sahutnya.

“Menunggu dengan rasa rindumu,” sambungnya.

“Kau terlihat kaget melihatku melakukan itu,” ucapku.

“Kau hanya rasaku yang kulihat dulu, bahkan sampai sekarang aku masih merasakan itu,” sambungku.

Rasa penantianku selama beberapa lama kujalani terjawab. Benci yang membatu telah hancur dengan hempasan air yang dikirimkan olehnya.

Tiba-tiba ia mengajakku pergi lagi.

“Mau kemana lagi?” tanyaku.

“ikuti saja langkahku,” jawabnya.

Aku hanya sumringah melihat dirinya memiliki kabar yang lebih baik dariku. Sinar rembulan menerangi jalan kita untuk melangkah menuju tujuan dia. Hari, bulan, dan tahun berlalu, kerinduan yang tertanam dalam hidupku.

“Sampai sini saja,” ucapnya.

Maksud dari kalimat itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benakku.

“Apa yang kau maksud sampai sini saja?” tanyaku.

Pelan-pelan napasku terengah-engah mendalami udara yang dingin di gerbang stasiun kereta.

“Malam ini aku harus pergi, entah berapa lama. Mungkin hanya sore sampai malam ini aku bisa melihatmu lagi,” ucapnya.

Ia menunjukkan tiket kereta menuju luar kota. Aku tak bisa berkata-kata.

“Kamu hanya membalas rinduku sesaat untuk malam ini, selebihnya aku akan menunggumu lagi. Aku tak tau sampai kapan kau pergi,” ucapku.

“Maafkanlah diriku, aku tau derita yang kau hadapi. Tapi aku masih harus mencari kehidupanku yang kudambakan,” balasnya.

Mataku terpaku, lirih air jatuh dalam riak mukaku. Ia pergi dengan sebatas waktu yang telah kutunggu selama bertahun-tahun.

Aku hanya melihat bayang tubuhnya memasuki kereta api yang tak kutahu tujuannya. Apakah aku harus menunggu kisah rinduku lagi untuk bertemu denganmu? Bahkan seribu kota yang telah kau lalui, aku akan tetap merasakan hadirnya dirimu dalam mimpiku yang terbuat dari imajinasiku tentang dirimu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image