Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muammar Khadafi

Seni Mengikhlaskan, Suatu Jalan yang Mengasyikan BAGIAN 1

Eduaksi | Wednesday, 02 Feb 2022, 09:52 WIB

Setiap orang pasti pernah mendengar kata ikhlas, tapi tidak semua orang memahami apa itu ikhlas. Kata ikhlas adalah kata yang diserap dari bahasa Arab khalasa yang bermakna murni, suci, datang, dan sampai. Kata ikhlas kerap kali digunakan Allah di dalam Al-Quran untuk menggambarkan esensi yang wajib diwujudkan oleh setiap hamba ketika beribadah kepada-Nya. Pada Al-Bayyinah ayat 5 dengan jelas Tuhan memerintah Sang Hamba untuk mengikhlaskan/memurnikan setiap ibadahnya hanya kepadanya dan untuknya. Ketika Pembaca memikirkan kata ikhlas pasti yang terbayang adalah suasana dimana Pembaca mengalami suatu hal yang tidak menyenangkan lalu Pembaca diwajibkan oleh orang-orang sekitar untuk menerimanya dan menyerahkan semuanya pada Tuhan. Lalu sebenarnya definisi ikhlas yang tepat itu seperti apa supaya ikhlas itu menjadi suatu hal yang mengasyikan?

Ikhlas Itu Bersama Ilmu

Ikhlas yang mengasyikan itu tidak dapat diwujudkan, kecuali dengan ilmu. Memang segala sesuatu harus dimulai dengan ilmu. Setiap ibadah itu tertolak, kecuali dengan ilmu. Tuhan sendiri mendeklarasikan bahwa iman itu didahului oleh ilmu sebagaimana yang telah Dia ikrarkan pada Surat Muhammad ayat 19. Bahkan ayat-ayat awal yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi-Nya adalah perintah untuk memiliki ilmu (baca: iqra). Pembaca yang hebat wajib memiliki ilmu (baca: landasan-landasan) yang tepat dalam mempraktekan ikhlas supaya ikhlas itu benar dan mengasyikan.

Allah adalah Puncak Keikhlasan

Ilmu pertama yang harus dimiliki oleh setiap Pembaca ketika mengikhlaskan suatu hal yaitu meyakini puncak segala sesuatu itu adalah Allah subhanawataala. Allah subhanawataala adalah Yang Awal dan Yang Akhir & Yang Zahir dan Yang Batin. Segala sesuatu baik di dalam ataupun di luar semesta adalah di dalam kuasa Allah subhanawataala. Kenapa hal ini menjadi ilmu yang paling dasar ketika Kita mengikhlaskan suatu hal? Jawabannya sederhana, sebab Kita tidak dapat melakukan suatul hal walaupun hanya sekedar berpikir, kecuali dengan izin Allah subhanawataala. Allah subhanawataala adalah sebab paling primordial yang menggerakkan segala sesuatu termasuk tindakan Kita untuk mengikhlaskan segala sesuatu. Ketika Kita sudah memahami hal ini, langkah selanjutnya adalah Kita perlu menanyakan ke dalam hati Kita, “apakah sejauh ini Kita telah menjadikan Allah subhanawataala sebagai dasar dari setiap tindakan kita?” Kalau jawabannya adalah “IYA”, maka Pembaca sangat beruntung, dan jikalau “TIDAK”, maka Pembaca perlu secepatnya merubah hal itu. Manusia yang telah menjadikan Tuhan sebagai landasan fundamental atau paling dasar dalam setiap tindakannya adalah Manusia yang paling adidaya. Dia telah membangun rumahnya di atas fondasi yang paling kuat. Tingkat ketahanan segala sesuatu itu ditentukan oleh bahan dasar yang menjadikannya, begitu juga dengan Kita. Ketika Kita menjadikan bahan dasar dari setiap tindakan Kita yaitu niat mengikhlaskan hanya kepada dan untuk Allah subhanawataala, maka setiap tindakan Kita akan menjadi sangat kuat dan menyenangkan. Kita bisa melihat orang-orang yang jiwa dan tindakannya dipenuhi keikhlasan dimana mereka pasti selalu menang, jikalau mereka kalah, kekalahan itu hanya bersifat temporal. Nuh alaihissalam, Ibrahim alaihissalam, Musa alaihissalam, Isa alaihissalam, dan Muhammad sallallahualaihiwassalam adalah orang-orang yang memiliki keikhlasan melebihi siapapun bahkan malaikat. Mereka semua selalu menang sebab satu hal yaitu mengikhlaskan jiwa dan raga hanya kepada dan untuk Allah subhanawataala.

Allah subhanawataala berfirman, “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Anam [6]: Ayat 162)

Bersambung...

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image