Rabu 02 Feb 2022 23:02 WIB

Hasil Kesepakatan Ekstradisi dengan Singapura Dipertanyakan Komisi III DPR

Terdapat 31 jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menkum Ham Yasonna Laoly (kanan) dan Mendagri Singapura K Shanmugam bertukar dokumen terkait perjanjian ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).
Foto: Antara/Setpres-Agus Suparto
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menkum Ham Yasonna Laoly (kanan) dan Mendagri Singapura K Shanmugam bertukar dokumen terkait perjanjian ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Muhammad Nurdin mengapresiasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Namun, ia meminta pemerintah menjelaskan lebih detail terkait hasil kesepakatan tersebut.

"Bagaimana tindak lanjutnya, karena ini mungkin perlu sosialisasi, termasuk kepada kami, karena kan perlu diratifikasi di DPR," ujar Nurdin dalam rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly, Rabu (2/2).

Baca Juga

Ia menjelaskan, perjanjian ekstradisi telah melewati proses panjang sejak 1998. Namun pada 2007, kesepakatan tersebut tak diratifikasi oleh DPR karena adanya kesepakatan bahwa pemerintah Singapura dapat menggelar latihan militer dan peran di di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.

"Karena perlu bagaimana nanti pelaksanaannya, dengan mundur 18 tahun itu bagaimana pelaksanaannya," ujar Nurdin.

 

Sebagai informasi, ekstradisi dapat diartikan sebagai proses penyerahan tersangka atau terpidana yang ditahan di negara lain kepada negara asal. Tujuannya, agar tersangka atau terpidana tersebut dihukum sesuai peraturan hukum yang berlaku di negara asal.

Berdasarkan hasil kesepakatan antara Indonesia dan Singapura, terdapat 31 jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi, beberapa di antaranya adalah pelaku tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, hingga pembunuhan.

Anggota Komisi III DPR Eva Yuliana juga meminta pemerintah untuk lebih menjelaskan hasil perjanjian tersebut. Pasalnya, DPR akan meratifikasi hasil kesepakatan ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.

"Tentunya itu nanti memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dibahas, dan disahkan menjadi undang-undang," ujar Eva.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Supriansa menyampaikan bahwa berdasarkan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat lebih dari 40 buronan pernah kabur ke Singapura. Ia berharap, dengan perjanjian tersebut para koruptor dapat segera tertangkap.

"Hasil rapat kita dengan Jaksa Agung, beliau juga menyampaikan bahwa masih banyak puluhan buronan yang masih dalam kejaran Kejaksaan Agung. Nah saya kira apa yang dibalik perjanjian ini, ini adalah sesuatu yang sangat dinantikan sekali," ujar Supriansa.

Menkumham Yasonna H Laoly mengatakan, perjanjian terkait ekstradisi antara Indonesia dan Singapura adalah sesuatu yang baik. Pasalnya, para koruptor kini tak bisa lagi kabur ke Singapura, karena adanya kesepakatan ekstradisi tersebut

"Orang-orang yang akan pergi ke Singapura melarikan diri untuk tujuan tidak bisa atau lari dari tanggung jawab pidananya, tidak dimungkinkan lagi," ujar Yasonna usai rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (2/2).

Tak hanya bagi koruptor, ada 31 jenis kejahatan yang tersangkanya dapat diekstradisi dari Singapura ke Indonesia. Bahkan, jumlah tersebut dapat bertambah karena perkembangan kasus dan zaman.

"Nanti dalam perkembangannya kalau ada jenis kejahatan yang lain itu bisa, sesuai dengan dinamika perkembangan zaman itu masih bisa tetap bagian dalam ekstradisi kita," ujar Yasonna.

Pemerintah sendiri tinggal menindaklanjuti hasil kesepakatan antara Indonesia dan Singapura. Ditanya apakah pemerintah memiliki ketakutan bahwa DPR tak menyetujuinya, ia menjawab yakin bahwa parlemen akan mengesahkannya.

 

"Tidak (takut dibatalkan seperti 2007), kalau sekarang sudah cukup baik. Dulu kan dilekatkan DCA, Komisi I dulu ditolak, sekarang sudah ada pengertiaan, perkembangan dunia kan dinamis," ujar Yasonna.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement