Senin 14 Feb 2022 08:53 WIB

Mengapa Polisi Mudah Labelisasi Hoaks di Insiden Wadas?

AJI meminta pemerintah tidak mudah melabelisasi hoaks terhadap insiden Wadas.

Rep: Ali Mansur/Wahyu Suryana/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah warga yang sempat ditahan polisi tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Sebanyak 64 warga Desa Wadas dibebaskan oleh pihak kepolisian terkait aksi penolakan pembangunan Bendungan Bener.
Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah
Sejumlah warga yang sempat ditahan polisi tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022). Sebanyak 64 warga Desa Wadas dibebaskan oleh pihak kepolisian terkait aksi penolakan pembangunan Bendungan Bener.

REPUBLIKA.CO.ID, Polisi telah mengategorikan pengepungan masjid di Desa Wadas sebagai bentuk hoaks. Aparat hanya mengamankan orang dari dalam masjid dari serangan warga yang mengejar. Polisi juga mengaku telah mengamankan segelintir orang yang membawa senjata tajam.

Namun, saksi yang berbicara ke Republika.co.id, memberikan keterangan berbeda dari polisi, termasuk ihwal senjata tajam yang disebut polisi. Kehadiran aparat bertameng di depan masjid juga sebuah fakta.

Baca Juga

Lantas mengapa berita itu disebut hoaks?

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meminta pemerintah agar tidak sembarangan memberikan cap atau stempel hoaks terhadap insiden yang terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.  

"Pemerintah terlihat berupaya mendistorsi berita terkait pengamanan berlebihan, kekerasan, dan penangkapan yang dilakukan aparat. Hal tersebut setidaknya tergambar dalam konferensi pers yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta pada Rabu (9/2)," ujar Ketua AJI Sasmito dalam keterangan tertulisnya di laman resmi AJI, dilihat pada Ahad (13/2/2022).

Bahkan akun media sosial Humas Polri juga memberikan stempel serupa pada konten milik Wadas Melawan. Polisi membuat narasi bahwa ada warga yang membawa senjata tajam dan diamankan polisi. Padahal media mainstream melaporkan bahwa senjata tajam yang dibawa warga merupakan alat untuk mencari rumput pakan ternak.

"Melihat sejumlah fakta tersebut, AJI Indonesia menyerukan pemerintah untuk menghentikan pelabelan hoaks peristiwa di Wadas yang sewenang-wenang dan berdasarkan klaim yang dianggap sesuai dengan narasi yang diharapkan aparat," kata Sasmito menegaskan.

Sasmito melanjutkan, Jaringan Pengecekan Fakta Internasional mengharuskan adanya prinsip-prinsip. Mulai dari komitmen nonpartisan dan keadilan, komitmen transparansi atas sumber, transparansi metodologi (pengecekan fakta), hingga komitmen atas koreksi yang terbuka dan jujur.

Kemudian, kata Sasmito, pers nasional agar menjalankan fungsi kontrol sosial seperti diamanatkan Undang-Undang Pers. Termasuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Seperti pembangunan proyek Bendungan Bener yang berdampak kepada warga Wadas.

"Pers nasional untuk memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa bersuara. Sebab hanya pers yang mendapat jaminan perlindungan UU Pers, yang dapat menjadi juru bicara publik saat berhadapan dengan pemerintah atau penguasa," ujar Sasmito.

AJI juga menyerukan agar jurnalis bersikap independen dan menghasilkan berita yang akurat terkait peristiwa di Wadas. Independen dapat diartikan memberitakan peristiwa atau fakta tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan.

Revisi hoaks

Divisi Humas Mabes Polri sebelumnya merevisi kalimat dalam unggahan soal pengepungan masjid di Wadas oleh polisi. Namun, Polri tetap mengategorikan kabar itu sebagai hoaks.

Pada kalimat terdahulu disebutkan, "Faktanya pada saat pengukuran tanah di depan masjid, segelintir warga membawa sajam dan melempar batu."

Sementara pada kalimat perbaikan dijelaskan, "Faktanya pada saat pengukuran tanah, massa berkumpul di depan masjid, segelintir warga membawa sajam dan melempar batu."

Perbedaan mendasar adalah soal pengukuran tanah di depan masjid. Pada unggahan terbaru pengukuran tanah tidak disebut di depan masjid. Kata di depan masjid ditaruh sebagai tempat massa berkumpul. Ada pemenggalan dan penaruhan kata yang salah.

Sementara bagian yang lainnya tetap sama. Beredarnya informasi di media sosial terkait aparat kepolisian mengepung warga berada di dalam masjid adalah hoaks atau tidak benar.

"Warga yang lain mengejar dan berlari ke dalam masjid memakai celana pendek. Aparat kepolisian justru mengamankan orang di dalam masjid dari serangan warga yang mengejar, Desa Wadas, Selasa (8/2/2022)."  

Keterangan warga

Sementara, seorang warga menjelaskan kronologi terkait insiden di masjid Wadas. Salah seorang warga Desa Wadas, Siswanto, menceritakan, semua bermula pada Ahad sore ketika warga melihat banyak polisi bersiap di Polsek Bener dan belakang Polres Purworejo. Selain itu, mereka melihat Polisi membuat tenda-tenda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement