Senin 21 Feb 2022 09:32 WIB

Media Sosial Jadi Arena Pertarungan Ideologi dan Ghuzwatul Fikri

Santri merupakan garda terdepan dalam mengkampanyekan Islam moderat.

Jaringan Muslim Madani (JMM) menggelar seminar Penanggulangan Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/2).
Foto: Dok JMM
Jaringan Muslim Madani (JMM) menggelar seminar Penanggulangan Radikalisme, Ekstrimisme dan Terorisme di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/2).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG - Penyebaran paham dan ideologi radikal atau radikalisme agama masih menjadi ancaman serius dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Radikalisme dapat menjadi embrio lahirnya ekstrimisme bahkan terorisme. Untuk itu dibutuhkan peran dan perhatian semua pihak dalam upaya menangkal ancaman tersebut ditengah tantangan era keterbukaan informasi saat ini.

Hal tersebut tertuang dalam seminar kajian penanggulangan radikalisme dan terorisme untuk menjaga keutuhan NKRI yang dilaksanakan Jaringan Muslim Madani (JMM) di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/2).

Direktur Eksekutif JMM, Syukron Jamal mengungkapkan di era industri 4.0 yang ditandai dengan derasnya arus informasi ada fenomena baru yakni pergeseran penyebaran paham dan pemikiran pada dunia digital. Di mana media sosial menjadi arena pertarungan ideologi dan paham (ghuzwatul fikri) tidak terkecuali paham keagamaan.  

“Saat ini salah satu penyebaran ideologi yang masif adalah ideologi keagamaan yang bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri seperti radikalisme, ekstremisme dan bahkan terorisme yang begitu nyata telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara," katanya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (19/2).

Syukron mengingatkan ideologi pemurnian keagamaan pendekatan radikal merupakan salah satu ancaman yang sangat serius bagi keberlangsungan suatu bangsa dan perlu disikapi secara bersama-sama oleh semua pihak. 

Menurut Syukron,  santri merupakan garda terdepan dalam mengkampanyekan Islam moderat untuk melawan gerakan paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme di Indonesia. Santri harus bisa menangkal dan mencegah ideologi keagamaan yang mengajak kepada paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme.

"Kalau dulu para ulama datang ke Indonesia mengislamkan masyarakat, tetapi sekarang mereka para pembaharu datang ke Indonesia  malah mengkafirkan yang sudah Islam," ujarnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, KH  Muhammad Nafi mengungkapkan peran santri wanita sangat penting terutama dalam melahirkan generasi penerus bangsa dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Santri wanita sangat prioritas untuk diberikan wawasan kebangsaan, karena peran wanita sangat penting sebagai Ibu dalam melahirkan generasi terbaik,“ jelasnya .

Sementara itu, Walikota Malang Sutiaji mengungkapkan bahwasanya era informasi merupakan sebuah tantangan bagi generasi muda sebagai penerus bangsa dikarenakan saat ini Indonesia sudah menjadi primadona dunia. Banyak pihak tidak senang jika kita maju, damai dan kondusif dengan menyebarkan berbagai ideologi merusak keutuhan bangsa.

“Jika Indonesia utuh maka menjadi ancaman dunia, maka mereka menciptakan agar keadaan tidak kondusif. Untuk itu kita mesti mempertegas bahwa NKRI, dasar negara dan UUD 1945 sudah final,” katanya.

Sutiaji mengingatkan agar generasi muda memperkokoh kepribadian atau karakter Indonesia dalam menangkal ideologi radikal. “Gali informasi dan kuatkan literasi adalah salah satu bentuk untuk menguatkan jati diri kita sebagai generasi bangsa," tambahnya.

Kasubdit Kontra Naratif, Direktorat Pencegahan Densus 88 Polri, Mayndra Eka Wardhana mengatakan, saat ini jaringan teroris sudah terbuka dan tidak tertutup seperti dahulu dalam merekrut anggotanya.

Mayndra juga mengingatkan gerakan paham radikal sudah masif dan marak di berbagai kampus di Indonesia. "Mereka sejak 2010 menggunakan media sosial seperti FB, Twitter, Instagram dan Tiktok," tuturnya.  

Senada dengan Mayndra, mantan napi teroris (napiter) Hendi Suhartono mengungkapkan media sosial sangat berpengaruh dalam perekrutan orang menjadi teroris dan ini sudah dipergunakan dengan baik oleh kelompok teroris. 

"Bahkan mereka belajar tidak bertemu dengan para mentornya tetapi mereka belajar dari video-video yang tersebar di media sosial. Kita sekarang harus sangat waspada dengan percepatan informasi. Maka,  kita harus mengantisipasi dengan membuat batasan-batasan dalam memakai media," terang Hendi yang hadir secara virtual.

Hendi juga mengingatkan agar pemerintah serius melakukan program deradikalisasi agar para mantan napiter tidak kembali ke kehidupan sebelumnya. “Program deradikalisasi sangat perlu digalakkan kembali dan sangat bermanfaat. Di sana para mantan napiter diberikan belajar berbagai ilmu kehidupan yang baru, “pungkasnya.

Ditempat yang sama, aktivis dan dosen Universitas Negeri Malang, Muslihati menilai pentingnya mencegah paham radikalisme terhadap masyarakat terutama di  kalangan anak muda atau milenial.

Menurutnya,  radikalisme di kalangan milenial dapat dicegah sejak dini yang dimulai di lingkungan keluarga. “Dari rumah,  ajarkan anak kita tentang literasi keragaman dan multi budaya berbasis keluarga,” ujarnya.

Muslihati menambahkan bahwa keragaman bukan hanya dalam agama. Fitrah manusia, sambungnya, juga ditakdirkan beragam. Mulai dari warna kulit, suku, ras, dan golongan.

“Agama kalau Allah kehendaki Islam semua,  bisa. Tetapi tidak seperti itu mau Allah. Kita ada laki-laki wanita. Banyak keragaman yang membutuhkan respect, toleransi butuh respect, dan keragaman adalah rahmat,” terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement