Selasa 22 Feb 2022 18:30 WIB

Majelis Alimat Indonesia Prihatin Kekerasan Seksual Terus Meningkat

MAI tegaskan kekerasan seksual bertentangn dengan agama, HAm, dan Pancasila

Ketua Umum Majelis Alimat Indonesia (MAI), Prof Amany Lubis, tegaskan kekerasan seksual bertentangn dengan agama, HAm, dan Pancasila.
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum Majelis Alimat Indonesia (MAI), Prof Amany Lubis, tegaskan kekerasan seksual bertentangn dengan agama, HAm, dan Pancasila.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Majelis Alimat Indonesia (MAI) atau Majelis Ilmuwan Muslimah Indonesia menyampaikan pernyataan sikap atas isu kekerasan seksual. 

Penyataan sikap tersebut dibacakan Ketua Umum MAI, Prof Dr Amany Lubis MA dalam workshop dengan tema “Kontribusi Ilmuwan Muslimah dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual” beberapa hari lalu.  

Baca Juga

Dalam pernyataan sikap itu MAI  menentang kekerasan seksual yang bertentangan dengan prinsip agama, Pancasila, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu MAI menyampaikan keprihatinan dengan kekerasan seksual yang terus meningkat karena kekerasan seksual terjadi di tempat paling aman, seperti keluarga, tempat pendidikan, tempat kerja, dan sebagainya. 

MAI juga mendorong mencegah tindak kekerasan seksual melalui undang-undang, peraturan pemerintah pusat dan daerah serta regulasi spesifik lainnya, termasuk keputusan Dirjen Pendis dan Permendikbud 30/2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.  

MAI mengambil bagian dengan melakukan edukasi, pendampingan kepada korban, melakukan penelitian sebagai masukan kepada pemerintah. Menekankan ajaran dan nilai syariat Islam, sehingga selaras dengan nilai moral Pancasila dan UUD 45. 

MAI berpandangan pencegahan dan penanganan seksual tdak hanya bisa dilakukan oleh negara, tapi membutuhkan pelibatan masyarakat dan Perguruan Tinggi. MAI menegaskan, negara perlu memiliki aturan yang jelas dan konkret serta tidak menimbulkan multitafsir. 

Menurut Prof Amany yang juga Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini,  penghapusan kekerasan seksual harus didorong dengan regulasi yang tepat. Memang menurutnya RUU TPKS masih perlu disempurnakan, sebab masih banyak celah yang harus diperjelas dan diselaraskan dengan UU yang sudah ada seperti KUHP, UU Anti Pornografi, UU Perlindungan Anak, dan UU lainnya.

Akan tetapi menurutnya jika RUU TPKS ini disahkan, maka bagi masyarakat ada mekanisme yang lebih jelas untuk penanganan korban kekerasan seksual dan tindakan hukum bagi pelakunya serta membuat masyarakat berani bersuara.

Terhadap isu kekerasan seksual, MAI mencoba ikut serta melindungi masyarakat. Sekarang ini masih banyak masalah yang didiamkan, misalnya ketika ada tindak kekerasan seksual di unit pendidikan mereka diam dengan alasan segan pada guru karena relasi kuasa atau untuk menjaga nama baik institusi. 

“Ini tidak boleh lagi terjadi. Semua harus bergerak dan bersuara karena korban dilindungi payung hukum yang jelas,” kata Prof Amany dalam rilis yang dikirimnya kepada Republika.co.id pada Selasa (22/2/2022). 

Sementara itu workshop tersebut  dibuka oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Menteri Gusti Ayu mengapresiasi kegiatan workshop dengan tema isu kekerasan seksual sebagai wujud kepedulian MAI pada masalah krusial yang terjadi di masyarakat. 

Menurut dia, kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja, terutama kelompok rentan, perempuan dan anak yang menjadi korban. 

Menurut Menteri Gusti Ayu, tindakan kekerasan seksual itu bertentangan dengan HAM, sehingga wajib dihormati oleh setiap orang dan jadi tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak warga negara. 

Negara dalam hal ini pemerintah berkomitmen kuat untuk memberikan rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan dan merendahkan harkat martabat manusia. 

Baca juga: Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas

Komitmen itu ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo melalui hasil rapat terbatas pada 9 Januari 2020 yang menghasilkan risalah antara lain, memprioritaskan aksi pencegahan, pelayanan pengaduan, manajemen kekerasan dengan membentuk one stop services, proses penegakan hukum yang memberikan efek jera dan rehabilitasi sosial terhadap korban.

“Untuk penanganan secara komprehensif dibutuhkan komitmen semua pihak untuk bersinergi dan MAI hadir sesuai dengan kapasitasnya,” kata Menteri Gusti Ayu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement