Kamis 24 Feb 2022 15:49 WIB

KNEKS Dorong Penguatan BPD Syariah, Merger UUS atau Konversi?

Sejak 2021, KNEKS mendorong BPD mengambil opsi konversi

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Karyawati Bank Syariah Indonesia (BSI) menghitung uang rupiah di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Daud Beureueh, Banda Aceh, Aceh. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) mendorong Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk turut serta memajukan perekonomian syariah. Direktur Eksekutif KNEKS, Ventje Rahardjo menyampaikan hal ini harus dilakukan dengan penguatan bisnis syariah BPD di seluruh Indonesia.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Karyawati Bank Syariah Indonesia (BSI) menghitung uang rupiah di Kantor Cabang Pembantu (KCP) Daud Beureueh, Banda Aceh, Aceh. Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) mendorong Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk turut serta memajukan perekonomian syariah. Direktur Eksekutif KNEKS, Ventje Rahardjo menyampaikan hal ini harus dilakukan dengan penguatan bisnis syariah BPD di seluruh Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) mendorong Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk turut serta memajukan perekonomian syariah. Direktur Eksekutif KNEKS, Ventje Rahardjo menyampaikan hal ini harus dilakukan dengan penguatan bisnis syariah BPD di seluruh Indonesia.

"Pada 2020-2024 KNEKS memiliki fokus dalam penguatan perbankan syariah termasuk BPD," katanya dalam Webinar Penguatan Bisnis Syariah BPD di Indonesia, Kamis (24/2).

Baca Juga

Saat ini, bisnis syariah BPD dilakukan melalui 13 Unit Usaha Syariah (UUS) dan dua Bank Umum Syariah (BUS). Total asetnya mencapai Rp 89,1 triliun per September 2021. Ventje mengatakan, penguatan dapat dilakukan melalui konsolidasi maupun spin off UUS.

Dalam skema spin off, maka bank perlu mempunyai modal inti minimal Rp 4 triliun berdasarkan regulasi Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan penilaian KNEKS dan Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) mayoritas UUS belum punya kesiapan tersebut.

"Baik dari aspek modal inti, kriteria Return on Asset (ROA), aset, Non Performing Financing (NPF), dan Financing per Deposit Ratio (FDR)," katanya.

Menurut Ventje, setidaknya ada tiga skenario untuk menghadapi kewajiban spin off yang tertuang dalam Undang-Undang. Diantaranya, konversi BPD menjadi BPD Syariah, unifikasi UUS BPD, atau UUS BPD mengembalikan izin usaha dan menjual asetnya ke bank syariah lain.

Sejak 2021, Ventje mengatakan pemerintah mendorong untuk opsi konversi. Hal ini disambut oleh dua BPD yang kini sedang menjalani prosesnya. Konversi akan memperbesar pangsa pasar perbankan syariah yang kini masih 6,74 persen.

Arahan untuk unifikasi UUS BPD juga diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan komitmen dan kesiapan dari masing-masing BPD. Hal ini didorong untuk dilaksanakan secara bertahap.

"Sejak 2018, Asbanda secara bertahap mengusulkan unifikasi sebagai opsi yang visible, ini menjadi relevan untuk meningkatkan skala bisnis, efisiensi, hingga Return on Equity (ROE) yang lebih optimal," katanya.

Dalam unifikasi ini diusulkan ada satu BPD Syariah yang besar bertindak sebagai bank jangkar. Dengan opsi tersebut, aset hasil merger UUS BPD akan mencapai Rp 43,5 triliun dan jadi bank syariah dengan peringkat keempat di Indonesia.

Ventje mengatakan merger UUS BPD juga penting mengingat persaingan perbankan syariah kini cukup timpang dengan kehadiran Bank Syariah Indonesia yang punya pangsa hingga 40 persen industri. Penguatan bank syariah lain sangat diperlukan untuk mendorong persaingan yang lebih sehat.

Baca juga: Prospek Saham BUKA di Tengah Tren Kenaikan Suku Bunga

Namun demikian, KNEKS memandang aksi korporasi mana pun yang dipilih diharap bisa melahirkan bank syariah kompetitif dan berkelanjutan. Langkah yang agile sangat diperlukan untuk menangkap permintaan pasar.

KNEKS juga mendorong sisi demand seperti investor retail dan institusi untuk jadi investor jangka panjang di perbankan syariah. Sehingga BPD Syariah harus siap untuk jadi tempat penempatan investasi.

Venjte menyebutkan semakin besarnya potensi investasi syariah. Mulai dari Dana Pensiun Syariah, Taspen, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), BPJS Kesehatan, hingga BPJS Ketenagakerjaan yang sudah punya layanan syariah di Aceh dan segera roll out secara nasional.

"Perlu kesiapan dari BPD Syariah untuk dapat bersinergi dan memanfaatkan peluang dengan memperbesar kapasitasnya dalam menerima dan mengelola dana investasi," katanya.

Selain terus mengelola kebutuhan ASN dan proyek-proyek di daerah, BPD juga dapat turut serta dalam ekosistem ekonomi syariah yang kuat, terintegrasi, dan terus bertumbuh. Maka dari itu, perlu dukungan dari berbagai pihak untuk memperkuat infrastruktur BPD agar lebih berdaya saing.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan, aset BPD syariah baik UUS maupun BUS telah meningkat signifikan sejak 2015 yang sebesar Rp 26,2 triliun menjadi Rp 89,1 triliun pada September 2021. Pangsa aset terhadap industri pun naik dari 7,4 persen pada 2015 menjadi 14 persen pada 2021.

Hal ini didorong oleh konversi Bank Aceh dan Bank NTB Syariah yang kini sudah menjadi BUS. Aksi tersebut menambah aset perbankan syariah nasional sebesar Rp 22 triliun.

Saat ini, sudah lebih banyak UUS BPD yang memiliki pangsa terhadap induknya lebih dari 6,5 persen. Dari 13 UUS, terdapat sembilan UUS BPD yang memiliki share di atas 6,5 persen, tertinggi adalah Bank Riau Kepri sebesar 22,7 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement