Sabtu 26 Feb 2022 04:00 WIB

Pengamat Intelijen: NATO dan AS Gagal Redam Vladimir Putin

NATO ingin menancapkan kekuatannya di Ukraina yang berbatasan dengan Rusia.

 Seorang prajurit Angkatan Darat Ukraina memeriksa pecahan pesawat yang jatuh di Kyiv, Ukraina, Jumat, 25 Februari 2022. Tidak jelas pesawat apa yang jatuh dan apa yang menjatuhkannya di tengah invasi Rusia di Ukraina. Rusia menekan invasi ke Ukraina ke pinggiran ibukota setelah melancarkan serangan udara di kota-kota dan pangkalan militer dan mengirimkan pasukan dan tank dari tiga sisi.
Foto: AP Photo/Vadim Zamirovsky
Seorang prajurit Angkatan Darat Ukraina memeriksa pecahan pesawat yang jatuh di Kyiv, Ukraina, Jumat, 25 Februari 2022. Tidak jelas pesawat apa yang jatuh dan apa yang menjatuhkannya di tengah invasi Rusia di Ukraina. Rusia menekan invasi ke Ukraina ke pinggiran ibukota setelah melancarkan serangan udara di kota-kota dan pangkalan militer dan mengirimkan pasukan dan tank dari tiga sisi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Pengamat militer dari intelijenSusaningtyas Kertopati mengatakan, perang antara Rusia melawan Ukraina meletus seperti banyak diperkirakan oleh para pakar dan pengamat. Konflik menahun sejak wilayah Ukraina di Krimea diduduki Rusia pada 2014 berujung serbuan Rusia di bagian timur Ukraina.

"NATO dipimpin Amerika Serikat ternyata gagal melaksanakan diplomasi pertahanan untuk mencegah perang. Kepentingan NATO juga belum tentu dibuktikan untuk membela Ukraina sebagai salah satu anggotanya," tuturnya, Jumat (26/2/2022).

Baca Juga

Sejak 2014, kata Nuning, NATO tidak memberikan reaksi yang proporsional terhadap Rusia. Strategi pendangkalan NATO juga tidak efektif mencegah Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan operasi militer secara masif.

Menurut dia, perang yang terjadi di Balkan saat ini masuk dalam kategori perang asimetris dari perspektif ilmu Pertahanan. Rusia adalah kekuatan yang superior dan Ukraina adalah kekuatan yang inferior. NATO berusaha menancapkan kekuasaannya di Ukraina yang secara geografis berbatasan langsung dengan Rusia.

"Perbandingan kekuatan militer dan anggaran perang jelas dimiliki Rusia. Di atas kertas Rusia pasti ingin melaksanakan perang dalam waktu secepat-cepatnya sementara Ukraina pasti melancarkan perang berlarut," kata Nuning.

Sejarah juga menunjukkan bahwa kekuatan superior, seperti Rusia ternyata kalah di Afghanistan. Amerika Serikat juga kalah di Vietnam dan Afghanistan. Dengan demikian ada beberapa skenario yang dapat ditempuh dunia internasional untuk mengakhiri perang.

Pertama, kata Nuning, gencatan senjata dan turun tangannya PBB. Kedua, NATO mengerahkan kekuatan penuh mengalahkan Rusia dan memukul Rusia di wilayahnya sendiri. Ketiga, Ukraina menang perang berlarut.

Indonesia waspada

Sementera itu pemerintah Indonesia, kata ia, patut mewaspadai dampak perang Rusia-Ukraina bagi perekonomian Indonesia."Sejumlah langkah strategis harus disiapkan secara matang mengantisipasi kemungkinan terburuk bagi kondisi sosial-politik di Indonesia," kata Susaningtyas.

Efek dominonya yang paling penting adalah harga pangan impor naik diikuti kenaikan barang lokal, dan biaya logistik melonjak. Hal itu seiring dengan  meningkatnya harga bahan bakar minyak sehingga ikut berdampak pada besaran subsidi.

Indonesia, kata ia, juga harus waspada kemungkinan negara tertentu mengambil kesempatan ketika dunia internasional sibuk menghadapi Rusia. "Gelar operasi militer di Laut Natuna Utara harus tetap dilaksanakan. Jangan sampai terjadi serangan mendadak yang dapat merugikan pertahanan Indonesia," jelas Nuning, sapaan Susaningtyas Kertopati.

Hal penting lainnya, kata dia, pemerintah Indonesia harus segera mengevakuasi WNI yang berada di Ukraina.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement