Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ropiyadi ALBA

Dilema Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi

Guru Menulis | Saturday, 26 Feb 2022, 23:20 WIB
Dokumen Pribadi

Sejak pandemi melanda tanah air pada medio Maret 2020 yang lalu, sistem pembelajaran di sekolah-sekolah dilakukan secara jarak jauh. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini terpaksa dipilih untuk mengurangi dampak penyebaran Covid-19. Dalam kenyataannya, Pembelajaran Jarak Jauh lebih dimaknai oleh kegiatan pembelajaran secara daring (dalam Jaringan), yang tentunya sangat mengandalkan sarana penunjang seperti: Hand Phone, kuota, dan sinyal.

Ada beberapa jenis media yang digunakan dalam pembelajaran daring, seperti : WhatsApp grup, Google Classrom, Google Form, Google Meet, dan Zoom Meeting. Khusus Google Meet dan Zoom Meeting adalah dua buah plat form tele confrence yang sering digunakan oleh para guru dan siswa dalam melakukan pembelajaran secara jarak jauh.

Dua plat form ini menjadi primadona dalam pembelajaran jarak jauh, karena antara guru dan siswa dapat tetap bertatap muka walaupun secara virtual.

Antara Google Meet dan Zoom Meeting memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk fitur gratis, Zoom Meeting hanya memberikan waktu selama 40 menit sedangkan Google Meet sedikit lebih lama yaitu 60 menit. Kedua plat form sama-sama memiliki pengaturan audio dan video yang dapat dihidupkan maupun dimatikan.

Bedanya pada Zoom, ada pengaturan back ground virtual, sehingga pengguna bisa mengganti back ground video sesuka mereka. Kedua plat form juga sama-sama memiliki fitur berbagi layar atau share screen.

Fitur ini memungkinkan pengguna untuk membagikan layar mereka-yang biasanya merupakan materi power point-untuk dibagikan kepada para peserta. Keunggugulan Zoom dibandingkan Google Meet adalah, pada fitur share screen ini, baik host maupun peserta sama-sama dapat melihat layar yang dibagikan tanpa memerlukan aplikasi tambahan.

Saya pribadi, lebih familiar dengan plat form Zoom Meeting. Karena bagi saya plat form ini lebih mudah dan nyaman untuk digunakan. Apalagi materi yang saya jelaskan kepada siswa adalah pelajaran yang bersifat eksak, sehingga membutuhkan tampilan visual yang mudah dilihat oleh kedua belah pihak, dan penjelasan langsung melalui white board virtual.

Kendala yang sering saya alami dalam pembelajaran virtual ini adalah seringnya terjadi gangguan sinyal dan keterbatasan kuota dari para siswa. Selain itu, adanya siswa yang mematikan video sehingga saya tidak bisa melihat wajah mereka. Untuk hal ini, saya membuat sebuah aturan, bagi siswa yang tidak menghidupkan video, dianggap tidak hadir di kelas virtual.

Penggunaan media tele confrence dalam Pembelajaran Jarak Jauh memang sangat membantu dalam menyampaikan materi pembelajaran, meskipun tetap saja ada keterbatasan. Untuk itu sangat dibutuhkan jaminan ketersedian kuota dan sinyal dari para stake holder pendidikan, seperti: orang tua, sekolah, perusahaan provider telepon selular, dan pemerintah.

Dalam Pembelajaran Jarak Jauh, masalah pembentukan karakter tidak akan menjadi maksimal karena tidak adanya interaksi secara langsung antara guru dan siswa. Untuk itu dibutuhkan peran penting dari para orang tua yang dapat berperan sebagai "guru" di rumah.

Walau bagaimanapun juga, pembelajaran di sekolah harus tetap dilaksanakan di tengah pandemi (walaupun secara jarak jauh), tentunya dengan tetap menjaga kualitas pembelajaran dan memperhatikan kondisi psikologis para siswa. Seorang guru tidak perlu memaksakan diri untuk mengejar target-target materi yang harus disampaikan, dengan mengorbankan perasaan dan psikologis siswa.

Akhirnya saya mau katakan bahwa sarana pendidikan boleh saja berubah mengikuti perkembangan zamannya. Namun, tujuan pendidikan tidak boleh berubah, yaitu membentuk manusia-manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dilengkapi dengan kecakapan pengetahuan dan keterampilan, serta memiliki keseimbangan antara kesehatan jasmani dan rohani.***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image