Ahad 27 Feb 2022 16:30 WIB

Dosen Unpad Beberkan Latar Belakang Konflik Rusia-Ukrania

Meski serumpun, budaya menjadi akar pemicu perang Rusia-Ukraina.

Rep: M Fauzi Ridwan/ Red: Agus Yulianto
 Orang-orang memegang plakat menuntut diakhirinya perang Rusia-Ukraina.
Foto: EPA-EFE/RAHAT DAR
Orang-orang memegang plakat menuntut diakhirinya perang Rusia-Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dosen Program Studi Sastra Rusia Universitas Padjadjaran (Unpad) Supian membeberkan latar belakang konflik yang terjadi antara Rusia dengan Ukraina. Konflik yang sudah berlangsung sejak 24 Februari ini konflik saudara sekandung sebab kedua negara berasal satu rumpun budaya yang sama yaitu Slavia Timur.

“Ini sangat disayangkan terjadi konflik kakak-adik. Hal ini bisa diredamkan dengan budayanya sendiri,” ungkap Supian seperti dikutip melalui laman unpad.co.id, Ahad (27/2/2022).

Dosen yang pernah tinggal 7 tahun di Kota Moskow dan Voronezh ini menyebut Rusia dan Ukraina seperti Indonesia dan Malaysia. Sehingga, secara karakter masyarakat dan bahasa kedua negara tersebut tidak jauh berbeda bahkan banyak warga NU Ukraina yang sehari-hari sekolah ataupun bekerja di Rusia.

"Dua di antaranya berasal dari Provinsi Donestk dan Luhansk, wilayah di Ukraina yang akhirnya diakui kedaulatannya oleh Rusia. Setiap akhir pekan, mereka mudik ke Ukraina," katanya. Meski serumpun, budaya menjadi akar pemicu perang Rusia-Ukraina.

Supian mengatakan, larangan penggunaan bahasa Rusia di sekolah Donestk dan Luhansk memicu lahirnya konflik tersebut. Padahal, bahasa Rusia menjadi bahasa sehari-hari yang digunakan di dua provinsi tersebut.

Selain itu, faktor ekonomi memperburuk masalah tersebut. Sebagai negara bekas pecahan Uni Soviet, tingkat ekonomi Ukraina tidak semaju Rusia sehingga Ukraina membuka peluang investasi yang besar dari luar agar bisa mengatasi ketertinggalan di bidang ekonomi.

“Sedikit demi sedikit kemudian semua ingin seperti Amerika, kemudian masuk juga invasi Eropa Barat ke Ukraina,” katanya. Dia melanjutkan, secara budaya rumpun Slavia Timur sulit berbaur dengan rumpun Indo-Jerman Barat yang kemudian dikritik oleh Rusia.

“Jadi konflik ini murni lebih ke politik. Akar masyarakat Rusia dan Ukraina itu sangat kuat, dan mereka sama-sama menganut Ortodoks,” ungkapnya. 

Dia menilai, kemungkinan konflik Rusia dengan Ukraina akan berakhir di meja perundingan. Sejarah telah membuktikan bagaimana diplomat Uni Soviet mampu menghindarkan konflik perang nuklir pada 1962.

“Ada satu moto yang dipegang teguh para diplomat Rusia-Ukraina hingga saat ini, yaitu lebih baik 10 tahun berunding daripada 1 hari berperang. Slogan ini jadi kurikulum wajib calon diplomat,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement