Senin 28 Feb 2022 07:16 WIB

Mengenali Jenis Hipertensi Ketika Tubuh Perempuan Berubah

Hipertensi bisa terjadi saat perempuan hamil dan menopause.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Indira Rezkisari
Hipertensi pada perempuan (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com.
Hipertensi pada perempuan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan pada tubuh perempuan bisa memicu munculnya hipertensi. Ibu hamil yang tekanan darahnya sebelum hamil selalu normal, bahkan ketika hamil pun normal, sangat mungkin mengalami tekanan darah tinggi ketika akan melahirkan. Tidak sampai di situ, setelah melahirkan pun tekanan darahnya sulit kembali ke angka normal lagi.

Anggota Pokja Panduan Konsensus Indonesian Society of Hypertension (InaSH), dr Siska Suridanda Dany, menjelaskan jenis hipertensi yang terjadi pada ibu hamil. Ia menyebut ada dua jenis hipertensi di mana keduanya berisiko menimbulkan komplikasi.

Baca Juga

“Pertama ibu yang sudah ada hipertensi kronik lalu hamil atau disebut hipertensi kronik. Kedua ibu yang mengalami hipertensi karena kehamilan atau disebut hipertensi gestasional,” ucap dr Siska dalam webinar bertajuk ‘Apakah Tata Laksana Hipertensi di Masa Covid-19 Ada Perbedaan?’, dikutip Senin (28/2/2022).

Hipertensi gestasional yang dipicu karena kehamilan, biasanya baru muncul setelah usia kehamilan 20 pekan. Ini dikarenakan volume darah yang meningkat dan akses hormonal yang berubah. Maka jika terjadi setelah usia kehamilan 20 pekan, biasanya akan menurun setelah ibunya melahirkan.

Lalu hipertensi yang terjadi pada perempuan usia dewasa muda, yang terjadi karena mengonsumsi obat kontrasepsional. Hal ini, memiliki risiko meningkatkan tekanan darah. Jika perempuan yang sudah ada hipertensi lalu mengonsumsi obat kontrasepsional, ini akan memicu peningkatan tekanan darah.

Risikonya bukan karena hanya obatnya, tapi juga dilihat apakah ada kebiasaan merokok, obesitas, meningkatnya usia, durasi, dan dosis obat kontrasepsi yang digunakan. Jika ingin menggunakan obat kontrasepsi hormonal, sebaiknya aware, bahwa peningkatan tekanan darah adalah salah satu hal yg bisa terjadi komplikasi akibat obat ini.

“Dan tekanan darah harus diperiksa sebelum dan sesudah mengonsumsi pil kontrasepsi setiap tiga bulan. Bila terjadi peningkatan tekanan darah, maka bisa diganti obatnya. Harus dikonsultasikan dengan dokter. Umumnya peningkatan tekanan darah seperti ini akan kembali normal setelah pil kontrasepsi dihentikan,” kata dr Siska lagi.

Siklus kehidupan perempuan selanjutnya adalah menopause, tekanan darah perempuan umumnya meningkat pada saat menopause. Estrogen merupakan penyebab utama terjadinya hal ini. Estrogen punya efek melemaskan atau merelaksasi pembuluh darah, hingga tekanan darah lebih naik karena pembuluh darah jadi lebih lentur.

Tapi bukan itu saja penyebab utamanya, ada faktor perubahan lainnya pascamenopause, seperti perubahan sistem renin-angiotensin, lalu perubahan kerja jantung dan kerja ginjal yang terjadi saat menopause. Meningkatnya obesitas saat menopause juga menjadi penyebab tekanan darah yang tinggi.

“Meningkatnya kejadian sindrom metabolik, pascamenopause juga menyebabkan peradangan kronis dan peningkatan sensitivitas terhadap syaraf,” papar dr Siska.

Apakah ada perbedaan pengobatan hipertensi antara laki-laki dan perempuan? Dr Siska mengatakan bahwa semua terapi hipertensi memberi manfaat yang sama, asalkan target tekanan darahnya tercapai. Dimulai dari obat, jika dilihat dari jenis obat dan dosis obat, itu tidak ada perbedaan. Kecuali ada kondisi khusus seperti kehamilan, karena pada kehamilan ada obat-obat yang wajib dihindari.

Untuk mencegah hipertensi, para perempuan harus mengetahui berapa langkah kaki yang diambil dalam sehari. Karena aktivitas fisik merupakan suatu aspek pencegahan yang sangat baik untuk penyakit tidak menular. Bagi individu yang rutin berolahraga, maka risiko terkena hipertensi itu sangat kecil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement