Senin 28 Feb 2022 19:21 WIB

Memaknai Cinta kepada Rasulullah SAW

Kualitas iman kita sangat ditentukan dengan kecintaan kita kepada Rasulullah SAW.

Memaknai Cinta kepada Rasulullah SAW
Foto: republika
Memaknai Cinta kepada Rasulullah SAW

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yusran Hadi, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Ketua MIUMI Aceh, Ketua PCM Syah Kuala, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara

 

Baca Juga

Kita sering mengaku cinta kepada Nabi saw, namun tidak bisa membuktikannya dalam tingkah laku dan perkataan kita sehari-hari. Selama ini Sunnah Rasul saw dianggap sepele dan ditinggalkan. Misalnya, shalat berjama’ah bagi laki-laki. Masih banyak umat Islam laki-laki yang tidak mau atau malas shalat berjama’ah. Bahkan, berbagai maksiat dilakukan oleh sebahagian umat Islam, baik secara berjamaah maupun pribadi. Tidak hanya itu, perbuatan dosa besar seperti syirik, tahayul, khurafat dan bid’ah telah menjadi sebuah tradisi yang dipertahankan. Padahal, perbuatan tersebut telah bertentangan dengan sunnah (petunjuk) Rasul saw. Jika seseorang itu cinta Rasul saw, tentu dia akan patuh kepada Rasul dan tidak akan melakukan perbuatan maksiat yang dilarang Rasul saw.

Kewajiban Mencintai Rasul Saw

Sebagai seorang muslim, kita berkewajiban untuk mencintai Rasulullah saw. Bahkan mencintai Rasul saw merupakan bagian dari keimanan dan aqidah seorang muslim. Allah Swt berfirman: ”Katakanlah, ’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah Swt dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)

Ayat ini cukup menjadi bukti keharusan untuk mencintai Rasulullah saw. Bahkan ayat tersebut juga menunjukkan begitu besar hak Rasulullah saw untuk dicintai, sebab dalam ayat tersebut Allah Swt memberikan ancaman bagi orang-orang yang lebih mencintai harta, keluarga, dan anak-anak daripada mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya. Bahkan di akhir ayat Allah Swt menggolongkan orang-orang yang melakukan hal tersebut sebagai orang yang sesat dan tidak mendapatkan hidayah dari Allah Swt.

Kualitas iman kita sangat ditentukan dengan kecintaan kita kepada Rasul saw. Orang yang memiliki iman yang sempurna selalu memposisikan cintanya kepada Rasul saw dengan posisi urutan pertama dibandingkan cintanya kepada manusia lain. Cintanya kepada Rasul saw melebihi cintanya kepada orang tua, istri, suami dan anaknya, bahkan dirinya sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidaklah sempurna iman salah seorang kamu sehinga aku lebih dicintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan manusia semua” (HR. Bukhari). Rasulullah juga bersabda: “Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga aku lebih dicintai dari dirinya sendiri”. (HR. Ahmad)

Itu sebabnya Rasululah pernah menegur Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu  ketika ia menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah Saw, dan  menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, maka Rasulullah menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada Rasul saw di atas segala-galanya. Maka Umarpun mencintai Rasul saw melebihi dirinya (HR. Al-Bukhari)

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement