Rabu 09 Mar 2022 23:33 WIB

Nikah tanpa Mahar Atas Persetujuan Istri, Ini Penjelasan Ibnu Rusyd 

Mahar pada dasarnya menjadi tanggungan suami meski dibayar setelah akad

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Menikah (Ilustrasi). Mahar pada dasarnya menjadi tanggungan suami meski dibayar setelah akad nikah.
Menikah (Ilustrasi). Mahar pada dasarnya menjadi tanggungan suami meski dibayar setelah akad nikah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Memberikan mahar adalah kewajiban laki-laki kepada perempuan yang hendak dinikahi. Pentingnya keberadaan mahar dalam pernikahan ini pun sering ditekankan dalam sejumlah literatur fikih, lantas sahkah jika seorang laki-laki menikahi perempuan tanpa mahar saat akad nikah dengan persetujuan calon istri?

Menikahi perempuan tanpa memberikan mahar sesuai dengan kerelaan si perempuan tersebut (nikah tawfidh) diperbolehkan menurut kesepakatan ulama. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai nikah tawfidh ini.

Baca Juga

Dasar dari diperbolehkannya nikah tawfidh yakni firman Allah SWT dalam Alquran surat Al Baqarah penggalan ayat 236: 

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً “Laa junaha alaikum in thallaqtumunnisaa-a maa lam tamassuhunna aw tafridhuu lahunna faridhatan.” 

 

Yang artinya, “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.” 

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al- Muqtashid menjelaskan, meski nikah tawfidh diperbolehkan menurut kesepakatan ulama, namun mereka saling berselisih pendapat mengenai dua hal.

Pertama, jika istri menuntut penentuan maskawin bagi dirinya, lalu dia dan suami berselisih pendapat mengenai kadar atau besarannya.

Kedua, jika sang suami terlanjur meninggal dunia dan belum sempat menentukan maskawin. Jika seperti ini, apakah si istri berhak mendapatkan maskawinnya atau justru tidak?

Ibnu Rusyd menjelaskan, di permasalahan pertama, jika istri menuntut ditentukan maskawinnya, maka sebagian menurut sebagian ulamad ia berhak memperoleh mahar mitsil dan sang suami tidak punya pilihan selain memenuhinya.

Jika suami menceraikan istrinya sesudah penentuan maskawin, menurut sebagian ulama, si istri memperoleh separuh maskawin.

Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, si istri tidak berhak memperoleh apapun. Sebab dasar penentuan maskawin tidak ada pada saat akad nikah dilaksanakan. 

Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya. Sedangkan menurut Imam Malik dan murid-muridnya, sang suami boleh memilih salah satu dari tiga hal.

Yakni, ia boleh menceraikan tanpa menentukan maskawin, atau menentukan jumlah maskawin sebagaimana yang dituntut oleh si istri, atau menentukan maskawin mitsil dan si istri harus mau menerimanya.

Adapun untuk permasalahan kedua, yakni jika sang suami terlanjur meninggal dunia sebelum sempat menentukan maskawin dan sebelum sempat menggauli istri, menurut pandangan Imam Malik dan murid-muridnya maka si istri tidak memperoleh maskawin. Namun dia memperoleh mutah dan warisan.

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, si istri hanya memperoleh warisan. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dan Imam Dawud. Adapun pendapat yang sama juga dikutip dari Imam Syafii, namun murid-muridnya justru cenderung pada pendapat Imam Malik.

Baca juga: 3 Tanda yang Membuat Mualaf Eva Yakin Bersyahadat

 

Silang pendapat ini disebabkan adanya pertentangan antara qiyas dengan hadis. Yakni hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud sesungguhnya ketika ia ditanya permasalahan tersebut, dia menjawab, “Mengenai masalah ini, aku mengatakan berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika itu salah, maka itu diriku sendiri. Menurutku, si istri memperoleh maskawin seperti maskawin wanita dari golongannya, tanpa ada pengurangan atau tambahan. Dia wajib menjalani iddah, dan dia berhak mendapatkan warisan,”.

Sedangkan qiyas yang kontra dengan hadis itu adalah bahwa pada hakikatnya maskawin sebagai kompensasi atau pengganti. Dan karena maskawin belum diterima, maka tidak ada kewajiban memberikan ganti.

Hal ini diqiyaskan dengan akad jual beli. Dalam masalah ini, Al Muzanni mengutip pendapat dari Imam Syafii. Katanya, siapa pun harus dikesampingkan. Jadi apa yang dikatakannya itulah yang benar.    

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement