Jumat 11 Mar 2022 21:24 WIB

Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan, Ulama Besar dari Garis Katulistiwa

Syekh Kumpulan telah melahirkan ratusan murid yang kelak menjadi ulama besar

Rep: Febrian/ Red: Agung Sasongko
Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan.
Foto: dok Febrian Fachri
Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan.

REPUBLIKA.CO.ID,KUMPULAN -- Kecamatan Bonjol, di Kabupaten Pasaman ternyata memiliki ulama besar yang tak kalah masyhur selain Tuanku Imam Bonjol. Di kecamatan yang terletak di garis khatulistiwa itu, juga pernah ada ulama bernama Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan. Syekh Kumpulan hidup dari 1764-1914. Dengan kata lain, ia hidup sampai usia 150 tahun.

Keturunan ke enam Maulana Syekh Ibrahim al-Khalidi Kumpulan, Abu Bakar Tuanku Saidina Ibrahim, mengatakan Syekh Kumpulan atau yang juga akrab disapa Inyiak Balinduang, punya jasa besar mengembangkan agama Islam di Bonjol, Pasaman hingga sampai ke Sumatra Utara.

Baca Juga

Menurut Abu Bakar, Inyiak Balinduang punya ratusan murid yang juga berhasil menjadi ulama besar. Seperti Syekh Syahbuddin Tapanuli di Sumatra Utara, Syekh Muhammad Nur Baruah Gunung di Kabupaten Limapuluh Kota, Syekh Muhammad Bashir Lubuk Landur, Syekh Yunus Tuanku Sasak, Syekh Daud Durian Gunjo, Syekh Mudo Tibarau di Kinali dan masih banyak lainnya.

"Guru beliau juga murid dari Syekh Burhanuddin Ulakan. Kemudian, beliau pergi haji ke Mekkah. Pulang dari Mekkah, beliau fokus belajar Tarekat Naqsyabandiyah," kata Abu Bakar, kepada Republika di Kompleks Makam Syekh Kumpulan, Kamis (10/3).

Syekh Kumpulan belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada mamak (paman)nya yang bernama Syekh Muhammad Sa’id Padang Bubus. Setelah mulai paham dengan Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Kumpulan pergi lagi ke Mekkah. Di sana beliau belajar lagi selama 7 tahun untuk melanjutkan pengajian dalam ilmu syariat dan secara khusus melanjutkan ilmu Tarekat di Jabal Abi Qubais kepada Maulana Syekh Khalid Kurdi.

Barulah kemudian dia kembali ke kampung halamannya di Kumpulan untuk mengajarkan ilmu agama dan tarekat di sebuah surau bernama Surau Kaciak.  Sejak kembali dari Mekkah, minat masyarakat belajar agama kepada beliau semakin tinggi. Sehingga dibangunlah Surau Tinggi yang ukurannya lebih besar.

Adanya Surau Tinggi ternyata masih tidak dapat menampung murid dan jamaah Syekh Kumpulan. Kemudian dibangunlah sebuah perkampungan yang arealnya lebih luas. Kampung itu diberi nama Kampung Koto Tuo.

Di Kampung Koto Tuo ini, dibangun sebuah rumah gadang 11 ruang dan sebuah masjid. Di situ juga sudah ada Surau Tinggi yang dijadikan tempat bersuluk.

"Dari situlah Syekh Kumpulan  telah melahirkan ratusan murid yang kelak menjadi ulama besar setelahnya baik di sekitar tanah Minangkabau sampai ke pulau Jawa dan Kalimantan," ucap Abu Bakar.

Tapi dakwah Syekh Kumpulan di kampung halamannnya kala itu menemui tantangan tradisi masyarakat yang masih jauh dari ajaran Islam. Ketika itu, masyarakat Minangkabau pada umumnya masih gemar melakukan judi, sabung ayam, dan mabuk-mabukkan. Pertentangan inilah yang diketahui menjadi pemicu Perang Padri. Yakni kaum ulama bertentangan dengan kaum adat yang hidup jauh dari sentuhan ajaran Islam.  

Pertentangan dengan kaum adat itu kemudian disusupi oleh kolonial Belanda yang ikut mengadu domba. Namun, pada akhirnya, kaum ulama dan kaum adat ini bersatu dan bersama-sama melawan Belanda. Syekh Maulana Ibrahim Al-Khalidi ini juga ikut berjuang bersama dengan Tuanku Imam Bonjol ketika Perang Paderi. Ketika itu, usia Syekh Kumpulan sudah 50 tahun. 

Namun kisah kepahlawanan Syekh Kumpulan tidak setenar Tuanku Imam Bonjol. Syekh Kumpulan tidak memperturutkan nafsu perangnya karena lebih memilih fokus untuk dakwah memperbaiki akidah masyarakat.

"Tuanku Imam Bonjol memang terkenal karena berperang. Kalau Syekh Kumpulan, lebih memilih untuk memikirkan keberlanjutan syiar Islam agar masa depan murid-muridnya lebih dekat kepada Allah," ujar Abu Bakar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement