Senin 14 Mar 2022 20:12 WIB

Pakar Ungkap Dampak Penerapan JKN sebagai Syarat Administrasi

Konsep yang bagus ini tidak dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Petugas melayani peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang Jakarta Pusat, Senin (21/2/2022). Pemerintah mewajibkan sejumlah layanan publik mensyaratkan kepersertaan BPJS Kesehatan. Tujuannya, demi optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022.Beberapa layanan publik yang mewajibkan syarat BPJS Kesehatan yakni mulai dari jual beli tanah, mengurus SIM, STNK , SKCK hingga Haji dan Umrah.Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika
Petugas melayani peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Kantor Cabang Jakarta Pusat, Senin (21/2/2022). Pemerintah mewajibkan sejumlah layanan publik mensyaratkan kepersertaan BPJS Kesehatan. Tujuannya, demi optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022.Beberapa layanan publik yang mewajibkan syarat BPJS Kesehatan yakni mulai dari jual beli tanah, mengurus SIM, STNK , SKCK hingga Haji dan Umrah.Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi Universitas Airlangga, Elia Mustikasari mengomentari diterbitkannya Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Inpres tersebut hadir sebagai usaha pemerintah mencapai target Universal Health Coverage (UHC).

Akan tetapi, kata dia, penerapan JKN yang dijadikan sebagai syarat administrasi layanan publik mengandung dampak positif dan negatif. "Khususnya di bidang ekonomi dan kestabilan politik nasional," ujarnya, Senin (14/3).

Elia menjelaskan, dampak positifnya karena konsep JKN bertujuan menutup biaya kesehatan seluruh rakyat Indonesia dengan membayar iuran yang relatif kecil. Sayangnya, kata dia, konsep yang bagus ini tidak dirancang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia yang beragam.

Iuran JKN menurutnya tidak sesuai dengan daya pikul masyarakat Indonesia. Ditambah lagi penerapan peraturan JKN di lapangan berbeda. Dimana masih banyak komplain masyarakat terhadap pelayanan JKN (BPJS Kesehatan) yang tidak direspons cepat walaupun telah disediakan hotline keluhan peserta BPJS.

Elia menjelaskan, Inpres tersebut sasarannya adapah pengawas, pengurus, dan anggota koperasi, serta pelaku UKM yang diharapkan akan meningkatkan UHC 15 persen. Yakni dari sekitar 83 persen ke 98 persen. Namun menurutnya, hal itu kurang tepat.

Berdasarkan data Kemenkop UKM bulan Maret 2021, jumlah UKM mencapai 64,2 juta atau sekitar 23,5 persen jumlah penduduk Indonesia. “Artinya, bisa diartikan bahwa 17 persen penduduk yang belum mengikuti BPJS Kesehatan adalah dari kalangan UKM dan penduduk miskin yang jumlahnya per September 2021 sekitar 9,71 persen,” ujar Elia.

Elia melanjutkan, jika penghasilan UKM ini dikaitkan dengan perhitungan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk WPDN status K/3 sebesar 72 juta per tahun atau 6 juta per bulan, masih sedikit pelaku UKM yang berpenghasilan di atas Rp 6 juta per bulan. Pada umumnya, kata Elia, pelaku UKM ini berpenghasilan di bawah UMR.

“Jadi bisa ditarik benang merah bahwa ketidakpatuhan masyarakat untuk mengikuti program JKN disebabkan karena ketidakmampuan ekonomi dan pelayanan kesehatan di lapangan terhadap masyarakat yang menggunakan BPJS yang tidak seragam, belum baik,” kata Elia.

Elia mengatakan, jika JKN dipaksakan sebagai prasyarat berbagai urusan kependudukan, kemungkinan ketidakmampuan ekonomi masyarakat ini akan menyebabkan ketidakpatuhan massal yang mengganggu kestabilan politik. Tentu saja, kata dia, hal itu berpengaruh ke pendapatan daerah.

"Khususnya PKB dan Pendapatan Bukan Pajak yang berkaitan dengan semua dokumen kependudukan," ujarnya.

Menurut Elia, pemerintah seharusnya terlebih dahulu mengenal akar permasalahan (root causes) dari ketidakpatuhan masyarakat. Pemerintah semestinya melakukan update data, survei kepuasan pelanggan, hotline yang cepat responsif, dan bentuk pos-pos tanggap cepat keluhan pelayanan BPJS kesehatan, setidaknya satu di setiap kabupaten/ kota.

“Iuran JKN boleh saja dibagi kelas-kelas. Tetapi untuk masyarakat kelas bawah harus mendapat subsidi dari pemerintah,” kata Elia.

Guna merealisasikan hal tersebut, konsep bagi beban antara pemerintah pusat dan daerah dapat dilaksanakan. Selain itu, Elia berpendapat bahwa pemerintah bisa menggandeng Badan Amil Zakat guna menuntaskan permasalahan ini.

Berdasarkan uraian tersebut, Elia menyarankan agar pemerintah meninjau kembali Inpres nomor 1 tahun 2022. “Inpres ini tujuannya baik, tetapi tergesa-gesa. Pemerintah harus terlebih dahulu membenahi semua hal, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan sebelum Inpres ini dilaksanakan,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement