Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Syafi'ie el-Bantanie

Lembaga Wakaf Tanpa Visi

Bisnis | Tuesday, 15 Mar 2022, 15:16 WIB

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

(Praktisi Wakaf dan Pendiri Ekselensia Tahfizh School Dompet Dhuafa)

Pernahkah Anda melakukan perjalanan, namun tidak memiliki tujuan? Kira-kira apa yang akan terjadi? Kemungkinan Anda hanya akan berputar-putar dan tidak akan pernah sampai tujuan. Karena, Anda sendiri tidak tahu tujuannya mau ke mana.

Selain itu, Anda juga berpotensi melakukan hal-hal yang tidak penting selama dalam perjalanan. Karena tidak ada tujuan, maka Anda tidak bisa memilah dan memilih mana hal penting yang harus dilakukan untuk sampai tujuan dan mana yang tidak penting.

Jika dalam konteks perjalanan saja tujuan sangat penting, apatah lagi dalam konteks lembaga wakaf. Tujuan besar yang ingin dicapai itulah visi. Semestinya setiap lembaga wakaf memiliki tujuan besar atau visi yang hendak dicapai.

Visi tersebut akan memandu lembaga wakaf melakukan perjalanan dengan benar. Tidak tergoda belok kanan dan kiri yang akan menjauhkannya dari visi meski sepintas menarik pandangan. Ia akan konsisten meniti langkah demi langkah menuju visi.

Maka, bayangkan jika lembaga wakaf melakukan perjalanan, namun terlupa tidak merumuskan tujuan besar atau visinya. Apa yang akan terjadi? Berjalan tak tentu arah. Mungkin lembaga wakaf model ini terlihat sibuk dan padat aktivitasnya, namun tidak akan mengantarkan mereka ke mana-mana.

Mereka hanya akan berputar-putar melakukan rutinitas. Apa yang menarik dilihat di tengah perjalanan, itulah yang dilakukan. Energinya habis melakukan aktivitas parsial. Namun, bukan layaknya potongan puzzle yang pada akhirnya akan membentuk pola utuh.

Lembaga wakaf berjalan tanpa visi bisa jadi karena tata kelola lembaga ziswaf yang belum rapi dan profesional. Lembaga wakaf hanya ditempatkan sebagai sub sistem dalam tubuh lembaga ziswaf. Ia diposisikan hanya sebagai pelaksana tugas tanpa diberikan kewenangan strategis sebagaimana mestinya lembaga wakaf.

Bisa jadi inilah yang membuat lembaga wakaf terjebak dalam rutinitas. Tidak menjalankan fungsi strategisnya. Karena, setingannya memang pelaksana tugas. Ditambah lagi jika dalam tubuh lembaga wakaf tidak ada orang dengan tipikal pemikir dan konseptor.

Membangun Visi Peradaban Wakaf

Membangun visi peradaban wakaf memang tidaklah mudah. Mengeksekusinya lebih tidak mudah lagi. Namun, visi yang jelas meski masih terlihat jauh sekali lebih menarik untuk ditempuh. Mengapa? Karena, lembaga wakaf tahu harus berjalan ke mana dan perjalanan ini ada ujungnya. Sebuah idealita yang ingin direalisasikan.

Tantangannya memang tidak mudah. Sebagai perwujudan tahapan demi tahapan menuju visi peradaban wakaf, lembaga wakaf mesti mengedukasi umat dengan sabar dan konsisten. Mungkin juga melahirkan program wakaf yang tidak populer. Awalnya tidak dikenal dan diminati pasar, namun bernilai strategis.

Dalam konteks ini, meski sedikit berbeda, lembaga wakaf bisa belajar dari perkembangan Kuttab Al-Fatih yang pesat. Kuttab adalah model pendidikan Islam setingkat sekolah dasar pada masa kejayaan Islam. Jejak kuttab di nusantara misalnya, bisa dilihat pada masa Kesultanan Syiak Sri Indrapura, Riau.

Kuttab Al-Fatih diinisiasi oleh Ustadz Budi Ashari dan timnya pertama kali pada 2012 di bawah naungan Yayasan Al-Fatih Pilar Peradaban. Ustadz Budi sadar sepenuhnya bahwa kuttab sama sekali tidak akrab dan dikenal oleh umat Islam Indonesia. Namun, visi besar yang ingin dicapai, menguatkan langkah Kuttab Al-Fatih untuk terus berjalan.

Yayasan Al-Fatih Pilar Peradaban setahap demi setahap membangun Kuttab Al-Fatih dengan konsisten. Mereka tidak tergoda untuk berpindah haluan karena mengikuti selera pasar. Kuttab Al-Fatih terus berjalan dan berkarya menuju visi besarnya.

Hasilnya? Perjuangan Yayasan Al-Fatih Pilar Peradaban telah berbuah. Kuttab Al-Fatih telah berkembang menjadi puluhan cabang diberbagai kota di Indonesia. Model pendidikan kuttab menjadi sangat populer dan diminati umat Islam Indonesia. Bahkan, antrian pendaftaran siswa barunya selalu waiting list.

Inilah yang dimaksud berjalan dengan tujuan besar atau visi. Meski pada awal hingga tengah perjalanan, terasa sulit medannya. Namun, titik destinasi yang indah membuat para pendaki tetap dan terus mendaki hingga pada akhirnya sampailah di puncak pendakian (visi).

Karena itu, ada baiknya setiap lembaga wakaf berhenti sejenak. Keluar dari jebakan rutinitas. Kemudian, merumuskan dengan matang arah dan visi lembaga wakafnya. Visi layaknya peta yang akan memandu lembaga wakaf berjalan sesuai rute yang benar. Memastikan setiap aktivitas yang dilakukan mengarah kepada pencapaian visi.

Membangun peradaban wakaf adalah pekerjaan besar. Tidak bisa parsial dan asal jalan. Perlu dirumuskan grand design-nya secara utuh dan menyeluruh. Terkecuali, jika kita memang hanya menginginkan lembaga wakaf meramaikan dunia perwakafan saja. Ini memang pilihan. Namun, pertanyaannya, akankah kita mengerdilkan syariat wakaf yang luhur ini?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image