Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ummu Fatimah

Buang Bayi Makin Marak, Mengapa?

Gaya Hidup | Sunday, 20 Mar 2022, 07:15 WIB

Kesekian kali lagi, berita pilu kembali mencuat dari kota wisata, Malang. Awal bulan Maret 2022, warga kecamatan Blimbing dihebohkan dengan penemuan bayi laki-laki di depan emperan salah seorang warga desa. Bayi laki-laki tersebut bahkan belum bersih dari bercak darah, yang mengindikasikan bahwa ia baru saja dilahirkan sebelum di buang (Kompas,7/3/22). Naasnya peristiwa serupa juga baru saja terjadi belum lama di kecamatan yang berbeda. Seorang wanita yang tinggal di indekos tega membuang bayinya di tempat sampah sesaat setelah dilahirkan pada awal tahun 2022 (TribunNews, 12/3/22). Pembuangan bayi sejatinya bukan hal yang baru saja terjadi di kota Malang. Pada tahun 2021 saja terjadi setidaknya tiga kasus pembuangan bayi, kasus ini meningkat dibandingkan tahun 2020 yang berjumlah dua kasus (MalangTimes.com, 30/10/21)

Fenomena pembuangan bayi baru lahir yang semakin marak terjadi di kota Malang dilatar belakangi oleh kehamilan yang tidak diinginkan akibat hamil di luar nikah. Efeknya banyak dari mereka yang memilih untuk membuang bayi mereka untuk menutupi rasa malu yang dialami. Hal ini menunjukkan semakin maraknya perzinaan pada kalangan muda di kota Malang sehingga hamil di luar nikah tidak dapat dielakkan lagi. Peristiwa ini memungkinkan meningkat apalagi setelah disahkannya peraturan terkait paying hukum bagi orang-orang yang berhubungan layaknya suami istri asalkan di dalamnya tidak ada kekerasan dan saling consent. Antisipasi yang disosialisasikan berupa penggunaan alat pengaman agar tidak hamil juga semakin marak.

Aturan-aturan yang begitu mendukung adanya aktivitas perzinaan pada generasi muda pada dasarnya memberikan kerusakan yang luar biasa. Ketika perzinaan terjadi semakin marak maka potensi penularan penyakit kelamin semakin meningkat diiringi dengan bertambahnya penderitanya. Selain itu, potensi bayi yang dibuang atau aborsi akan semakin sering kita dengar. Bisa dibayangkan akan ada banyak bayi yang terlantar, tumbuh tanpa orang tua atau bahkan meninggal akibat dibuang. Nyawa seorang bayi seolah sangat murah dan tanpa penghargaan sedikitpun. Akankah keadaan seperti ini masih disebut peradaban yang manusiawi? Tentu tidak. Penghargaan bagi satu nyawa saja tidak dilindungi.

Banyaknya perzinaan juga menunjukkan betapa masyarakat tidak mampu memuliakan wanita dengan baik. Sehingga wanita boleh dijajaki sesuka hati atau bahkan memberikan kehormatan dirinya sendiri. Padahal wanita adalah mahkluk mulia yang dengan kemuliaan itu maka kehormatannya harus dijaga. Namun, paradigma liberalisme yang berkolaborasi dengan sekulerisme yang begitu meracuni pikiran masyarakat menjadikan fenomena ini hal yang wajar. Bagaimana tidak, paham liberalisme memandang bahwa kehidupan bisa dilakukan sebebas mungkin sehingga tanpa aturan yang pasti, asalkan dilakukan atas dasar suka sama suka. Hal ini diperparah dengan paham sekulerisme yang menjadikan manusia bertindak tanpa adanya koridor yang jelas, bahkan sekalipun hal itu berpotensi menjatuhkan harga dirinya. Akibatnya manusia hanya akan peraktivitas sesuai keinginan mereka tanpa batas benar dan salah yang jelas. Ketika hal ini terjadi, bukankah pantas jika narasi “manusia telah berubah tabiatnya dengan hewan yang nihil rasa malu” menjadi hal yang mudah dipahami? Bukankah tanpa aturan yang jelas, manusia akan sama halnya hidup layaknya hewan yang bebas serta tanpa aturan?

Sayangnya kondisi semacam ini diakomodir oleh penerapan sistem kapitalis yang tengah menaungi dunia saat ini. Pada sistem kapitalis inilah ide-ide sekulerisme, liberalisme diopinikan dengan massif sehingga meracuni pemikiran masyarakat. Menelisik dampak besar penerapan sistem ini akankah kita terus mau bertahan di dalamnya? Sistem ini bukanlah satu-satunya yang ada di dunia. Hanya saja kita memang butuh kaca mata yang jernih untuk mencari dan menggali sistem lain yang benar dan layak untuk memanusiakan manusia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image