Selasa 29 Mar 2022 21:47 WIB

Muhammadiyah Tegaskan Frasa 'Madrasah' tidak Boleh Hilang dari RUU Sisdiknas

Madrasah sudah berdiri bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Rep: Mabruroh/ Red: Andri Saubani
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti meminta frasa 'madrasah' tidak dihilangkan dari RUU Sisdiknas.
Foto: Republika/Prayogi
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti meminta frasa 'madrasah' tidak dihilangkan dari RUU Sisdiknas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) tengah mengajukan RUU Sisdiknas 2022. RUU tersebut merupakan integrasi atas tiga undang-undang pendidikan, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Tinggi. 

Kemendikbudristek mengajukan draf RUU Sisdiknas dalam Polegnas Prioritas 2022. Tetapi banyak pihak menolak, salah satunya karena draf RUU Sisdiknas 2022 telah menghilangkan frasa 'madrasah'.

Baca Juga

Padahal, madrasah sendiri sudah berdiri bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Dikutip dari jurnal Dr Manpan Drajat, Sejarah Madrasah di Indonesia, madrasah muncul pada masa kolonial Belanda atau sekitar awal abad ke-20. Pada masa itu, mulai berdiri juga organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan lainnya. 

Di Sumatera misalnya, muncul antara lain Madraah Adabiyah yang didirikan di Padang oleh Syaikh Abdullah Ahmad pada 1908. Kemudian tahun 1915 madrasah ini berubah menjadi HIS  Adabiyah.  

Sementara itu, pada 1910 Syaikh M. Taib Umar juga mendirikan Madrasah Shcoel di Batusangkar, sedangkah H. Mahmud  Yunus  pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan pada Madrasah Schoel. 

Di Aceh, didirikan madrasah yang pertama pada 1930 bernama Saadah Adabiyah oleh Tengku Daud Beureuh. Lalu Madrasah Al-Muslim oleh Tengku Abdul Rahman Munasah Mencap, Madrasah  Sarul Huda dan banyak madrasah lainnya. Hal serupa terjadi juga di Sumatera Timur, Tapanuli, Sumetera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. 

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti mengatakan, KH Ahmad Dahlan mendirikan madrasah Qismul Aqro di Yogjakarta pada 1918, sebagai cikal bakal madrasah muallimin-muallimat Muhammadiyah. 

“Sistem pendidikan madrasah merupakan solusi ketika pemerintah Belanda menolak dimasukkannya pendidikan agama di sekolah Belanda, dan tidak adanya kajian ilmu modern di pesantren,” kata Mu’ti, Selasa (29/3/2022). 

Mu’ti menuturkan, eksistensi madrasah semakin menguat setelah diundangkan dalam UU No 30 Tahun 2003 bahwa madrasah disebutkan bersamaan dengan sekolah sebagai pendidikan formal. Pendidikan taman kanak-kanak (TK) sama dengan Raudatul Atfal (RA), Sekolah Dasar (SD) sama dengan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sama dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA) sama dengan Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sama dengan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).

“Ujian Nasional Madrasah sama dengan sekolah,” tegas Mu’ti.

Munculnya draf RUU Sisdiknas yang menghilangkan kata Madrasah menurutnya, tidak sejalan dengan tujuan dibentuknya negara Indonesia yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. 

Selain itu, ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini, dengan penghapusan kata Madrasah dalam RUU Sisdiknas 2022 dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah. Pertama, masalah dikotomi sistem pendidikan nasional. 

“Hal jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menghendaki integrasi pendidikan dalam satu sistem pendidikan nasional,” kata Mu’ti.

Masalah Kedua, munculnya kesenjangan mutu pendidikan. Dengan kata lain, dengan tidak dimasukkannya madrasah dapat menjadi alasan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mengalokasikan anggaran pembinaan madrasah.

Masalah ketiga, dikotomi pendidikan nasional jika tidak dikelola secara seksama, dapat berpotensi menimbulkan masalah disintegrasi bangsa.

“Secara kualitas mutu pendidikan madrasah masih relatif tertinggal dibandingkan sekolah. Masalah ini tidak boleh diabaikan. ldealnya, administrasi dan pembinaan pendidikan berada di bawah satu kementerian yaitu Kemendikbudristek. Karena itu, sekali lagi, madrasah perlu dimasukkan dalam Undang-Undang Sisdiknas,” ujarnya.  

“Memang belum semua pihak setuju. Tetapi, wacana ini perlu menjadi kajian bersama,” tambah Mu’ti.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement