Rabu 30 Mar 2022 14:57 WIB

Soal Diplomasi dan Negosiasi, Peran Tokoh Muhammadiyah Tak Perlu Diragukan Lagi

Kepiawaian Haji Agus Salim dan Kasman Singodimejo patut diedukasikan ke generasi muda

Muhammadiyah terbukti memiliki pengalaman berdiplomasi dan bernegosiasi di level kenegaraan di Indonesia maupun internasional. Peran sejumlah tokoh persyarikatan Muhammadiyah tak perlu disangsikan lagi. Karenanya, pula kemampuan berdiplomasi dan bernegosiasi ini perlu dimiliki oleh pegiat di Muhammadiyah.
Foto: istimewa
Muhammadiyah terbukti memiliki pengalaman berdiplomasi dan bernegosiasi di level kenegaraan di Indonesia maupun internasional. Peran sejumlah tokoh persyarikatan Muhammadiyah tak perlu disangsikan lagi. Karenanya, pula kemampuan berdiplomasi dan bernegosiasi ini perlu dimiliki oleh pegiat di Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Muhammadiyah terbukti memiliki pengalaman berdiplomasi dan bernegosiasi di level kenegaraan di Indonesia maupun internasional. Peran sejumlah tokoh persyarikatan Muhammadiyah tak perlu disangsikan lagi. Karenanya, pula kemampuan berdiplomasi dan bernegosiasi ini perlu dimiliki oleh pegiat di Muhammadiyah.

Hal itu dikemukakan Clemens Bektikusuma saat mengawali penyampaian materinya dalam seminar nasional Teknik Diplomasi dan Negosiasi bertema “Penguasaan Teknik Negosiasi dan Diplomasi dalam Upaya Menyukseskan Kerjasama Internasional,” yang diadakan Asosiasi Kantor Urusan Internasional (Askui) melalui saluran daring, di Studio IT kampus Unisa Bandung, Jln. Banteng Dalam No. 6, Bandung, Selasa (29/3/2022).

Baca Juga

Seminar daring yang dibuka resmi Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang PP Muhammadiyah, Prof. DR. Edy Suandi Hamid, M.Ec., itu, diikuti para peserta dari perwakilan Kantor Urusan Internasional (KUI) di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiah (PTMA) se Indonesia dan peserta undangan dari sejumlah lembaga. Dalam sambutannya, Edy Suandi Hamid menyambut baik penyelenggaraan seminar, karena berkaitan dengan visi dan misi persyarikatan Muhammadiyah khususnya di bidang pendidikan tinggi.

“Persyarikatan Muhammadiyah memiliki 172 lembaga, yang diantaranya ada 73 universitas. Nah, tidak semua di antara kami ini memiliki keahlian berkomunikasi, berdiplomasi dan atau bernegosiasi. Karenanya, seminar nasional yang diadakan Askui ini merupakan hal yang sangat positif. Bisa mendukung pelaksanaan tugas sehari-harinya,” tutur Edy Suandi Hamid.

Menurut Edy Suandi, peran KUI yang berkolaborasi dalam Askui ini cukup penting. Alasannya, KUI PTMA diharapkan dapat melakukan kerjasama atau kemitraan di dalam negeri maupun internasional dengan berbagai pihak. Harapan senada juga dikemukakan Wakil Ketua I Askui, Dr. Saprudin, S.S., M.Hum dan Rektor Unisa Bandung, Tia Setiawati, S. Kp.,M.Kep.,Sp.An. 

Saprudin berharap, pengurus KUI PTMA memiliki sejumlah program kerja yang tujuan utamanya  menjalin kerjasama, baik di dalam negeri maupun luar negeri. “Karenanya, skill berdiplomasi dan bernegosiasi itu menjadi penting,” tutur Syafrudin.

Dalam sambutannya, Tia Setiawati mengemukakan, pelaksanaan seminar nasional terkait diplomasi dan negosiasi ini mengingatkan dengan momentum diplomasi Bandung di masa silam. “Di lembaran sejarah, di Kota Bandung sempat berlangsung Konfrensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955,” kata Tia Setiawati.

Dikemukakannya,  situasi dan kondisi dunia saat ini diwarnai berbagai peristiwa. Sikap pro dan kontra pun mengemuka tanpa dapat kita hindari. Problem yang terjadi tidak hanya di dalam negeri, tapi juga luar negeri. Persoalan dan faktor penyebabnya juga kian beragam.

Interaksi antar negara dengan berbagai kepentingan dan modus, ternyata memunculkan atmosfer politik bernuansa pertikaian. Dalam perspektif akademisi, problem Komunikasi Politik yang krusial beririsan dengan dimensi Komunikasi Sosial Budaya, Komunikasi Bisnis, Ekonomi, Hankam, Pendidikan, Kesehatan, dan bahkan Agama.

Politik “Bebas Aktif” yang dianut Indonesia, ujar Tia Setiawati, kini berhadapan dengan realita perseteruan dunia internasional, yang notabene terbagi beberapa blok. Indonesia mau tak mau mesti  bersikap dan menunjukkan kepeduliannya terhadap persoalan yang terjadi di masa kini. Eksistensi Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) maupun ASEAN dan keterikatannya secara langsung maupun tak langsung dengan sejumlah negara adi daya, jelas menuntut adanya narasi diplomasi dan negosiasi yang kualitatif.

“Saat KAA tahun 1955, heterogenitas para peserta KAA saat itu, diekspose pers cetak dan elektronik dengan membawa “pesan perdamaian”. Perbedaan pendapat dan bahkan krusialnya konflik, ternyata bisa ada solusinya melalui kepiawaian berdiplomasi dan bernegosiasi antarpeserta KAA. Dalam konteks inilah, skill diplomasi dan negosiasi merupakan kebutuhan yang urgen dan signifikan. Secara akademisi, khususnya terkait dengan Tridharma Perguruan Tinggi, tentu saat kajian persepektif Pendidikan dan Penelitian, mengemukalah tokoh diplomasi ulung antara lain Haji Agus Salim, Kasman Singodimejo, dan lainnya,” ungkap Tia Setiawati.

Menurut Tia Setiawati, narasi kepiawaian Haji Agus Salim maupun Kasman Singodimejo pada masanya itu, misalnya, patut diedukasikan kepada generasi muda selanjutnya. 

“Sungguh, forum seperti ini merupakan kesempatan yang berharga bagi para akademisi khususnya di lingkungan PTMA. Kemampuan berdiplomasi dan bernegosiasi yang kualitatif, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jatidiri serta komitmen kita dalam rangka turut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia,” katanya, seraya memberi apresiasi kepada Clemens Bektikusuma, Diplomat  Ahli Muda Direktorat Jendral Hukum & Perjanjian Internasional Kemenlu RI yang bersedia menjadi pembicara.

Dalam paparannya, Clemens Bektikusuma mengungkapkan tentang defenisi diplomasi dan negosiasi, serta berbagai faktor pendukung dan penghambatnya. Dikemukakanya, secara sederhana diplomasi dan negosiasi sebenarnya sudah terjadi dan sering dilakukan oleh para ibu rumahtangga.

“Cermati saja, ibu rumahtangga sering saat berbelanja keperluan sehari-hari melakukan komunikasi dengan penjual. Biasanya dan itu yang terjadi proses tawar-menawar berlangsung alot,” katanya

Berkaitan dengan peluang optimalisasi peran Askui dan atau pegiat di KUI PTMA, Clemens mengingatkan, bahwa negosiasi itu hendaknya dilakukan pada hal-hal yang bukan bersifat “harga mati” seperti berkaitan dengan hukum atau sikap keyakinan pihak calon mitra. Negosiasi itu bermakna kita mengambil “jalan tengah” dari beberapa opsi perbedaan pendapat atau isu atau konflik bersama.

“Prinsip utamanya adalah jika keinginan kita tidak bisa tercapai, maka tempuhlah upaya untuk memenuhi kebutuhan kita,” tutur Clemens.

Seraya memberikan analogi, Clemens mengingatkan, hendaknya saat rekan rekan KUI PTMA akan melakukan komunikasi kerjasama, maka cermatilah mekanisme negosiasi melalui surat tertulis seperti via email. Alasannya, berdasarkan pengalaman sekitar 15 tahun menjadi diplomat, negosiasi surat-menyurat itu memiliki kesulitan mengetahui aura atau mood calon mitra. 

Secara khusus untuk mensukseskan negosiasi, Clemens memberi tips kepada rekan Askui untuk bersikap fleksibel saat bernegosiasi. Alasannya, ada banyak faktor yang sering tak terduga. Selain itu, diungkapkan, perlu adanya identifikasi tentang siapa sebenarnya calon mitra yang akan dijalin kerjasamanya. 

“Intinya, sukses negosiasi itu berkaitan dengan aspek Identifikasi, Informasi, Isu dan Prioritasnya, Strategi dan Alternatif, serta Persiapan. Aspek-aspek ini perlu kita perhatikan sebelum kita berdiplomasi dan bernegosiasi, baik di dalam negeri maupun luar negeri,” kata Clemens.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement