Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ventin yurista

Menjaga Kewarasan dengan Puasa Ramadan

Lomba | Thursday, 31 Mar 2022, 12:21 WIB

Isu kesehatan mental semakin mengemuka di tengah wabah Covid-19. Berbagai tekanan hidup dirasakan semakin menjadi-jadi saat pandemi. Pada Oktober 2021, Kementerian Kesehatan menyatakan kasus gangguan jiwa dan depresi di Indonesia meningkat hingga 6,5 persen selama pandemi. Penyebabnya mayoritas karena keterbatasan sosial akibat terlalu lama diam di rumah dan kehilangan pekerjaan.

PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia) pun pernah melakukan survei terkait gangguan mental saat wabah Covid-19. Hasilnya, sebanyak 63% responden mengalami cemas dan 66% mengalami depresi akibat pandemi Covid-19. Sementara 80% responden mengalami gejala stres pascatrauma karena mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait Covid-19 (republika.co.id).

Di tengah pandemi ini, bulan Ramadan kembali menghampiri. Di bulan yang mulia ini, umat Islam diwajibkan untuk menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh. Manfaat puasa bagi kesehatan fisik sudah banyak dibahas, namun ibadah puasa ternyata juga dapat memberi pengaruh positif pada kesehatan mental.

Sebagaimana dijelaskan dr Feranindhya Agiananda SpKJ (K), puasa bisa membantu menyembuhkan kondisi mental yang mengalami masalah. Dengan berpuasa, fisik dan mental cenderung lebih stabil, sehingga mampu mempermudah penyesuaian diri akibat kesedihan atau duka yang mendalam. Saat Ramadan pula, kaum muslimin dianjurkan memperbanyak ibadah, seperti salat, zikir, dan membaca Alquran. Serangkaian ibadah tersebut akan membuat hati lebih tenang, sehingga dapat menjaga kesehatan mental (republika.co.id).

Pendapat serupa dikemukakan Prof. Dr. dr. Dadang Hawari (alm), psikiater senior Universitas Indonesia (UI). Puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi secara moral mengajarkan kita untuk berbuat baik, serta mencegah dari perbuatan mungkar. Menurut Dadang, ”Orang yang dapat mengendalikan diri itu merupakan orang yang sehat mentalnya sebab peperangan terbesar bagi manusia itu adalah perang melawan hawa nafsu."

Dalam dunia medis, puasa telah dikenal sebagai salah satu metode psikoterapi pada pasien gangguan mental. Penelitian yang dilakukan Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Grace Square, New York, juga menunjukkan adanya perbaikan kondisi mental pasien dengan terapi puasa.

Ikhwan Fuad dalam "Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Alquran dan Hadits" yang dimuat di Journal An Nafs (2016), mengungkapkan puasa dapat bermanfaat bagi aspek sosial dan psikis. Dalam aspek sosial, seseorang yang berpuasa akan ikut merasakan kelaparan yang dialami kaum papa. Rasa empati ini akan menimbulkan simpati, yang mendorongnya untuk berbagi dan membantu sesama. Dengan demikian, berpuasa dapat meningkatkan kepekaan sosial, sehingga hubungan interpersonalnya akan menjadi lebih baik. Seseorang yang senang berbagi akan merasa sebagai anggota masyarakat yang bermanfaat, dan akhirnya akan meraih ketentraman. Inilah yang disebut oleh Jamaluddin Ancok sebagai Hunger Project.

Dari sisi psikis, ibadah puasa dapat mengobati kegundahan akibat perasaan berdosa. Islam mengajarkan, janganlah seseorang berputus asa dan larut dalam kesedihan, meski sebanyak apapun dosanya. Selama hayat masih dikandung badan, Allah masih memberi kesempatan untuk bertobat dan menghapus dosanya dengan melakukan berbagai kebajikan. Puasa adalah salah satu ibadah utama yang dapat menggugurkan dosa, sebagaimana yang sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa yang menunaikan puasa ramadan dilandasi dengan iman dan ikhlas mengharap ridha Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" (HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

Nair dan Khawale dalam "Role of Therapeutic Fasting in Women's Health: An Overview" yang dirilis Journal of Mid-life Health (2016), menyatakan bahwa kaum wanita rentan terkena gangguan mental, terutama saat transisi menopause. Diperkirakan, 80-85% dari semua wanita mengalami gejala menopause yang tidak menyenangkan, seperti keringat malam, lekas marah, murung, cemas, dan ketidakstabilan emosi. Dilaporkan bahwa puasa meningkatkan self esteem, sehingga dapat mempertahankan status mental yang positif. Puasa juga terbukti mengurangi gejala kecemasan dan depresi, meningkatkan fungsi sosial, dan membantu perbaikan suasana hati.

Berbagai dampak positif puasa untuk kesehatan mental tersebut, tentunya tidak datang dengan metode instan. Puasa tidak serta merta langsung mengurangi segala gangguan psikologis. Untuk mengoptimalkan manfaat puasa demi meraih ketenangan jiwa, beberapa cara berikut bisa ditempuh.

Pertama, luruskan niat. Berpuasalah demi meraih keridhaan Allah semata, bukan karena manusia. Gangguan mental sering terjadi akibat terlalu memusingkan penilaian orang lain. Maka di momen ramadan ini, mari bersihkan niat di hati, tunaikan puasa dan ibadah lainnya semata untuk mengharap pahala.

Kedua, berpuasalah dengan meresapi esensinya. Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tapi juga untuk mengendalikan nafsu dan amarah, untuk mendekatkan diri pada Allah, serta selalu bersyukur dan bersabar atas segala ketetapanNya. Ada kalanya kita terjebak dalam rutinitas sehari-hari, sehingga lalai pada esensi ini. Agar kesadaran akan esensi puasa ini tetap terjaga, hendaknya terus memperbanyak ibadah, rutin mencari ilmu dan menghadiri kajian, serta berkumpul dengan saudara seiman agar bisa saling mengingatkan.

Ketiga, istiqamah. Setiap luka, butuh proses untuk menyembuhkannya. Jika lukanya amat dalam, tentu perlu waktu penyembuhan yang tidak sebentar. Maka, semua keluhan tersebut tidak dapat berkurang hanya dengan puasa beberapa hari saja. Karena itulah, dibutuhkan konsistensi dalam ibadah puasa ini. Akan lebih baik pula jika puasa istiqamah diamalkan setelah ramadan usai.

Meski puasa memiliki pengaruh yang baik terhadap kesehatan mental, gangguan jiwa yang berat tetap memerlukan intervensi medis. Bila seseorang mengidap depresi parah, gangguan cemas yang menimbulkan gejala fisik, atau bahkan halusinasi, sebaiknya segera memeriksakan diri ke ahli kejiwaan. Gangguan mental bukanlah aib, jangan malu atau menutup diri.

Masyarakat pun hendaknya meningkatkan kepedulian pada masalah kesehatan mental ini. Dan pemerintah diharapkan juga memberi edukasi yang benar pada masyarakat, serta menyediakan fasilitas konseling yang dapat dijangkau seluruh rakyat. Problem kesehatan mental ini adalah masalah kita bersama, perlu kerja sama berbagai pihak untuk menanganinya. Karena negara adidaya yang berperadaban gemilang, hanya bisa diwujudkan jika rakyat dapat hidup sehat, baik sehat fisik, maupun mental. Semoga ramadan kali ini, meski masih di tengah pandemi, kita senantiasa dikaruniai kesehatan jasmani dan rohani, hingga dapat meraih takwa dan menggapai keridhaan Ilahi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image