Sabtu 16 Apr 2022 02:52 WIB

Memetik Pelajaran Berharga dari Perang Rusia-Ukraina

a

Suasana laut Cina selatan (ilustrasi)
Foto: Anadolu Agency
Suasana laut Cina selatan (ilustrasi)

Oleh : Hiru Muhammad, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Tepat pada 24 Februari 2022 lalu Rusia resmi mengumumkan serangan ke Ukraina. Kabar penyerbuan Rusia ke negara tetangganya itu bukanlah suatu yang mengagetkan setelah sebelumnya negara Beruang Merah tersebut mencaplok semenanjung Krimea. Kalangan militer dan intelijen barat sudah menyampaikan berulangkali ancaman tersebut sebelumnya. Publik dunia tentunya sudah paham siapa yang akan meraih kemenangan khususnya secara militer dalam pertempuran yang tidak seimbang ini. 

Meski Ukraina telah mendapat dukungan moril dan persenjataan dari NATO, namun itu bukanlah jaminan Ukraina akan menang secara militer. Setidaknya Ukraina  mampu menahan laju pasukan Rusia yang sebelumnya memperkirakan mampu menaklukkan Ukraina dengan mudah.

Hingga kini, tidak seorangpun yang bisa memberikan gambaran akurat terkait kapan berakhirnya konflik di Eropa Timur terbesar sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2 tersebut. Barangkali hanya Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy yang tahu persis jawabannya atas konflik bersenjata yang telah meminta ribuan korban tewas dan terluka itu, akan berakhir. 

Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia di bagian Timur dan Timur laut serta Polandia, Slowakia, Rumania dan Moldova di bagian Barat dan Barat daya. Posisi Ukraina yang kini berada diantara Rusia dan beberapa negara Eropa Timur yang kini menjadi anggota pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO) itu membuatnya terjepit. Ukraina kini menjelma menjadi halaman depan bagi Rusia ketika menghadapi meningkatnya ekspansi keanggotaan NATO di Eropa Timur.

Namun, setelah pecah perang NATO tidak bisa berbuat banyak terhadap Ukraina kecuali mengirimkan bantuan senjata dan data intelijen, lantaran Ukraina belum resmi menjadi anggota NATO. Keterlibatan NATO secara langsung akan memperluas wilayah konflik di Eropa Timur, bahkan dapat menyulut terjadinya Perang Dunia ke-3. 

Ukraina yang sudah berulangkali meminta bantuan tambahan persenjataan dari NATO akhirnya tetap harus berjuang sendiri. Zelenskyy harus puas negaranya menjadi palagan bagi uji coba beragam persenjataan Rusia dan Barat agar memiliki label "battle proven" sehingga memiliki bandrol yang tinggi di pasaran. 

Indonesia yang terletak ribuan kilometer dari konflik tersebut tentunya bisa memetik pelajaran berharga. Salah satunya yang utama terkait dengan kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat. Indonesia kini tidak memiliki negara yang menjadi "ancaman" nyata secara militer. Namun, di laut Cina Selatan atau Natuna Utara ada potensi konflik besar yang bisa terjadi setiap saat. 

Konflik Cina-Taiwan dan Korsel-Korut adalah dua titik api yang dapat meletus setiap saat. Itu belum termasuk klaim nine dash line Cina yang mengejutkan beberapa negara anggota ASEAN. Adanya aliansi AUKUS antara AS, Australia dan Inggris guna menghadapi kekuatan nuklir Cina, juga menambah ketegangan di kawasan ini. Meski selama ini AS memasok berbagai persenjataan modern ke Taiwan dan Korsel, bukan jaminan mereka akan terlibat langsung bila konflik di semenanjung Korea dan Taiwan pecah.

Indonesia sendiri meski tidak bersentuhan langsung dengan konflik di atas, namun dampaknya pasti akan dirasakan. Kedekatan Indonesia dengan Prancis, Turki dan beberapa negara lainnya, terkait dengan teknologi militer, juga harus dikembangkan untuk kemandirian bangsa. Khususnya dalam pengadaan alutsista strategis.

Upaya alih teknologi dirgantara, darat dan udara sudah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera diwujudkan. Keputusan membeli 42 jet Rafale dan 36 unit F 15 ID, Hercules 130 J, kapal selam Scorpene dan puluhan kapal kombatan yang berkemampuan ocean going, sudah tepat dan harus diikuti dengan pengadaan alutsista canggih lainnya. Termasuk transfer of technology secepat mungkin. 

Konflik Rusia-Ukraina menjadi bukti, bagaimana NATO yang beranggotakan 33 negara, tidak bisa berbuat banyak di Ukraina. Bisa jadi hal serupa akan kembali terulang di laut Cina selatan dengan alasan yang sama, khawatir konflik meluas. Apalagi NATO tidak memiliki anggota di wilayah Asia Tenggara.

AS sendiri meski memiliki militer yang super power, namun untuk menghadapi lawan sekelas Rusia atau Cina tidak bisa sendiri. Beberapa sekutunya di kawasan ini seperti Jepang, Australia, India, Singapura sudah tentu akan dilibatkan secara langsung ataupun tidak. Ini tentunya akan memperburuk keadaan apabila kekuatan besar tersebut secara bersamaan terlibat konflik di laut Cina selatan dan Indonesia berada di antara mereka. Apapun yang terjadi, Indonesia harus keluar dari permasalahan ini dengan kekuatan sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement