Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dwi Nesa

Pajak dalam Pandangan Islam, Mungkinkah Terwujud?

Agama | Monday, 04 Apr 2022, 09:04 WIB
Sumber gambar: Majoor.id

Pemerintah telah memutuskan per 1 April 2022 tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 11 persen. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani kenaikan tersebut untuk menata kembali perekonomian nasional mengingat selama pandemi APBN bekerja keras dalam menjaga perekonomian nasional. Pajak yang dipungut nantinya akan kembali ke masyarakat melalui subsidi bahan bakar minyak, elpiji, dan sebagainya. Pajak juga digunakan membangun infrastruktur seperti jalan tol, jalan layang, bendungan, dan menggaji aparatur negara. (Republika.co.id, 23/3/2022)

Dari sisi masyarakat, kenaikan tarif PPN dinilai membebani karena otomatis harga barang kebutuhan akan ikut naik. Terlebih masyarakat sedang menghadapi berbagai himpitan ekonomi selama masa pandemi. Daya beli masyarakat masih sangat rendah terbukti untuk memperoleh minyak goreng murah saja antrian mengular panjang dimana-mana. Sedikit saja kenaikan harga bisa membuat keuangan masyarakat ambyar.

Di negara yang mengadopsi ekonomi kapitalisme, pajak bisa diibaratkan "nyawa". Tak ada pajak negara akan "mati" . Pajak adalah sumber pendapatan yang utama dan terbesar. Tahun 2020 pendapatan dari pajak mencapai Rp1.072,1 triliun, bea dan cukai sebesar Rp213 triliun. Sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp343,8 triliun. Jenis PNBP ini sangat beragam diantaranya penerimaan dari pengelolaan kekayaan negara, pengelolaan SDA, penerimaan dari pelayanan publik, denda administrasi, hibah, dan sebagainya.

Dari data di atas jelas terlihat pajak merupakan sumber pendapatan negara yang utama. Meskipun kekayaan alam Indonesia sangat melimpah ruah tapi tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Itulah sifat ekonomi kapitalisme, siapa yang kuat dia yang berkuasa. Siapa yang kuat diartikan sebagai pemilik modal, yaitu para korporasi swasta yang punya kekuatan dana besar. Mereka bisa menguasai kekayaan alam strategis seperti minyak bumi, batubara, tambang emas, air, tanah, dan sebagainya. Sedangkan rakyat kecil yang tidak punya modal tak mampu berbuat banyak meskipun mereka yang punya negara. Maka untuk menghidupi negara pajaklah yang jadi tulang punggungnya.

Pajak dalam khazanah fiqh Islam dikenal dengan istilah dharibah. “Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin untuk membiayai hajat dan kepentingan yang diwajibkan atas mereka dalam kondisi tiadanya dana dalam Baitul Mal (Kas Negara).” (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 135)

Pajak dalam Islam memang ada, tapi tatacara dan syarat pemungutan harus sesuai dengan hukum syara'. Wajib pajak adalah muslim dan mampu. Tidak boleh memungut pajak kepada nonmuslim dan juga muslim yang tidak mampu, karena itu merupakan kezaliman.

Pajak boleh diambil apabila di Baitul Mal tidak ada dana untuk membiayai apa yang menjadi kewajiban dua pihak sekaligus yaitu negara dan umat. Contoh kewajiban negara dan umat yaitu pembiayaan jihad; pembangunan industri senjata; nafkah fakir dan miskin; gaji tentara, pegawai negeri, guru, dan hakim; pembiayaan kondisi darurat seperti bencana alam dan invasi asing.

Sedangkan untuk kewajiban yang dibebankan kepada negara saja dan umat tidak wajib, maka negara tidak boleh memungut pajak. Contohnya membangun fasilitas umum yang ketiadaan nya tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat seperti pembangunan jalan alternatif padahal ada jalan utama. Membangun rumah sakit dan sekolah padahal sudah ada yang lainnya.

Pajak hanya boleh dipungut jika kas negara kosong atau ketika pajak yang dikumpulkan sudah cukup untuk membiayai pengeluaran wajib tadi, maka negara harus berhenti memungut pajak. Merupakan bentuk kezaliman jika negara masih memungutnya dari kaum muslimin.

Bagaimana negara bisa menciptakan ekonomi bebas pajak? Sedang dalam pandangan Islam sendiri negara berkewajiban menjamin kebutuhan primer tiap individu yaitu sandang, pangan, dan papan. Berikut fasilitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti menciptakan lapangan kerja agar penanggung jawab nafkah punya pendapatan, tersedia air bersih, minyak/elpiji, dan bahan kebutuhan pokok lainnya yang mampu diakses oleh tiap-tiap individu.

Selain itu negara juga berkewajiban menjamin kebutuhan dasar masyarakat yaitu keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Berikut fasilitas penunjangnya seperti rumah sakit, dan gedung sekolah. Negara wajib menyediakannya secara adil tanpa ada diskriminasi baik itu kepada muslim maupun nonmuslim, kaya ataupun miskin. Semua kebutuhan tersebut tentu membutuhkan biaya yang besar. Maka negara harus mencari sumber pendapatan lain. Dalam APBN Islam pendapatan memiliki tiga sumber yaitu pendapatan tetap (fa'i, ghanimah, jizyah, kharaj, zakat, dan khumus rikaz), pendapatan tidak rutin (dharibah), dan penerimaan lainnya (misal penerimaan dari hasil pengelolaan kepemilikan umum).

Dalam Islam kepemilikan umum merupakan harta yang harus dikuasai sendiri oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Swasta boleh ikut serta sebagai mitra saja bukan sebagai penguasa utama. Jika hasil alam yang dianugerahkan Allah Swt ini diatur sebagaimana Islam memerintahkannya, pastilah bisa membawa kesejahteraan umat. Sebagai contoh Gunung Grasberg yang dikuasai PT Freeport saat ini bisa menghasilkan 240.000 gram emas per hari pada tahun 2019. Harga emas Antam pada waktu itu sebesar Rp 762.000/gram. Jika dikalikan hasilnya Rp 182.880.000.000/hari. Dalam satu tahun berarti jumlah itu dikalikan 365 hari hasilnya Rp 66.751 triliyun/tahun. Jumlah ini memang hasil produksi kotor belum dikurangi berbagai biaya produksi dan biaya operasional.

Itu masih salah satu contoh saja belum memperhitungkan SDA yang lain dari hasil batubara, tembaga, minyak bumi, perikanan, kehutanan, perkebunan, dan sebagainya. Pastilah sangat mampu negara ini membiayai semua kebutuhannya.

Lalu bagaimana peluang penerapan pajak sesuai syara'? Tentu peluang itu terbuka lebar. Hanya jika kita mau beralih menggunakan sistem ekonomi Islam. Negara sebagai penanggungjawab umat harus terus digelorakan. Bukan negara sebagai regulator saja dan membiarkan rakyat berhadap-hadapan langsung dengan para kapital. Wallahu’alam bi showab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image