Selasa 05 Apr 2022 12:53 WIB

Bank Dunia Turunkan Proyeksi Ekonomi RI Jadi 5,1 Persen

Bank Dunia menilai eksportir komoditas seperti Indonesia dapat meredam kenaikan harga

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021.
Foto: Republika/Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021, di tengah perang Rusia dan Ukraina. Angka tersebut masih sedikit lebih tinggi dari perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik yang sebesar lima persen.

"Beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia tidak terlalu rentan terhadap kenaikan harga komoditas akibat perang yang berlangsung ," ujar Kepala Ekonom Bank Dunia Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo dalam media briefing yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (5/4/2022).

Baca Juga

China, Indonesia, dan Vietnam telah berhasil melampaui level output pra-pandemi saat ini, sedangkan Kamboja, Malaysia, Mongolia, Filipina, dan Thailand diperkirakan baru bisa melakukannya pada tahun 2022. Ia mengungkapkan berbagai guncangan yang berasal dari perang di Ukraina serta sanksi-sanksi terkait dapat memberikan pengaruh yang paling konkret terhadap kawasan Asia Timur dan Pasifik berupa gangguan pasokan komoditas maupun peningkatan tekanan pada sektor keuangan, serta penurunan kepercayaan global.

Ketergantungan langsung kawasan Asia Timur dan Pasifik pada Rusia dan Ukraina melalui impor dan ekspor barang, jasa, dan modal memang masih terbatas, tetapi perang dan sanksi-sanksinya kemungkinan akan menaikkan harga pangan dan bahan bakar di skala internasional sehingga merugikan konsumen dan pertumbuhan.

Namun demikian, lanjut Aaditya, beberapa negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik masih lebih tangguh dibandingkan dengan yang lainnya dalam menghadapi guncangan karena memiliki sejarah sifat kehati-hatian.

Negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia dan Malaysia dapat meredam kenaikan harga internasional dengan lebih mudah daripada negara-negara pengimpor komoditas, seperti Fiji dan Thailand. Maka dari itu, ia pun menyarankan agar pemerintah di negara-negara Asia Timur dan Pasifik bisa merekonsiliasi kebutuhan belanja dengan keterbatasan anggaran yang semakin ketat melalui komitmen untuk memulihkan disiplin fiskal melalui penerapan kembali aturan-aturan fiskal, sebagaimana yang sudah direncanakan untuk dilaksanakan Indonesia pada tahun 2023.

Pemerintahan di kawasan juga perlu melakukan reformasi fiskal melalui penetapan peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan berdasarkan langkah-langkah pemulihan yang obyektif.Misalnya, peraturan perundang-undangan reformasi perpajakan baru di Indonesia yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan sebesar 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) dalam jangka menengah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement