Senin 11 Apr 2022 01:26 WIB

Studi Sebut AS dan Eropa Bertanggungjawab Atas Kepunahan Ekologi Global.

Diperlukan penghematan sumber daya 70 persen oleh negara kaya untuk komitmen iklim.

Seekor babi kutil (Sus verrucosus) berada di penangkaran Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, Selasa (15/1/2022). Babi kutil merupakan endemik Jawa yang peranya sangat penting dalam mengolah tanah dan menyebarkan benih tumbuhan di hutan itu, saat ini terancam punah karena selain perburuan oleh manusia dan habitatnya terus berkurang juga tingkat kehamilan yang rendah.
Foto: ANTARA/Budi Candra Setya/hp.
Seekor babi kutil (Sus verrucosus) berada di penangkaran Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, Selasa (15/1/2022). Babi kutil merupakan endemik Jawa yang peranya sangat penting dalam mengolah tanah dan menyebarkan benih tumbuhan di hutan itu, saat ini terancam punah karena selain perburuan oleh manusia dan habitatnya terus berkurang juga tingkat kehamilan yang rendah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah riset ilmiah untuk pertama kalinya mengukur kerusakan lingkungan yang dipicu oleh konsumsi sumber daya di 160 negara dalam 50 tahun terakhir. Hasilnya, AS dan Eropa bertanggungjawab atas kepunahan ekologi global.

Diperlukan penghematan sumber daya sebanyak 70 persen oleh negara-negara kaya untuk mencapai komitmen iklim global. Demikian kesimpulan sebuah riset yang digalang Institut Sains Lingkungan dan Teknologi (ICTA-UAB) di Barcelona, Spanyol dan dirilis di jurnal ilmiah, The Lancet for Planetary Science. 

Baca Juga

Studi itu mengukur kerusakan lingkungan yang tercipta oleh ekstraksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi sumber daya alam di 160 negara di dunia, antara 1970 hingga 2017. Faktor yang diperhitungkan mencakup alih fungsi hutan atau pembukaan lahan untuk keperluan produksi.

Amerika Serikat tercatat sebagai sumber kerusakan terbesar, karena bertanggungjawab atas 27 persen konsumsi material berlebihan di dunia selama 50 tahun terakhir. Adapun Uni Eropa berada di urutan kedua dengan 25 persen.

China saat ini bertanggungjawab atas sekitar 15 persen pemborosan sumber daya. Sementara negara-negara miskin dan berkembang di belahan Bumi selatan mewakili hanya 8 persen dari total konsumsi material berlebihan di seluruh dunia.

Antara 1970 dan 2017, dunia menambang dan mengolah sekitar 2,5 triliun ton material dari alam. Dari jumlah tersebut, sebanyak sebanyak 1,1 triliun ton material melampaui kapasitas maksimal regenerasi alami Bumi.

Konsumsi material berlebihan memuncak pada angka 90 miliar ton pada 2017, ketika batas kapasitas regenerasi Bumi berkisar hanya 50 miliar ton per tahun.

Dosa iklim negara industri

Amerika Serikat tercatat menggunakan delapan ton material per individu sejak 1870. Angka ini meningkat pesat pada pertengahan abad ke-20. Di awal penghitungan pada tahun 1970, setiap warga AS tercatat mengkonsumsi 29 ton material per tahun. 

Menurut ilmuwan, sebagian besar konsumsi material berlebihan berasal dari pembangunan infrastruktur.

"Kita bisa mengasumsikan bahwa Inggris, Uni Eropa dan negara-negara kaya lain mengikuti pertumbuhan serupa dalam periode yang sama,” tulis ilmuwan dalam studinya. 

Jika diukur berdasarkan konsumsi per kapita, Australia menempati posisi tertinggi, dengan angka konsumsi berlebihan mencapai nyaris 30 ton. Adapun Kanada dan Amerika Serikat menyusul dengan masing-masing 25,8 dan 23,4 ton konsumsi material per kepala per tahun.

Mengingat utang ekologis yang besar, negara-negara kaya didesak agar mulai meninggalkan konsep pertumbuhan ekonomi tanpa batas, dan sebaliknya fokus meningkatkan pemerataan dan mengatasi kesenjangan ekonomi. 

"Negara-negara ini harus mencontohkan bagaimana melakukan pemangkasan radikal dalam konsumsi sumber daya untuk mencegah kerusakan lanjutan,” tulis ilmuwan dalam hasil studi yang digagas ICTA-UAB itu. "Dan ini membutuhkan pendekatan ekonomi negatif atau degrowth,” untuk mengembalikan keseimbangan ekologis. 

 

sumber: https://www.dw.com/id/studi-negara-kaya-harus-pangkas-70-konsumsi-sumber-daya-demi-iklim/a-61408362

sumber : DW
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement