Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fathin Robbani Sukmana

Madrasah, RUU Sindiknas, dan Kecerdasan di Era Digital

Eduaksi | Sunday, 10 Apr 2022, 07:50 WIB
Ilustrasi Pembelajaran di Madrasah || Sumber : Republika

Kata “Madrasah” akhir-akhir ini sempat viral karena dugaan dihilangkannya kata tersebut dalam RUU Sindiknas yang sedang dibahas oleh komisi X DPR RI. Berbagai macam respons membuat dunia yang sementara ini gaduh.

Hiruk-pikuk dalam pembahasan RUU Sindiknas yang diusulkan oleh DPR RI, DPD dan juga Pemerintah ini sempat menguat di permukaan media sosial. Pelbagai bukti bahwa kata madrasah dihilangkan terus dikirim ke permukaan.

Semua berkomentar, madrasah tidak boleh dihilangkan dalam RUU Sindiknas yang sedang dibahas. Dari politisi hingga organisasi keagamaan menganggap bahwa kata madrasah tidak boleh hilang dari satuan pendidikan.

Memang, secara sejarah Madrasah tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pendidikan di Indonesia. Apalagi jika dihilangkan dari satuan pendidikan yang regulasinya sedang dibahas oleh para wakil rakyat.

Menurut saya, jika kata madrasah sampai hilang tentu generasi yang akan datang akan melupakan sejarah tentang madrasah, bahkan mungkin saja sejarah-sejarah tentang madrasah dihapuskan jika dalam regulasi utama saja diksi madrasah dihilangkan.

Sejarah Madrasah

Madrasah, pada awalnya adalah kelas klasikal yang muncul pada awal abad ke 20. Kombinasi antara lembaga Islam yaitu pesantren dengan pendidikan modern. Sehingga pada masa itu Madrasah sekolah Islam yang memiliki kelas dan bangku.

Jika kita ingat film Sang Pencerah, di Mana “Mbah” Dahlan mendirikan madrasah untuk anak-anak di sekitar kauman. Walau awalnya ditentang oleh beberapa Kyai karena dianggap produk “kafir”. Mbah Dahlan sukses dalam mendirikan madrasah dan mentransfer ilmu pada anak-anak di kauman.

Wahana mengenyam pendidikan merupakan arti kata Madrasah yang berasal dari Bahasa Arab. Madrasah pertama di Indonesia adalah Madrasah Adabiyah yang ada di Minangkabau pada tahun 1909.

Berkembangnya madrasah di Indonesia adalah banyak alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang setelah lulus membawa sistem pendidikan yang diprakarsai oleh Muhammad Abduh, dampaknya adalah banyak Madrasah yang muncul di Indonesia.

Dalam penyetaraan Madrasah sejajar dengan sekolah umum dalam standar kelulusannya. Diawali dengan keluarnya SK 3 Menteri yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri dalam negeri pada tahun 1975.

Bahkan perjalanan madrasah hingga saat ini sangat berkembang pesat. Tidak sedikit alumninya yang banyak menjadi mahasiswa di luar negeri, tokoh-tokoh pun banyak lahir dari rahim madrasah Islamiyah dari berbagai organisasi keagamaan.

Bergesernya Prasangka Soal Madrasah

Dengan sejarah panjang dan prestasi gemilang. Tentunya tidak sedikit isu-isu miring tentang madrasah yang beredar di kalangan masyarakat. Bahkan madrasah swasta lebih banyak diberikan label-label yang menurut saya kurang tepat.

Misalnya saja, madrasah sebagai “sekolah buangan” tempat menampung orang-orang yang tidak lolos di negeri atau bahkan orang yang tidak naik kelas serta gagal lulus dari sekolah sebelumnya yang mereka duduki.

Prasangka masyarakat tentang madrasah lebih ke arah sekolah “anak nakal” yang isinya anak-anak yang dianggap memiliki masa depan suram. Selain itu, madrasah juga dikenal sebagai sekolah mahal yang sulit dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

Lalu, masyarakat banyak yang berharap ke madrasah agar anak-anaknya masuk ke madrasah dengan kegelapan dan lulus menjadi terang benderang. Agak absurd memang tapi itu terjadi di beberapa daerah Indonesia.

Laboratorium Kecerdasan di Era Digital

Namun, pergeseran Prasangka tentang Madrasah mulai surut. Karena tidak sedikit lulusan madrasah atau bahkan ketika menjadi siswa sudah banyak menorehkan prestasi di Indonesia ataupun Mancanegara.

Jika kita mengetik di mesin pencari tentang prestasi madrasah. Makan banyak sekali muncul contoh prestasi madrasah. Baik dari segi akademik, maupun akademik yang tentunya membanggakan bagi setiap orang tua.

Saya berpendapat bahwa, momentum pergeseran prasangka dan juga penyusunan RUU Sindiknas adalah waktu yang tepat untuk memperkuat madrasah dalam mencetak warga negara yang cerdas di era digital.

Kita sudah melihat, Mas Menteri Nadiem Makarim mengatakan bahwa nomenklatur Madrasah akan tetap ada dalam RUU Sindiknas. Serta menjawab dugaan-dugaan kata Madrasah dihapuskan dari RUU Sindiknas.

Momentum ini, tentu harus dimotori dengan gagasan-gagasan agar Madrasah bisa bertransformasi di era digital. Tidak ada lagi prasangka yang tidak enak tentang madrasah ini. Tentu perlu dukungan banyak pihak pula.

Saya menyebut madrasah sebagai laboratorium kecerdasan, di mana ilmu agama dan ilmu dunia seimbang diajarkan di sana. Sehingga kecerdasan yang muncul bukan hanya IQ, tetapi SQ dan EQ juga menjadi unggulan dalam madrasah.

Salam damai

Fathin Robbani Sukmana, Penulis

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image