Ahad 10 Apr 2022 18:44 WIB

Kondisi Sungai Serayu Banyumas Masih Kritis

Bakteri menggunakan oksigen untuk menguraikan bahan organik di perairan.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Muhammad Fakhruddin
Kondisi Sungai Serayu Banyumas Masih Kritis (ilustrasi).
Foto: ROL/Fakhtar Khairon Lubis
Kondisi Sungai Serayu Banyumas Masih Kritis (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,BANYUMAS -- Kondisi air di Sungai Serayu, Kabupaten Banyumas, masih tercemar oleh lumpur yang berasal dari Bendungan Mrica Banjarnegara. Sejak sepekan terakhir, sungai tersebut sempat dipadati oleh lumpur yang mengakibatkan matinya ribuan ikan.

Hasil Laboratorium Produktivitas perairan dan kualitas air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman (FPIK Unsoed) menemukan bahwa parameter kualitas air hampir semuanya di atas ambang baku mutu, seperti amoniak dan padatan tersuspensi total (lumpur). Sedangkan untuk parameter oksigen terlarut justru kurang.

Baca Juga

Ahli Pencemaran Perairan Unsoed, Dr. Nuning Vita Hidayati memaparkan, untuk parameter DO (oksigen terlarut) seharusnya memiliki nilai ideal di atas 4 ppm untuk ikan. Akan tetapi, hasil pengukuran menunjukkan nilainya kurang dari 2 ppm. Artinya, ikan juga kekurangan oksigen, yang semakin mempercepat efek kematian ikan.

"Menjadi penjelasan logis kenapa ikan-ikan pada mabuk dan mati," ujar Dr. Nuning kepada Republika, Ahad (10/4/2022).

Oksigen rendah biasanya karena oksigen di air dimanfaatkan oleh organisme dan juga bakteri. Bakteri menggunakan oksigen untuk menguraikan bahan organik di perairan. Dalam kasus sungai serayu, kandungan bahan organik yang masuk sangat tinggi, diindikasikan dengan nilai COD yang tinggi. Otomatis pemanfaatan oksigen tinggi. Ini yang menyebabkan deplesi/kekurangan oksigen di air.

Padahal, oksigen bisa masuk ke air, salah satunya melalui difusi langsung dari udara yang tercipta biasanya melalui percikan air. Kondisi geohidrologi Sungai Serayu sangat memungkinkan untuk hal ini. Selain itu, yang terbesar adalah melalui proses fotosintesis.

Menurut Dr. Nuning, asalkan total padatan tersuspensi (dalam hal ini lumpur) sudah kembali normal sehingga air kembali jernih, akan memungkinkan proses fotosintesis normal lagi dan oksigen akan kembali normal.

"Makanya ini kita pantau terus, TSS dan COD-nya harus dibawah 50 ppm. Tapi saat ini masih ratusan ppm," kata Dr. Nuning.

Sementara itu pemerhati lingkungan Sungai Serayu, Edy Wahono menjelaskan bahwa dampak yang terjadi karena pengurasan lumpur dari Bendungan Mrica Banjarnegara adalah kerusakan ekosistem yang mengisyaratkan Sungai Serayu dalam kondisi kritis.

Serayu adalah Sungai Strategis Nasional yang kewenangannya berada di bawah pemerintah Pusat dalam hal ini diwakili oleh Balai besar Wilayah Sungai Serayu Opak.

"Ganti rugi atau sangsi administrasi tidak akan berimbang dengan akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan PT Indonesia Power. Pemulihan membutuhkan waktu yang cukup lama," ujar Eddy Wahono.

Menurutnya untuk pemulihan dibutuhkan konsistensi PT Indonesia Power untuk tidak melakukan pembuangan lumpur kembali. IIa mengkritisi pihak Indonesia Power yang tidak mengantisipasi kemungkinan pencemaran tersebut.

Apalagi selain merusak lingkungan, ini juga berpengaruh kepada ekonomi perairan. Eddy mengungkapkan, saat ribuan ikan mati dan dipanen oleh warga, setiap warga bisa mendapatkan sebanyak 50 kg ikan. Hal ini membuat harga ikan turun drastis dari Rp 50 ribu per kg menjadi jadi Rp 20 ribu per kg.

Bahkan ikan sidat yang merupakan endemik Sungai Serayu banyak ditemukan. Padahal, ikan tersebut sangat sulit dipancing. "Sidat endemik serayu mulai diburu karena harganya mahal dan karena memang paling sulit dipancing, tapi kemarin mati terdampar," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement