Ramadhan Momentum Mengasah Empati

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko

Jumat 15 Apr 2022 07:20 WIB

Ilustrasi Ramadhan dan Kedamaian Foto: Republika/Thoudy Badai Ilustrasi Ramadhan dan Kedamaian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendekiawan Muslim Muhammadiyah, Sukidi mengatakan, puasa Ramadhan merupakan ibadah yang sangat istimewa bagi umat Islam. Keistimewaannya terletak pada cara Tuhan menyapa hamba-hamba-Nya dengan panggilan khusus untuk berpuasa.

Menurut dia, Ramadhan menjadi momentum bagi umat Muslim untuk mengasah empati dan rasa kepedulian sosial. Lebih penting lagi, kata dia, ibadah puasa selama sebulan itu menyegarkan kembali arti kemanusiaan sejati seseorang, sebab kewajiban menahan rasa lapar dan dahaga sepanjang hari membuatnya mampu berempati pada penderitaan sesamanya.

Baca Juga

“Dari sana, lahir pelajaran moral tentang bagaimana kita memberikan empati kepada mereka yang setiap hari merasakan lapar dan dahaga,” ujar Sukidi kepada Republika.co.id melalui pesan elektronik, Jumat (15/4).

Dia pun menegaskan, empati dan kepekaan terhadap pengalaman kemanusiaan tersebut bisa diraih karena ritual puasa memberikan arah yang jelas kepada setiap warga untuk mampu bersimpati terhadap setiap kondisi buruk yang dirasakan orang lain. Hal tersebut karena prinsip utama yang harus dipegang bersama bahwa hakikat kemanusiaan itu adalah satu dan setara.

Menurut Sukidi, prinsip kesetaraan tersebut dinyatakan dengan sangat tegas dalam Alquran dan konstitusi Indonesia, bahwa kemanusiaan yang satu dan setara itu menerabas batas-batas agama, suku, etnis, tetapi diikat oleh persatuan yang didasarkan pada harkat dan martabat manusia.

“Karena itu, hikmah Ramadhan ialah menumbuhkan kesadaran kemanusiaan agar kita lebih empati kepada mereka yang tidak seberuntung kita,” kata Doktor Kajian Islam dari Harvard University Amerika Serikat ini.

Sukidi melanjutkan, Ramadhan sejatinya menjadi momentum bagi umat Islam untuk menumbuhkan etika belas kasih yang lahir dari kesadaran bahwa kehadiran Tuhan harus dimaknai sebagai Rahman (God of Compassion) dan Rahim (God of Merciful).

“Dua kata kunci ini mestinya menyadarkan kita untuk memberikan sikap belas kasih kepada sesama, bukan karena kita kasihan, tetapi karena panggilan ketuhanan untuk berbelas kasih kepada sesama,” jelas dia.

Sukidi berharap, umat Islam mampu meneladani spirit yang diemban Nabi Muhammad, terutama menjadikannya inspirasi dan role model dalam bergaul, sebab beliau diutus untuk memberikan rahmat kepada semua umat manusia. Karena itu, kata dia, dalam konteks hidup bersama umat Islam harus tampil sebagai golongan yang memberikan kasih sayang kepada segenap insan apa pun latar belakang agama, suku, etnis, dan budayanya.

Menurut Sukidi, model Islam seperti itulah yang mestinya dijunjung tinggi, digelorakan, dan disebarkan. Sebab, watak Islam sejatinya ialah bersikap inklusif dan universal. “Inklusif artinya terbuka kepada semua umat manusia, memberikan keteduhan, kenyamanan, dan spirit yang semua orang merasa mendapat kasih sayang dari keberislaman kita,” kata Sukidi.