Ahad 17 Apr 2022 21:20 WIB

3 Tingkatan Orang Puasa Menurut Imam Al Ghazali, Mana Paling Istimewa?

Tingkatan orang berpuasa berbeda antara satu Muslim dan lainnya

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi Ramadhan. Tingkatan orang berpuasa berbeda antara satu Muslim dan lainnya
Foto: Pixabay
Ilustrasi Ramadhan. Tingkatan orang berpuasa berbeda antara satu Muslim dan lainnya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Tingkatan orang berpuasa tidaklah sama. Ada tingkatan mulai dari yang terendah sampai tertinggi. Masing-masing pun mempunyai implikasi hukum yang berbeda-beda.

KH Jeje Zaenudin menyampaikan tingkatan puasa menurut Imam Al Ghazali. Menurutnya, ketika menyingkap rahasia-rahasia puasa, Imam Al Ghazali di dalam Kitabnya lhya'ulumiddin, mengawali uraiannya dengan mengemukakan tiga tingkatan orang-orang yang berpuasa.

Baca Juga

"Beliau mengklasifikasikan orang-orang yang berpuasa kepada tiga tingkatan. Shaum al-'umum, shaum al-khushush, dan shaum khawas al-khawash," tulis KH Jeje Zaenudin dalam bukunya "Seputar Masalah Puasa, Itikaf, Lailatul Qadar dan Itikaf."

Shaum al 'umum adalah puasa keumuman manusia. Yaitu puasa yang baru pada tahapan menghentikan makan, minum, dan jima dari terbit mata hari sampai terbenamnya. Inilah puasa tingkatan pertama yang merupakan pelatihan dasar bagi setiap orang untuk mengendalikan syahwat makan dan seksualnya.

 

"Meskipun pada tahapan ini puasa telah sampai pada kategori sah karena telah terpenuhi rukun dan syarat lahiriahnya," katanya.

Akan tetapi sangat rentan dengan pembatalan nilai-nilainya, karena masih terbuka pintu kerusakan pahala puasa dengan keburukan anggota badan dan akal pikirannya. 

Orang-orang yang berpuasa tetapi masih berkata bohong, mengumpat, mengambil hak orang lain, berpikir yang buruk, riya, iri hati dan dendam kesumat, adalah orang-orang yang berpuasa pada tingkatan kelas umum ini. 

Inilah di antara makna peringatan sabda Nabi Muhammad SAW, seperti yang diriwayatkan oleh lmam Bukhari dan Muslim: 

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang dusta, tindakan yang jahil, melainkan dia melakukannya, maka Allah tidak berkepentingan kepada puasanya orang tersebut.”

Kiai Jeje menjelaskan, sementar itu shaum al-khushush adalah puasanya orang-orang yang sudah sampai derajal istimewa, di mana puasa tidak lagi hanya mengendalikan keburukan syahwat perut dan kemaluan, melainkan telah mengendalikan dan mengontrol semua perilaku badan dan terutama panca inderanya.

Matanya sudah dikendalikan dari melihat tontonan dan pemandangan yang sia-sia apalagi yang haram.

"Lisannya sudah dikendalikan dari mengatakan ucapan-ucapan yang sia-sia apalagi yang haram seperti bersaksi palsu, memfitnah, mengumpat, berdusta, mengado domba, memaki dan mencela orang," katanya.

Dan juga telinganya telah dipelihara dari mendengarkan perkataan yang sia-sia apalagi perkataan yang haram. Dan seluruh anggota badannya dikendalikan dari tindakan dan perbuatan yang sia-sia. "Puasa (shaum) semacam ini layak dikategorikan sebagai puasanya orang-orang saleh," katanya.

Sementara itu, shaum al-khushush al-khushush, yaitu puasanya orang-orang yang paling istimewa, best of the best. Mereka berpuasa bukan sekadar menahan syahawat perut dan farji, melainkan juga sudah menahan dan mengendalikan seluruh anggota badan dan panca indera dari segala perbuatan sia-sia dan haram.

"Lebih dari itu, puasanya orang-orang yang paling istimewa ini telah mengendalikan dan mengarahkan segenap potensi hati dan akalnya fokus kepada zikir dan pikir yang baik, yaitu berzikir mengingat keagungan Allah dan berpikir merenung keajaiban ciptaan-ciptaan-Nya," katanya.

Puasa pada derajat ini adalah puasa yang paripuna, di mana dari mulai perut dan kemaluan, semua anggota badan, panca indera sampai kepada pikiran dan perasaan telah berpuasa. Dikendalikan, dikontrol dan dikonsentrasikan hanya kepada satu objek, yaitu kepada Allah SWT.

Derajat puasa seperti inilah maqam (tingkatan) puasanya para nabi dan para kekasih Allah SWT, di mana tingkatan spiritual seorang hamba yang berpuasa sudah mendekat kepada derajat sifat-sifat kemalaikatan dan telah jauh dari sifat sifat kehewanan apalagi sifat-sifat kesetanan.

"Puasa seperti inilah yang pasti menjamin dekatnya manusia kepada Allah SWT dan terkabulnya setiap permohonan," katanya.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement