Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aniyatul Ain

Menilik Arah Perjuangan Mahasiswa

Politik | Tuesday, 26 Apr 2022, 09:10 WIB

Oleh: Aniyatul Ain (Pegiat Literasi)

Energik, punya daya juang, agent of change, harapan bangsa, itulah berbagai karakter yang melekat kuat di tubuh mahasiswa. Mahasiswa memang tumpuan harapan masyarakat. Di pundaknyalah perubahan itu menjadi keniscayaan. Terlebih jika kezaliman, ketidakadilan, merajalela di negeri ini, maka hadirnya mahasiswa yang punya semangat juang tinggi menjadi titik cerah harapan masyarakat.

Mahasiswa yang selama ini dipertanyakan perannya, pada Senin (11/4) menunjukkan jati dirinya. Gabungan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengadakan aksi massa besar-besaran di Gedung DPR RI, Jakarta. Aksi unjuk rasa mahasiswa yang awalnya direncanakan di depan Istana Negara beralih tempat ke Gedung DPR RI. Tidak hanya di Jakarta, aksi unjuk rasa gabungan mahasiswa seluruh Indonesia pun tersebar di beberapa kota sebagai berikut: di Samarinda, Makasar, Palembang, Semarang, Kendari, juga di Bogor.

Kaharudin, sebagai Koordinator Pusat BEM SI mengatakan, ada enam tuntutan yang disuarakan pada aksi 11 April 2022. Tuntutan itu antara lain: Pertama, menuntut Presiden bersikap tegas menolak dan memberi pernyataan sikap terhadap penundaan pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode. Kedua, menuntut dan mendesak Presiden untuk menunda dan mengkaji ulang UU IKN termasuk pasal-pasal yang bermasalah serta dampak yang ditimbulkannya. Ketiga, mendesak pemerintah menstabilkan harga dan ketersediaan bahan pokok di masyarakat. Keempat, mengharapkan Presiden mengusut tuntas mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menteri terkait. Kelima, menuntut penyelesaian konflik agraria. Keenam, meminta Presiden dan Wapres berkomitmen penuh dalam menuntaskan janji kampanye di sisa masa jabatannya.

Enam tuntutan aksi mahasiswa pada 11 April lalu memang patut disuarakan. Pasalnya, negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Terombang-ambing dengan gejolak masyarakat yang tak kunjung padam. Beban hidup masyarakat makin berat karena kebijakan penguasa yang masih berpihak kepada para kapital (pemilik modal). Lihatlah, baru di era sekarang minyak goreng sampai langka. Padahal produksi sawit di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Masyarakat juga dihadapkan pada kenaikan PPN 11%, BBM, juga harga-harga sembako yang ikut melangit. Sebelum pandemi, ekonomi masyarakat belum stabil. Ketika pandemi, semua sektor terpukul dan lesu. Berharap pandemi melandai, agar masyarakat bisa memperbaiki nasib hidup, yang ada semua kebutuhan serba naik harganya. Beginilah kondisi masyarakat yang diatur oleh pandangan hidup (ideologi) kapitalistik. Negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), tetapi kondisi masyarakatnya masih serba sulit dan jauh dari kata sejahtera. Hal ini terjadi karena kekeliruan dalam tata kelola perekonomiannya. Yakni mengadopsi ekonomi kapitalistik yang lahir dari rahim ideologi kapitalisme-liberalisme.

Belum lagi utang negara yang membengkak hingga ribuan trilyun, tetapi “ngotot” untuk membangun ibukota baru dinilai masyarakat sebagai kebijakan yang tidak bijak. Karena masyarakat tidak butuh itu. Masyarakat hanya menginginkan semua kebutuhan mereka didapatkan dengan mudah. Baik itu sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, pendidikan, dll. Oleh karenanya, hadirnya mahasiswa turun ke jalan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat, ibarat oase di tengah gurun pasir. Masyarakat begitu berharap adanya perubahan. Perubahan kondisi yang berpihak pada wong cilik.

Hanya saja, impian masyarakat yang merasa dibela akan nasibnya, berujung pada aksi anarkisme mahasiswa. Alih-alih didengar aspirasi mereka, yang ada justru opini publik memusat pada tindak anarkisme. Publik digiring konsentrasinya pada sikap mahasiswa yang mudah tersulut dan terprovokasi, bukan fokus pada enam tuntutan aksi. Tentu sangat disayangkan. Perjuangan membela rakyat kecil terkesan “ditunggangi” dan dibelokkan arahnya. Sehingga tuntutan aksi mahasiswa terkaburkan dan media pun ramai memberitakan tindak kekerasan mahasiswa, ketimbang perubahan yang diharapkan masyarakat.

Dalam sejarah umat manusia, perubahan itu terjadi ketika pemuda ikut andil di dalamnya. Semangat juang mereka mampu mendobrak batas-batas yang mengekang hidup manusia. Kehidupan masyarakat di negeri ini terkekang, terbelenggu, oleh kemiskinan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan. Ibarat ayam yang mati di lumbung padi, kondisi masyarakat pun demikian. Kesulitan hidup, kemiskinan, di atas hamparan kekayaan alam. Kondisi demikian, sangat berbeda dengan para kapital dan elit oligarki yang bergelimang kekayaan dan fasilitas hidup. Bagai bumi dan langit, jurang kesenjangan di alam kapitalisme begitu nyata. Tentu hal ini sangat memprihatinkan.

Kondisi ini terjadi tidak lain karena kita mengadopsi pandangan hidup kapitalisme-liberalisme, yang jauh dari tuntunan Islam. Termasuk di dalamnya ekonomi. Dalam Islam, sumber daya alam yang melimpah di negeri ini tidak boleh dikuasai oleh swasta, harus dikelola negara dan dikembalikan hasil pengelolaannya untuk sebesar-besarnya kebutuhan masyarakat. Hal ini karena sumber daya alam itu termasuk kategori kepemilikan umum, milik rakyat. Bukan milik segelintir orang. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang (hutan) dan api.” (HR. Abu Dawud).

Kepemimpinan dalam Islam juga dimaknai sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan penguasa akan dimintai pertanggung-jawaban di hadapan Allah kelak atas apa yang diurusnya. Tidak seperti di dalam ideologi kapitalisme-liberalisme, kepemimpinan dengan menggunakan demokrasi sebagai platform kepemimpinannya, menjadikan kekuasaan adalah alat untuk memperkaya diri, kelompok, juga partainya. Pada saat kontestasi pemilihan pemimpin, para sponsorship dan donatur (baik dari dalam negeri maupun asing) mengorbitkan seseorang untuk maju di panggung kekuasaan (tentu dengan deal-deal politik). Setelah terpilih, yang diorbitkan tadi akan bekerja sesuai pesanan para donatur. Memuluskan berbagai kepentingan mereka. Adapun rakyat? Mereka dirangkul dan didekati hanya ketika masa kampanye, untuk diambil suaranya saja. Selebihnya, penguasa yang telah diorbitkan tadi akan mengabdi kepada para donatur kontestasi! Hal inilah yang menjadikan negeri ini sulit berdaulat dan mandiri. Hal ini pula yang menjadikan korupsi sulit diberantas karena biaya politik yang tinggi ketika kontestasi.

Tentu berbeda kepemimpinan dalam Islam. Penguasa sebagai pengurus rakyat, ia dipilih oleh rakyat untuk menjalankan hukum-hukum sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan menjalankan hukum permintaan elit oligarki/donatur kontestasi. Pemimpin di dalam Islam kedua kakinya tertawan di dua tempat, satu kaki tertawan di surga, satu kaki tertawan di neraka. Tergantung bagaimana pemimpin tadi ketika berkuasa. Jika selama berkuasa mereka tetap taat kepada Allah, menerapkan hukum-hukumnya, memerhatikan dan memudahkan urusan rakyatnya, tidak menzalimi rakyatnya, juga adil dalam setiap kebijakannya, maka kakinya akan dengan mudah melangkah ke surga. Namun, jika pemimpin tadi ketika berkuasa meninggalkan hukum Allah malah beralih kepada hukum buatan manusia, menyusahkan rakyat, menzalimi rakyat, tidak adil kepada rakyat, maka kakinya akan menyeretnya ke neraka. Demikianlah kepemimpinan dalam Islam. Berdimensi dunia, juga akhirat! Tidak ada pemisahan diantara keduanya. Karena dalam Islam, dunia adalah tempat mengumpulkan bekal untuk pulang ke negeri akhirat.

Oleh karenanya, jika ingin menginginkan perubahan yang hakiki, maka tidak cukup hanya menuntut perubahan rezim/pemimpin/individu. Tetapi juga butuh kepada perubahan sistem. Tentu sistem yang dimaksud di sini adalah sistem Islam, bukan sistem kapitalisme-liberalisme, apalagi sosialisme-komunisme. Karena Islam bukan hanya ad-diin (agama) tetapi juga sistem hidup.

Itulah yang semestinya diperjuangkan oleh mahasiswa juga masyarakat pada umumnya. Bukan hanya menuntut berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat atau pergantian pemimpin saja. Tetapi juga harus diikuti dengan pergantian sistem ke arah islam. Tentu perjuangan besar ini harus mencontoh dan menaladani Nabi Saw dalam membangun masyarakat Islam di Madinah dulu, yaitu dengan dakwah fikriyah (pemikiran) tanpa kekerasan! Bukan malah mudah tersulut emosi dan ditunggangi banyak kepentingan. Masyarakat harus terus diedukasi, bahwa selama kita masih menerapkan sistem hidup yang berbasis kapitalisme-liberalisme di semua lini kehidupan, maka siapapun pemimpinnya kondisi masyarakat akan terus seperti ini. Saatnya kita bangun kesadaran, jika kita berpaling dari syariat Allah, maka kehidupan kita akan merasakan kesempitan. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt “Barangsiapa berpaling dari peringatanku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS: Thaha: 124). Maka dari itu, kita bergenggaman tangan, eratkan persatuan. Songsong perubahan ke arah Islam. Karena hanya dengan sistem Islam lah, berbagai kezaliman elit oligarki dapat dihancurkan. Wallahua’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image