Rabu 27 Apr 2022 18:35 WIB

Pancasila Sebagai Sistematika Manajemen Demokrasi

Jalan membumikan Pancasila akan semakin terbuka lebar.

Warga melintas di depan mural bergambar Garuda Pancasila dan NKRI Harga Mati di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. (ilustrasi)
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Warga melintas di depan mural bergambar Garuda Pancasila dan NKRI Harga Mati di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bono Priambodo, SH, MSc, Pengajar FHUI - Kandidat Doktor Universiteit van Amsterdam

Analisis Prof Dr Suwarma Al Muchtar, Guru Besar Tata Negara UPI, di Republika 15 April 2022 yang berjudul "Mengembalikan Demokrasi ke Jalur Kerakyatan" patut mendapat apresiasi dan respon yang lebih serius. Meskipun Al Muchtar mengawali uraiannya dengan demo mahasiswa sebagai "News Peg", namun inti yang disampaikannya sangat substantif dan bahkan sistemik, jauh dari tendensi reaksioner.

Apa yang disampaikan Al Muchtar merupakan jawaban atas pekerjaan rumah bagi bangsa kita yang sudah terbengkalai lama sekali. Sebagai referensi kita dapat mengacu pernyataan Gubernur Lemhannas, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, dalam sebuah seminar di Lemhannas RI, bulan Februari tahun 2021. Pada kesempatan tersebut, Widjojo menyampaikan memang demokrasi mengandung banyak kelemahan, tetapi tetap menjadi sistem terbaik di antara sistem yang ada.

Pernyataan Widjojo tersebut seperti menegaskan posisi demokrasi sebagai pilihan terpaksa dari yang ada "the best from what is available" bagi Indonesia. Padahal, Widjojo sendiri dalam kuliah umumnya di UPN Veteran Jakarta, pada Mei 2019, telah mengungkap jawabannya yaitu "sejatinya roh sistem demokrasi adalah kedaulatan rakyat". Namun patut dimaklumi tantangan menerjemahkan roh kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi memang bukanlah hal yang cukup mudah untuk dilakukan.

Tantangan utama terletak dalam menjembatani "kedaulatan rakyat sebagai roh" dengan "demokrasi sebagai sistem". Tantangan berikutnya terletak dalam kebutuhan akan bahasa yg cukup sederhana untuk dipahami berbagai kalangan. Selain itu, tak boleh dilupakan perlunya contoh yang aktual dan lekat dengan arah perkembangan minat publik secara luas.

Al Muchtar melakukan itu dengan menangkap momentum demo mahasiswa sebagai pintu masuk pembahasan secara aktual. Meskipun demikian, mudah untuk dinalar bahwa hal ini sebenarnya merupakan puncak gunung es atas eksistensi ancaman praktik demokrasi di Indonesia. Berikutnya, ia membedah esensi Sila ke-4 Pancasila dalam uraian yang tidak sekedar sistematis, tetapi juga sederhana dan menarik, berbasis kata per kata yang digunakan dalam sila ke-4 itu sendiri.

Meminjam logika proses manajemen, Al Muchtar memposisikan Pancasila sebagai prinsip dasar manajemen nasional, sementara UUD'45, khususnya dalam Pembukaan, memperinci Visi dan Misi nasional. Kemudian melalui proses perwakilan, rakyat dengan kebhinnekaan-nya menjadi sumberdaya nasional tempat digalinya kekayaan pemikiran bangsa sebagai input proses demokrasi.

Proses demokrasi selanjutnya mengolah kekayaan pemikiran bangsa melalui 2(dua) tahap terintegrasi yaitu musyawarah dan mufakat. Sebagai output-nya, didapatkanlah kebijakan yang benar-benar implementatif sehingga layak mewakili frasa hikmah kebijaksanaan dan menjadi arahan strategis bagi pencapaian visi dan misi nasional.

Cara berpikir Al Muchtar di atas dapat dikatakan telah memvalidasi setidaknya tiga hal penting; 1) keberadaan sila ke-4 Pancasila sebagai rumusan sistemik, dan karenanya 2) keseimbangan roh filsafati sekaligus sistematika praktis dalam apa yang kemudian layak disebut sebagai, 3) "sistem kerakyatan".

Secara leksikal, "Sistem Kerakyatan" adalah amalgamasi "sistem" dan "rakyat" dalam satu frasa. Yang juga menarik dari hal ini kemudian adalah hilangnya dikotomi sistem versus manusia. Dalam Sistem Kerakyatan tidak lagi bisa ditanyakan manakah yang lebih penting, "sistemnya atau manusianya" karena sistem dan rakyat bukan hanya disatukan oleh hubungan interdependensi, namun merupakan entitas integral.

Sistem Kerakyatan inilah yang oleh Al Muchtar tidak hanya diposisikan sebagai demokrasinya Indonesia, namun juga sebagai interpretasi otentik para pendiri bangsa terhadap konsep Republik bagi Indonesia. Dengan ini maka Al Muchtar boleh dikatakan tidak hanya mengelaborasi keprihatinan Widjojo, namun ia juga berhasil mengerjakan pekerjaan rumah yang terbengkalai itu dalam artikelnya yang relatif singkat.

Terurainya logika proses Pancasila membuktikan Pancasila bukan semata acuan permasalahan normatif (boleh atau tidak boleh, patut atau tidak patut, mau atau tidak mau), namun juga dapat menjawab permasalahan positif (bisa atau tidak). Ke depannya, jalan membumikan Pancasila akan semakin terbuka lebar. Menjadi tugas segenap elemen bangsa dari berbagai perspektif, akademik, kepemerintahan, kemasyarakatan, bahkan kekinian, untuk bergotong-royong mengembangkan Pancasila, diawali dari rumusan sila ke-4 ini, sebagai sistematika manajemen demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement