Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Ruang yang Melelehkan Hati itu bernama Mudik

Gaya Hidup | Tuesday, 03 May 2022, 20:42 WIB

Ibu Pertiwi, memiliki tradisi unik yang telah mendarah daging pada sebagaian besar anggota masyarakat, yaitu mudik atau pulang kampung. Tradisi ini seakan telah begitu melekat erat, sehingga ‘apapun’ rela dilakukan. Fakta ini mudah terobservasi dengan melihat kondisi lalu lintas, jumlah penumpang transportasi publik dan lain-lain.

Pada masyarakat kelas menengah ke atas, persoalan biaya untuk kebutuhan moda transportasi menuju kampung halaman, tentu tidak terlalu masalah. Baik itu menggunakan kendaraan pribadi, moda transportasi publik darat, laut ataupun udara.

Namun demikian, bagi yang berpenghasilan pas-pasan, tentunya hal ini menjadi persoalan tersendiri, apalagi mengingat biasanya terjadi penyesuaian harga/tiket dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka jadilah kejadian mudik ini menjadi sebuah aksi yang “luar biasa”, karena membutuhkan persiapan dan perbekalan yang “luas biasa” pula. Sejumlah kalangan bahkan rela membuka tabungan khusus demi dapat melakukan aksi mudik ataupun pulang ke keluarga ini. Sungguh inilah kegiatan yang sulit dapat terbiayai oleh anggaran yang ‘normal’, sehingga beragam ‘kerja keras khusus’ dilakukan untuk dapat memenuhinya.

Mengapa hal ini begitu ‘diperjuangkan?”, padahal teknologi informasi hari ini telah memungkinkan antar individu dan bahkan antar kelompok melakukan “kontak virtual”? Dimana sesama mereka bisa saling mendengar dan melihat?

Maka, inilah jawabannya. Ternyata tradisi dan kekuatan ‘mudik’ tidak begitu saja dapat tergantikan oleh ‘pertemuan virtual”, bahkan mungkin oleh “metaverse” sekalipun. Inilah “madness of multiverse” (meminjam istilah film yang sedang tren saat ini) yang sebenarnya.

Individu dan keluarga, berjuang untuk dapat bertemu dengan anggota keluarga lainnya, istri dengan suami, anak dengan orang tua, kakek dengan cucu, anak dengan mertua, sepupu dan sepupu, keponakan dengan paman/bibi dan sebaliknya dan sebagainya. Artinya, walaupun aksi kolektif ini tidak ‘harus’ identik dengan ritual minta maaf lahir batin (karena minta maaf seharusnya dilakukan pada saat insiden terjadi), namun keliatannya kehadiran dan pertemuan fisik meluruhkan dan menyatukan hati (perasaan). Kehadiran inidividu dalam ruang fisik dan dimensi waktu yang sama, menguraikan egoisme (heart melting) yang terkunci, mencairkan kalbu yang beku (frozen hear) dan menghimpun ragam perasaaan yang tidak terucapkan.

Bahasa non verbal dari ekspresi wajah, gesture tubuh, tatapan mata, sentuhan fisik, usapan pada bahu dll, rupanya belum sepenuhnya dapat digantikan oleh teknologi informasi yang ada hari ini seperti virtual conference, zoom, video phone dan lain-lain.

Maka mudik menjadi sesuatu yang luar biasa, menjadi harga yang pantas, untuk diperjuangkan secara luar biasa. Ini adalah momentum diatas rata-rata sehingga layak diupayakan dengan usaha yang diatas rata-rata juga. Rasa rindu fisik, rupanya memang perlu dilampiaskan dengan pertemuan fisik. Sehingga prasangka, praduga yang tidak berdasar, ataupun persepsi yang keliru dapat diluruskan. Begitu juga dengan pemikiran negatif terhadap sosok-sosok tertentu, perlahan dapat diubah menjadi positif. Hati yang jauh dapat menjadi dekat, keluarga inti yang terpisah dapat menjadi rekat. Kakek dan cucu dapat menjadi akrab, mantu dan mertua dapat menjadi lekat.

Apapun perdebatan dan kontroversinya, semoga tradisi mudik dapat dioptimalkan manfaatnya bagi individu dan keluarga Indonesia. Bagaimanapun keriuhan dan kehebohan proses mudik, semoga lebih banyak manfaat dan maslahat kolektif yang dapat diraih oleh bangsa Indonesia. Inilah kebinekaan yang indah. Inilah fakta sosial kohesivitas komunitas nusantara yang perlu dijaga. Keluarga Indonesia, sebagai unit terkecil dari kekuatan bangsa, tentu adalah komponen penting bagi pembangunan. Maka, bravo dan salut pada pemerintah dan seluruh pengelola terkait kegiatan mudik tahun ini, yang sudah bekerja dengan sangat luar biasa, memberikan pelayanan kepada masyarakat Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image