Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

SMAN 34 Jakarta, Sekolah Berbasis Etika Lingkungan dan Environmental

Eduaksi | Friday, 20 May 2022, 17:55 WIB

BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mengatakan bahwa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, 98 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan dan lahan bergantian mengikuti cuaca ekstrem yang terjadi. BNPB juga menyatakan bahwa Indonesia sudah berada dalam situasi darurat ekologis. Terang, bencana yang terjadi dipicu kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif (https://www.walhi.or.id/darurat-ekologis). Belum lagi, pencemaran lingkungan ekologi kelautan akibat pembuangan sampah dalam skala besar secara intens, merusak habitat biota laut dan itu berkesinambungan terhadap kehidupan manusia, yang dinyana, sebagian besar hasil produksi makanan berasal dari laut. Kemungkinan besar bila ini diteruskan, tidak diungkiri, bumi yang kita tempati ini, akan diambang kehancuran.

Lingkungan alam yang kita tinggali memberikan kebermanfaatan yang begitu besar bagi kehidupan dan kelangsungan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam logika sederhana, bila kerusakan lingkungan alam terus terjadi tanpa adanya sebuah ketangguhan pemikiran dan keyakinan akan sebuah tata nilai keseimbangan semesta juga praksis keterlibatan pemerintah negara yang tertuang dalam kebijakan dan keputusan yang pro terhadap filosofi environmentalism, maka niscaya akan terjadi pula kehancuran kehidupan keseluruhan makhluk hidup yang bernaung dalam planet bumi yang kita cintai ini. Namun, pertama-tama, bagaimana caranya untuk dapat memecahkan permasalahan kerusakan lingkungan ini? Apakah bisa kita langsung melakukan civitas gerakan penyelamatan alam?

Pelbagai jalan ditempuh untuk memahami situasi dan kondisi alam yang semakin lama semakin memburuk, juga ancaman kerusakan dan kehancuran yang berkepanjangan. Menurut Sarasdewi, dosen filsafat UI mengatakan, bahwa pemikiran etis pun tidak cukup tajam membedah dan memilah substansi permasalahan kerusakan alam. Dengan demikian, lanjutnya, pemahaman tentang alam yang lebih mendalam perlu dilakukan. Tugas pertama filsafat sebagai disiplin pemikiran ialah meradikalisasi permasalahan kerusakan alam. (Ekofenomenologi, Sarasdewi, 2015)

Salah satu alternatif cara untuk mengkritisi keadaan ekologi kita adalah dengan memberikan dan memenuhi materi dari filsafat environmentalism di dunia pendidikan. Bagaimana lingkungan alam tidak lagi dijadikan sebagai alat pemuas nafsu keserakahan material manusia. Dengan pemikiran filosofi dalam sekolah, peserta didik mampu menangkap dan menyadari, bahwasanya, alam lingkungan dan manusia adalah satu kesatuan dan tak akan pernah bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, dengan langkah awal membaca dan berdiskusi mengenai environmentalism, serta elaborasi dari guru, akan dapat memperpanjang harapan dan impian, bahwasanya, alam semesta akan dapat pulih dan hidup kembali ceria, tersenyum, dan bahagia.

Di sekolah kami, SMAN 34 Jakarta misalnya, sebagai sekolah berwawasan lingkungan hidup dimulai pada tahun 1996 melalui kerjasama dengan UNESCO. Kegiatan kerjasama dimulai dengan penanganan sampah dan tanaman disekitar dengan prinsip 4R (recycle, replant, reuse , dan reduce). Sekolah kami mulai memikirkan dan membongkar ulang tata nilai yang menyebabkan meningkatnya pencemaran dan perusakan lingkungan yang masih menganut etika lingkungan yang bersifat anthropocentric. Etika ini menempatkan kepentingan manusia di atas kepentingan makhluk lainnya. Kepedulian manusia untuk menjunjung keberlanjutan hidup dan alam yang tercermin dalam nilai-nilai kearifan lokal yang menjunjung konsep pemeliharaan lingkungan, juga mulai pudar seiring dengan meningkatnya tuntutan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhannya.

SMAN 34 Jakarta bukan tidak ada hambatan atau tantangan, justru ada beberapa permasalahan di sekolah kami yang menyangkut isu ekologis: IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah) yang telah dibuat di belakang kantin sekolah menjadi terbengkalai dan tidak terpakai, tidak ada pengelolaan efektif limbah daun kering, emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon, seperti CO2, solar, LPJ, dan bahan bakar lainnya, penggunaan bahan bakar fosil semakin besar seiring meningkatnya kebutuhan membuat cadangan sumber energi fosil semakin menipis serta tidak ada energi baru dan terbarukan untuk kelangsungan hidup manusia ke depan.

Dari fenomena tersebut munculah ide dan gagasan dari SMAN 34 Jakarta untuk, bukan hanya memantapkan dari pemikiran filsafat environmentalism saja, praksis kehidupan di sekolah dengan menyiapkan fasilitas tempat sampah, imbauan larangan untuk mengotori teritori sekolah, dan sebagainya dan sebagainya.

Kami SMAN 34 Jakarta akan membuat suatu instalasi pengolahan limbah lanjutan yang kami namakan “LIFE” (Leaf Innovation For Electricity). Mengapa kami memilih daun sebagai inovasi untuk sumber tenaga pembangkit listrik? Karena seperti yang sebelumnya sudah kami jelaskan, dengan banyaknya limbah daun kering di SMAN 34 Jakarta, kami berupaya untuk mengurangi limbah daun yang menumpuk di sekitar sekolah. Caranya adalah dengan mengubah dedaunan tersebut menjadi briket. Daun tersebut akan dipanaskan dan menghasilkan briket. Briket tersebut akan kami gunakan sebagai pengganti bahan bakar pemanas air untuk pembuatan PLTU. Air yang sudah dipanaskan akan menjadi uap, kemudian uap tersebut akan menghidupkan turbin serta generator yang akan menghasilkan energi listrik.

Energi listrik tersebut akan kami gunakan untuk keperluan listrik di sekolah kami. SMAN 34 Jakarta memanfaatkan kemajuan teknologi berbasis aplikasi. yang akan membantu dalam pelaksanaan instalasi pengolahan limbah lanjutan kami. Agar inovasi kami dapat bermanfaat bagi lingkungan sekolah dan juga lingkungan diluar sekolah, kami ingin membuat aplikasi yang dimana kita dapat menyumbang limbah dedaunan yang akan diolah menjadi briket. Supaya aplikasi tersebut tidak terkesan membosankan, dan untuk menambah minat orang sekitar untuk mendownload aplikasi yang kami buat, maka kami akan menambahkan sebuah game di aplikasi tersebut.

Game tersebut tentunya akan berhubungan dengan edukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan supaya pengguna aplikasi dapat menambah wawasannya tentang isu-isu lingkungan. Dimana apabila masyarakat memainkan game tersebut dan melaporkan sampah daun kering yang ada di lingkungannya maka pengguna akan mendapatkan poin yang apabila sudah mencapai point yang sudah ditentukan, ia dapat menukarkannya dengan sebuah bibit tanaman asli yang dapat diambil secara langsung maupun diantarkan langsung kerumah dengan ojek online.

Eco Project yang kami susun pada dasarnya adalah sebuah proyek yang ingin memanfaatkan limbah daun kering dan limbah air menjadi listrik dengan cara mengubah daun kering menjadi briket dan limbah air menjadi uap untuk menggerakan generator yang dapat menghasilkan listrik. Dalam proyek ini terdapat 3 alat yang akan kami buat yaitu Furnace Incinerator, Steam Generator (PLTU Sederhana), dan Mobile Apps “LIFE”. Alat-alat tersebut akan saling melengkapi dalam berjalannya proyek "LIFE" ini.

Sekiranya, itulah gambaran implisit salah satu gerakan alternatif dari SMAN 34 Jakarta untuk menghasilkan inspirasi dan harapan dengan terjun langsung dalam penciptaan teknologi sederhana berbasis ekologis sebagai dasar keseriusan dan kesungguhan untuk melahirkan peserta didik yang sadar akan lingkungan.

SMAN 34 Jakarta serius untuk konsisten mencari ilmu dan pengetahuan serta perdebatan hangat mengenai isu ekologi dan environmentalism terkini. Sekolah, bukan hanya tempat belajar setelah itu pulang, tetapi, menjadi dasar inspirasi dalam pencarian alternatif guna menyongsong kehidupan makhluk hidup ke depan untuk kelangsungan hidup yang sehat, aman, damai, dan bahagia. Sekolah harus menghindari ketabuan isu lingkungan, justru sebaliknya, sekolah adalah ruang untuk merebut kembali lingkungan yang asri dengan mengaktualisasikan filosofi lingkungan ke kehidupan sehari-hari.

Tanpa praksis Eco Project ini, mungkin, gerakan untuk merehabilitasi lingkungan akan melambat. Sekolah wajib menumbuhkan nilai-nilai kesadaran ekologi kepada segenap warga sekolah, untuk menciptakan rantai gerakan environmental, mulai dari internal sekolah, eksternal sekolah, sosial, dan sampai generasi peserta didik berikutnya hingga sampai menghasilkan keberanian untuk saling inspirasi, memberi harapan, dan berujung pada kebijakan dan keputusan yang pro terhadap lingkungan alam, bukan neoliberalisme dan kapitalisme.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image