Senin 23 May 2022 01:13 WIB

Spirit Perempuan Pengusung Peradaban Utama

Spirit Perempuan Pengusung Peradaban Utama

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Spirit Perempuan Pengusung Peradaban Utama - Suara Muhammadiyah
Spirit Perempuan Pengusung Peradaban Utama - Suara Muhammadiyah

Oleh: Nur Fajri Romadhon

(Ketua MTT Muhammadiyah Arab Saudi 2019-2022 & ketua Al-Fahmu Instititute Arab Saudi)

 

Hari itu Sabtu tanggal 1 bulan Ramadan tahun 245 H. Hari pertama kaum muslimin sedunia berpuasa, sekaligus hari pertama lahirnya institusi pendidikan tinggi pertama di dunia[1]. Hari ketika seorang wanita muslimah di ujung utara benua Afrika memberikan teladan bagi dunia bagaimana seorang perempuan mengusung peradaban utama. Kalau pada 7 Oktober 1920 Universitas Oxford yang sudah berdiri sejak tahun 1096 baru saja secara resmi mengizinkan wanita mendaftar berkuliah di sana[2], maka pada 30 November 859/1 Ramadan 245 H, seorang wanita muslimah asal Fez (hari ini di Maroko-pen) bernama Fāṭimah binti Muḥammad Al-Fihriyyah, sudah mendirikan Jāmi’ Al-Qarawiyyīn[3], universitas pertama di dunia, yang di dalamnya para mahasiswi pun turut ramai belajar[4].

Beliau sebagai seorang ulama wanita yang pernah berguru dengan ulama-ulama kota Al-Qayrawān (kota ulama pertama di Afrika Utara) setelah dewasa memiliki harta cukup banyak dari warisan keluarga. Lantas, beliau pun berpikir agar harta ini lestari pahalanya. Dibelilah sebidang tanah dan diwakafkan untuk menjadi masjid sekaligus lembaga pendidikan tinggi yang mana model tersebut belum pernah ada sebelumnya[5]. Masyaallah, betapa dalamnya perenungan Fāṭimah Al-Fihriyyah terhadap ajaran Al-Qur’an dan Sunnah akan wajibnya menuntut ilmu bagi wanita sebagaimana pria. Tertanam betul di benak beliau apa yang Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam lakukan dengan membuka kelas rutin khusus ṣaḥābiyyāt (para shahabat wanita) setiap pekannya. Beliau bersabda:

))‌اجْتَمِعْنَ فِي يَوْمِ كَذَا وَكَذَا فِي مَكَانِ كَذَا وَكَذَا((، فَاجْتَمَعْنَ، فَأَتَاهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَلَّمَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَهُ اللَّهُ

“Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini.” Maka para ṣaḥābiyyāt pun berkumpul lalu Rasulullah datang ke tempat tersebut lalu mengajari mereka dari apa yang Allah telah ajarkan pada beliau. [HR. Al-Bukhari no. 7310]

Begitulah memang para wanita muslimah semenjak zaman Rasulullah adalah para wanita yang berpendidikan. Para wanita yang mahir membaca Al-Qur’an serta menghafalnya. Para wanita yang mempelajari hadis, fikih, astronomi, kedokteran, dan keilmuan lainnya. Yang bahkan turut mengajar ilmu-ilmu tinggi kepada para pria di masjid dan lembaga pendidikan lainnya. Tak heran ada sebuah penerbit kitab di Kota Jeddah ini tahun lalu mencetak buku sebanyak 43 jilid tebal berisikan biografi para ulama klasik wanita. Buku yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama Amerika bernama Asy-Syaikh Dr. Muhammad Akram An-Nadwi berjudul: Al-Wafā’ bia’lāmin Nisā’[6]. Demikianlah memang para wanita muslimah sepanjang sejarah hingga kemudian datanglah para penjajah ke wilayah-wilayah Islam lalu mempersempit kesempatan para wanita memperoleh pendidikan[7].

Kembali lagi ke Fāṭimah Al-Fihriyyah, di mana kita disadarkan oleh kitab-kitab sejarah bahwa wanita istimewa ini bukan sekadar kaya harta lagi dermawan dan bervisi besar,  namun ia juga begitu salihah nan tekun beribadah. Asy-Syaikh An-Nāṣiriyy (w. 1315 H) menghikayatkan:

وَلَمْ تَزَلْ فَاطِمَةُ الْمَذْكُورَةُ صَائِمَةَ مِنْ يَوْمٍ شَرَعَ فِيْ بِنَائِهِ إِلَى أَنْ تَمَّ، وَصَلَّتْ فِيْهِ شُكْرًا لله تَعَالَى

“Fāṭimah senantiasa berpuasa (Ramadan lalu puasa sunnah muṭlaqah) semenjak hari awal pembangunan hingga rampungnya. Di hari peresmian, ia juga salat (sunnah muṭlaqah) sebagai perwujudan syukur kepada Allah.”[8]

Keluhuran ‘irfāniyy beliau juga amat nampak jelas manakala memerintahkan para pekerja bangunan untuk tidak menggunakan bahan bangunan selain dari tanah itu sendiri yang beliau memang telah beli dan wakafkan untuk Jāmi’ Al-Qarawiyyīn. Ini beliau lakukan sebagai bentuk wara’, sehingga beliau dapat yakin bahwa bahan yang digunakan tidak mengandung syubhat. Fāṭimah pun mengarahkan agar tanahnya digali dahulu, dikeluarkan tanah dan bebatuannya, kemudian digalilah sumur, dibuatlah ruang bawah tanah, dan seterusnya digunakanlah tanah dan bebatuannya sebagai bahan bangunan[9]. Sungguh potret ketakwaan yang menyejarah hingga nampaklah keberkahannya pada institusi pendidikan tinggi yang tetap tegak hingga kini ini.

Kurang lebih dua puluh tahun sesudah membangun Jāmi’ Al-Qarawiyyīn, mengundang para ulama mengajar di sana, serta membinanya hingga terkenal sebagai universitas terkemuka, Fāṭimah Al-Fihriyyah wafat (w. 265 H/880)[10]. Beliau secara fisik memang wafat, namun peradaban utama yang beliau usung terus hidup, bahkan terus berkibar dan menyebar. Konsep rumah ibadah (bagi muslim: masjid) sebagai pusat kegiatan sebuah lembaga pendidikan tinggi ditiru oleh bangsa Eropa dengan berdirinya lembaga serupa di Bologna, Paris, dan London[11], sebagaimana telah menyebar lebih dahulu di Kairo, Damaskus, Baghdad, hingga Naisapoor di ujung sana.

Telah lahir ribuan ulama keislaman dan ilmuwan saintek ataupun soshum dari Jāmi’ Al-Qarawiyyīn, semisal, Al-Imām Ibnu Ḥazm, Ibnu Maimūn, Asy-Syarīf Al-Idrīsiyy, Asy-Syaikh ‘Allāl Al-Fāsiyy, dst. Al-Imām Ibnu Khaldūn (w. 808 H) selaku salah satu alumni juga turut menyanjung keunggulannya. Beliau tuliskan dalam Muqaddimah Tārīkh beliau bahwa universitas ini merupakan “tempat diperolehnya petunjuk Allah, taman-taman pengetahuan, tanah suburnya embun akhlak, semestanya rahasia-rahasia rabbāniyy, ruang belajar yang seakan luas tak bertepi.”[12] Hingga kini, pelajar-pelajar dari Indonesia pun ada yang belajar di sana. Apalagi, menariknya, matan nahwu terkenal yang dihafal seluruh santri di Indonesia, Al-Muqaddimah Al-Ājurrūmiyyah, ditulis oleh Al-Imām Ibnu Ājurrūm Aṣ-Ṣanhājiyy (w. 723 H) saat menjadi dosen di Jāmi’ Al-Qarawiyyīn[13].

Spirit berkemajuan Fāṭimah Al-Fihriyyah itu pun nampak pada pidato dua perwakilan Aisyiyah di Kongres Perempuan I, 22-25 Desember 1928, Siti Munjiah (w. 1955, kala Kongres berusia 32 tahun) dan Siti Hayinah (w. 1991, saat Kongres berusia 22 tahun). Pidato Siti Munjiah -meski sayangnya disertai insiden bullying dari sebagian peserta Kongres[14]– menekankan tentang keharusan perempuan memiliki derajat mulia dan menjaganya dengan menjadi pribadi yang “tinggi boedinja, banjak ilmoenya, dan baik kelakoeannja.”[15] Sementara itu, Siti Hayinah dalam pidato beliau membahas tentang persatuan sembari mengatakan: “Hidoep manoesia haroes saling bergaoel, berhoeboengan, berdamai, bersaoedara, dan bersatoe. … Karena Moehammadijah bersatoe, dapatlah mereka mendirikan sekolah, selaloe hidoep makmoer, semakin lama semakin besar dan disoekai orang banjak.”[16] Demikianlah, semoga di usianya yang ke-105 tahun ini, Aisyiyah terus menjaga spirit tersebut. Spirit keteladanan dari para perempuan pengusung peradaban utama.

 

———

[1] An-Nāṣiriyy, Al-Istiqṣā vol. 1 (Casablanca: Dārul Kitāb, 1997), 231.

[2] Lihat: https://www.ox.ac.uk/news/2020-10-06-oxford-university-recognises-100-year-anniversary-formal-admission-women

[3] Lihat: An-Nāṣiriyy, Al-Istiqṣā, 1: 231-234.

[4] Sebagaimana juga ditegaskan Guiness Book of World Records (https://www.guinnessworldrecords.com/world-records/oldest-university) dan UNESCO (https://whc.unesco.org/en/list/170/).

[5] Lihat: An-Nāṣiriyy, Al-Istiqṣā, 1: 231.

[6] Dicetak oleh Dārul Minhāj, Jeddah, pada tahun 2021.

[7] Lihat: Diane Barthel, “Women’s Educational Experience under Colonialism”, The University of Chicago Press Journal vol. 11, no. 1 (1985): 139-141 & Siwi Tyas, et.al., “Perjuangan Organisasi Perempuan Indonesia Menuntut Hak Pendidikan Pada Masa Kolonial Belanda 1912-1928”, Jurnal Pendidikan Unej vol. 1, no. 1 (2015): 2.

[8] An-Nāṣiriyy, Al-Istiqṣā, 1: 232.

[9] Lihat: An-Nāṣiriyy, Al-Istiqṣā, 1: 232.

[10] Lihat: Az-Zirikliyy, Al-A’lām vol. 5 (Beirut: Dārul ‘Ilmi lil Malāyīn, 2002), 132.

[11] Lihat: George Makdisi, “The Guilds of Law in Medieval Legal History”, Cleveland State Law Review 34. no. 1 (1985): 9.

[12] Ibnu Khaldūn, Tārīkh Ibni Khaldūn vol. 1 (Beirut: Dārul Fikr, 1988), 12.

[13] Lihat: ‘Azīz Al-Khaṭīb, ‘Ulamāu Fās (Beirut: Dārul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2019).

[14] Lihat: Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama (Jakarta: Pustaka Obor, 2007), xxxvi-xxxviii.

[15] Susan Blackburn, Kongres Perempuan Pertama, 40.

[16] Ibid., 240.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement